Quantcast
Channel: Muslimedia News - Media Islam | Voice of Muslim
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6981

Mengapa Indonesia Bukan Khilafah ? (Bagian 3)

$
0
0
Muslimedianews.com ~ MENGAPA INDONESIA BUKAN KHILAFAH? (Transkip ceramah KH. Abdi Kurnia Djohan, SH., MH) Bagian 3. Bagian pertama dan kedua, baca dilink berikut ini :
Berikut lanjutannya :
Apa pemahaman para sahabat Nabi tentang Khilafah?

‘Khilafah’ di dalam konteks pemahaman para sahabat Nabi maknanya bukanlah sistem pemerintah. Kenapa? Kalau ‘khilafah’ maknanya adalah sistem pemerintahan Nabi Saw. pasti menunjuk seorang pengganti sebelum kewafatannya. Tetapi fakta sejarah, kalau kita buka kitab-kitab tarikh dan hadits, tidak ditemukan satu pun keterangan hadits bahwa Nabi Saw. menunjuk seseorang khalifah yang akan menggantikannya.

Abu Ubaidah Ra. meriwayatkan bahwa para sahabat pernah bertanya:

قَالُوا: أَلا تَسْتَخْلِفُ عَلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ?
“Kenapa engkau tidak tunjuk seorang khalifah (pengganti atau pemimpin) untuk kami ya Rasulullah?”

فَقَالَ: إِنِ اسْتَخْلَفْتُ عَلَيْكُمْ خَلِيفَةً مِنْ بَعْدِي ثُمَّ عَصَيْتُمْ خَلِيفَتِي نَزَلَ الْعَذَابُ.
Jawab Nabi Saw.: “Jikalau saya tunjuk seorang pengganti setelahku, lalu kalian bermaksiat (tidak patuh) kepada khalifahku, pasti akan turun adzab atas kalian.” (HR. Imam Hakim dalam al-Mustadraknya).

Jadi Nabi Saw. tidak menganggap khilafah adalah sebuah sistem pemerintah. Sehingga beliau Saw. tidak menunjuk seorang khalifah sepeninggalnya dan sebagai bentuk kasih sayangnya kepada kita umat Islam. Karena doa seorang Rasul Saw. pasti mustajab dan kekecewaan Rasul pasti akan mendatangkan adzab, maka diantara tanda rahmah (kasih sayang) kepada kita Nabi Saw. tidak sebut khalifah sepeninggalnya adalah si fulan, si fulan, dst. Atau Nabi Saw. tidak pernah mengucapkan: “Tetaplah kalian berpegang pada khilafah.” Lalu kenapa disebut kata “Khilafah”?

Para sahabat Nabi, mereka tidak faham dengan yang namanya negara dan tidak pula mengenal kerajaan. Arab itu kenal kerajaan baru sekarang, begitu dipimpin oleh keluarga Sa’ud. Dimulai oleh Muhammad bin Sa’ud yang melakukan revolusi di tanah Arab, barulah mereka mengenal sistem kerajaan. Kenapa mereka menggunakan sistem kerajaan, padahal tempat lahirnya Islam di Saudi Arabia? Mestinya yang ngotot ngomong khilafah adalah Negara Arab, tetapi mengapa mereka tidak menggunakan sistem khilafah?

Raja Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad bin Sa’ud mempunyai istri sampai 40. Ia mengawini wanita di 40 suku yang ada di Arab Saudi supaya kerajaan Saudi tidak digoyang dan tidak terjadi pemberontakan. Setiap kali 4 istri telah memiliki anak, maka ia ceraikan dan kemudian ganti 4 lagi hingga memiliki anak. Begitu seterusnya sampai 40 orang istri. Yang dipertahankan hanya istri pertamanya, tidak dicerai.

Sehingga raja-raja Saudi itu kakak-beradik tapi beda ibu. Raja Fahd dengan Raja Abdullah itu kakak-beradik, tapi beda ibu. Raja Fahd dengan raja sebelumnya, yakni Raja Muhammad, itu juga kakak-beradik tapi beda ibu. Berikutnya, Raja Muhammad ke Raja Khalid, itu juga masih satu bapak tapi ibunya berbeda. Raja Salman bin Abdul Aziz, raja yang galak dan Wahabi tulen. Galak, karena ia pernah menyeret dan memotong langsung orang yang membunuh keponakannya. Jadi segalak-galaknya ulama Wahabi-Saudi, mereka akan takut juga kepada pangerannya.

Arab Saudi tidak menggunakan sistem khilafah, karena berkaitan dengan kepentingan nasionalnya. Mereka belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, bahwa khilafah bukanlah sebuah sistem pemerintahan dan bukan pula sistem politik.

Lalu kenapa para sahabat Nabi memakai kata khalifah/khilafah? Karena khilafah itu maknanya pergantian. Supaya yang namanya kekuasaan itu tidak berpusat pada satu orang, tetapi bergilir dengan cara-cara tertentu. Sehingga “demokrasi” bisa dikatakan sebagai diantara cara untuk memilih khalifah. Jadi hampir mirip, sama-sama menggunakan sistem musyawarah.

