Bandung, Muslimedianews.com ~ Guru Besar Universitas Darul Musthafa Yaman Prof. Dr. Fahmi bin Abidun menilai sikap gemar memvonis kafir terhadap sesama muslim sebagai tindakan yang bodoh. Hal ini juga menjadi ciri kelompok ekstrem yang tidak toleran terhadap pemahaman pihak di luar dirinya.
Pendapat ini ia sampaikan dalam Seminar Internasional bertajuk “Moderasi Islam: Upaya Menangkal Radikalisme Agama” yang digelar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jawa Barat, bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggualan Terorisme (BNPT), Rabu (1/10), di aula utama kampus setempat.
Menurutnya, kesalahpahaman ini juga menyasar kepada para pemimpin. Dengan alasan pemimpin tidak menjalankan syariat Islam, maka ia dianggap kafir. Konsekuensinya, elemen-elemen pemerintahan lainnya pun akhirnya juga dihukumi kafir.
Fahmi mengajak peserta forum seminar tersebut untuk belajar kepada ulama yang mempunyai pemahaman agama secara mendalam. Ia menilai Indonesia adalah negara yang aman. “Rasa aman apakah harus diganti dengan ancaman dan teror?” tuturnya seraya menegaskan bahwa mencintai tanah air adalah sebagian dari iman dan negara merupakan amanah.
Berdampak pada Kondisi Ekonomi
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Ahqaf Yaman Prof Dr Abdullah Alaidrus menerangkan, Islam tidak mengajarkan sedikitpun tentang radikalisme.
“Seperti halnya Allah telah memberitahukan bahwa umat Nabi Muhammad adalah umat yang moderat, sehingga Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam,” terang Abdullah.
Kenyataan yang ada, lanjutnya, dimana-mana banyak orang Islam yang telibat dalam pengeboman, peperangan, dan perampasan. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi, padahal, menurutnya, “Allah menuntut kita untuk memikul beban amanah sebelum kita beriman,” tambahnya di hadapan ratusan hadirin yang terdiri dari mahasiswa dan dosen.
Abdullah mengungkapkan, gerakan radikalisme sangat berpengaruh terhadap kelangsungan ekonomi suatu negara. Menurutnya, tujuh persen penduduk Yaman yang hidup dalam garis kemiskinan adalah akibat dari peperangan. (Muhammad ZidniNafi’/Mahbib
Sumber www.nu.or.id
Pendapat ini ia sampaikan dalam Seminar Internasional bertajuk “Moderasi Islam: Upaya Menangkal Radikalisme Agama” yang digelar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jawa Barat, bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggualan Terorisme (BNPT), Rabu (1/10), di aula utama kampus setempat.
Menurutnya, kesalahpahaman ini juga menyasar kepada para pemimpin. Dengan alasan pemimpin tidak menjalankan syariat Islam, maka ia dianggap kafir. Konsekuensinya, elemen-elemen pemerintahan lainnya pun akhirnya juga dihukumi kafir.
Fahmi mengajak peserta forum seminar tersebut untuk belajar kepada ulama yang mempunyai pemahaman agama secara mendalam. Ia menilai Indonesia adalah negara yang aman. “Rasa aman apakah harus diganti dengan ancaman dan teror?” tuturnya seraya menegaskan bahwa mencintai tanah air adalah sebagian dari iman dan negara merupakan amanah.
Berdampak pada Kondisi Ekonomi
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Ahqaf Yaman Prof Dr Abdullah Alaidrus menerangkan, Islam tidak mengajarkan sedikitpun tentang radikalisme.
“Seperti halnya Allah telah memberitahukan bahwa umat Nabi Muhammad adalah umat yang moderat, sehingga Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam,” terang Abdullah.
Kenyataan yang ada, lanjutnya, dimana-mana banyak orang Islam yang telibat dalam pengeboman, peperangan, dan perampasan. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi, padahal, menurutnya, “Allah menuntut kita untuk memikul beban amanah sebelum kita beriman,” tambahnya di hadapan ratusan hadirin yang terdiri dari mahasiswa dan dosen.
Abdullah mengungkapkan, gerakan radikalisme sangat berpengaruh terhadap kelangsungan ekonomi suatu negara. Menurutnya, tujuh persen penduduk Yaman yang hidup dalam garis kemiskinan adalah akibat dari peperangan. (Muhammad ZidniNafi’/Mahbib
Sumber www.nu.or.id