Bedanya adalah, memilih khalifah menggunakan sistem musyawarah para pemimpin/pemuka. Dan ternyata kita pernah memakainya saat MPR berkewenangan penuh menentukan presiden dan wakil presiden. Jadi Gus Dur itu adalah “Khalifah” dengan sistem yang pernah dipakai oleh para sahabat Nabi. Karena Gus Dur menjadi Presiden dengan mekanisme musyawarah (yang dipimpin oleh MPR) seperti musyawarah yang pernah dilakukan oleh Sayyidina Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib Ra. dan selainnya, untuk memilih seorang pemimpin.

Tapi setelah dirubah melalui perubahan pertama Undang-Undang Dasar tahun 2000. Ini menarik, karena Gus Dur sendirilah yang mendorong perubahan itu; Ada seorang Presiden mendorong orang lain mengganti sebuah anggar dan peraturan padahal peraturan itu akan merugikan dirinya sendiri. Ini tanda-tanda sebuah ‘legowo’nya seorang pemimpin. Padahal biasanya seorang pemimpin akan membuat sebuah peraturan yang menguntungkan dirinya sendiri. Ini tidak, aturan itu justeru akan merugikan dia. Dan ternyata betul, saat Pilpres 2009 pendaftaran Gus Dur itolak oleh KPU, ditolak oleh aturan yang dia dukung pada waktu itu. Tapi Gus Dur tidak ngambek, paling akan berkata: “Kalau ditolak ya sudah, namanya juga usaha.”

Jadi para sahabat Nabi menyebut kata khalifah sebagai counter bahwa yang namanya kekuasaan itu tidak berpusat pada satu tangan saja seperti yang dipraktekkan di Bangsa Romawi dan Persia, tetapi harus digilir. Karena kekuasaan di Romawi dan Persia itu turun-temurun dari bapak ke anak, ke cucu, dan seterusnya. Pengertian “khilafah” maknanya bukan sistem politik. Sebab kalau sistem itu berbicara dari hilir ke ujung, dan dari ujung ke ujung. Sistem itu berarti terkait dengan ajaran. Sedangkan khilafah ini tidak terkait dengan ajaran Islam. Karena dalam praktek sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan Ra. menggunakan sistem kerajaan tapi namanya khilafah.

Nah, kalau begitu apakah khilafah masih bisa dikatakan sebagai sistem politik Islam? Tidak. Karena dalam kenyataannya sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan Ra. menggunakan sistem kerajaan tapi tidak mau disebut raja. Kalau khilafah disebut sebagai sistem maka tentunya tidak boleh berubah karena sudah apa patokannya.

Inilah dasar yang dijadikan sebagai argumen tidak adanya kewajiban di dalam Islam untuk menegakkan khilafah. Muawiyah bin Abu Sufyan Ra. lebih faham hadits dibanding saya, lebih faham hadits dibanding orang-orang yang mengusung kilafah. Tapi kenapa yang dipakai Muawiyah Ra. justeru adalah kerajaan. Banya bid’ah (hasanah) yang dilakukan oleh sahabat Muawiyah Ra., diantaranya adalah:

1. Shalat memakai pengawal.
2. Menyampaikan khutbah dengan para pengiring di bawahnya. Saya ingat pada tahun 90-an di Masjidil Haram, setiap kali imam berkhutbah pasti di bawahnya ada pendamping memegangi mimbarnya. Ini adalah sisa-sisa peninggalan sahabat Muawiyah Ra.

Yang lebih antik lagi adalah teman saya, anggota Muhammadiyah, kaget ketika shalat di Masjidil Haram adzannya 2 kali. Katanya itu adalah bid’ah, maka dijawab: “Bid’ah saja dipakai di Masjidil Haram, apalagi di luar Masjidil Haram.” Bahkan yang mengagetkan sampai di Madinah pun saat shalat Jum’at adzannya 2 kali dan ketika membaca shalawat Nabi sangat lengkap, bukan saja memakai lafadz “Sayyidina”.

Jadi yang namanya khilafah itu tidak diwajibkan baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Dan ditegaskan lagi oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra.: “Rasulullah Saw. tidak pernah menunjuk seorang pemimpin pun kepada kita.” Sehingga kita memandang dengan cara pandang kita bahwa Abu Bakar Ra. lebih layak untuk menjadi pemimpin.

Perlu digarisbawahi pada kalimat “sehingga kita memandang dengan cara pandang kita”, artinya adalah ijtihad. Bahwa persoalan, rotasi kepemimpinan dan menjalankan pemerintahan adalah wilaah ijtihad, bukan wilayah syariah. Wilayah ijtihad itu sifatnya situasional.

Lalu, betulkah umat Islam yang tidak setuju dengan Khilafah Islamiyah disebut sebagai kaum munafik, bahkan kafir? Nantikan edisi selanjutnya...

Penulis : Sya'roni As-Samfury

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6981

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>