Quantcast
Channel: Muslimedia News - Media Islam | Voice of Muslim
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6981

Kepemimpinan Muru’ah An-Nahdliyah Nusantara

$
0
0
Muslimedianews.com ~
Refleksi MUNAS-KONBES - 33  NU
‘Kepemimpinan Muru’ah An-Nahdliyah Nusantara : Sintesa Electoral Collage vs Electoral Vote’

Oleh: KH. Muh. Syibli Sahabuddin
Ketum NU Wilayah Sul-Bar 2007-2013/Anggota DPD MPR RI, Mursyid Tarekat Qadiryah

Jama’ah Nahdlatul Ulama bukanlah yang lahir pada tanggal 31 Januari 1926, melainkan Jamaah Nahdlatul Ulama adalah Jamaah yang melahirkan Jam’iyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1926.  Nahdlatul Ulama dari sisi ajaran yang mentradisi itu telah ‘membatin’ sekian lama di masyarakat Nusantara jauh sebelum terbentuknya Nahlatul Ulama sebagai sebuah organisasi.

Sehingga membincang Nahdlatul Ulama, baik dalam konsep pemikirannya, struktur organisasinya terlebih sejarahnya akan selalu menarik.  Bahkan secara teologis, Nahdlatul Ulama ada dalam pengetahuan dan kehendak Tuhan mendahului semesta seisinya diciptakan. Ini dimaksudkan agar siapapun yang hendak memaknai, memahami ataukah mengkritisi NU agar benar-benar beranjak dari niat yang baik dengan penuh kehati-hatian,  mengingat sakralitas NU penuh keluhuran sekaligus kemasyhuran. Apa tah lagi jika sekedar menjadikan wacana sistem pemilihan kepemimpinan NU sebagai hal yang membuat kita akan terpolarisasi sedemikian rupa dan mengganggu soliditas Nahdlatul Ulama.

Sejarah telah mencatat bahwa NU yang lahir sejak 1926 ini telah memberikan sumbangsih besar terhadap kehidupan bernegara dengan semangat dan karakter kebangsaan yang Indonesia sekaligus ke-Indonesia-an yang Islami. Mespkipun dalam perjalanannya senantiasa mengalami ujian baik internal terlebih eksternal, namun dengan ke-Indonesiaan Yang Islami itu pula yang membuat NU tetap berbakti dan mengabdi hingga hari ini.

Kaitannya dengan itu, keberadaan MUNAS-KONBES NU yang ke 33 tahun ini,  menyangkut sistem penentuan kepemimpinan dalam organisasi masyarakat  islam terbesar di dunia ini menjadi sangat urgen dan menentukan arah dan haluan organisasi NU tersendiri, termasuk juga peran sertanya menyikapi fenomena sosial keagamaan dunia, pendidikan sert ekonomi politik kebangsaan.

Sintesa Electoral Collage vs Electoral Vote.
Dalam konteks pelaksanaan dan tatacara pergantian kepemimpinan, NU memiliki perangkat dan aturan Konstitusi, yaitu AD/ART NU. Musyawarah di definisikan sebagai suatu pertemuan  yang dapat membuat keputusan dan ketetapan organisasi yang dikiuti oleh struktur organisasi di bawahnya (Bab IX Pasal 21 ayat 1 AD/ART NU). Salah satunya yang mencuat yaitu draf sistem ahlul halli wal aqdi yang di susun oleh panitia Munas-Konbes NU dimana draf sistem ini dianggap menjadi salah satu solusi dalam sistem pemilihan kepemimpinan masa depan NU. Menerapkan pemilihan pemimpin dalam lingkungan Nahdlatul Ulama melalui Ahlul Halli Wal-Aqdi adalah  konsep idealitas meskipun di sisi lain oleh sebagian pecinta NU dianggap pula belum saatnya jika hal itu diposisikan sebagai jawaban realitas ke-NU-an kita hari ini. Namun, sistem ahlul halli wal aqdi ini diharapkan mampu menghindarkan perselisihan dan perpecahan serta praktek pemilihan yang tidak bersih,  khususnya sekaitan dengan sisi negative pemilihan langsung yang cenderung bercitarasa transaksional-pragmatis.

Konsep Ahlul Halli Wal-Aqdi perna diterapkan dalam sejarah perkembangan NU dalam penetapan kepemimpinan sejak NU berdiri tahun 1926 sampai tahun 1952 ketika NU menjadi partai politik. Kemudian diterapkan kembali pada muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 ketika NU kembali ke khitthah tahun 1926.

Sehingga dalam konteks pergulatan tentang tatacara NU dalam proses pemilihan pimpinan dalam NU tidak memiliki ketetapan baku, dalam artian bahwa pemilihan kadang dilakukan melalui musyawarah keterwakilan atau ahlul halli wal aqdi (Electoral Collage), dan juga melalui pemilihan langsung oleh pengurus wilayah dan cabang (Electoral Vote). Hemat penulis, bahwa sistem pemilihan dalam tubuh NU bersifat situasional dan memberikan ruang curah gagasan guna menawarkan sistem pemilihannya sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman yang mengitarinya. Oleh karena itu, sintesa dari pemilihan antara sistem perwakilan-formatur (electoral collage-ahlul halli wal aqdi) versus pemilihan langsung-satu suara untu satu wakil cabang/wilayah (electoral vote), penulis menyebutnya sebagai sistem pemilihan bertingkat atau gabungan keduanya sebagai model Kepemimpinan NU berlandaskan semangat ‘Kepemimpinan Muru’ah an-Nahldiyah Nusantara.’

Kepemimpinan Muru’ah an-Nahdliyah Nusantara

Pemilihan pemimpin dengan dasar penunjukan dari atas (elit organisasi), entah dengan penunjukan satu orang tertentu atau beberapa orang tentu dimaknai sebagai sebuah sistem yang sentralistik yang tidak mengakomodir suara atau aspirasi dari bawah. Hal ini dikuatirkan menciptakan hegemono sekelompok kepentingan yang justru mengabaikan kelompok yang lebih besar (representasi suara jamaah wakil cabang-wilayah) . Begitupun jika pemilihannya semata-mata mengacu atas dasar suara dari bawah tanpa mempertimbangkan arahan dari atas (elit organisas) dikuatirkan terjebak pada aspek dominasi mayoritas dengan dan atas nama suara terbanyak. Padahal kita semua memahami bahwa Nahdlatul Ulama adalah kristalisasi Islam ala Indonesia yang lahir dari rahim ke-islaman Ulama-Ulama Nusantara bak ‘butir tasbih dalam tali jagad NU.’  Artinya, kepemimpinan masa depan Nahdlatul Ulama (utamanya Ra’is Am dan jajaran Surya PBNU) diharapkan mencerminkan aspirasi sekaligus inspirasi wajah Nusantara.

Untuk itu, model yang ditawarkan tersebut di atas terdiri dari dua tahapan. Pertama,  pengusulan calon wakil zona berdasarkan hitungan zona waktu (wilayah Indonesia dalam zona waktu bagian timur, tengah dan barat). Setiap wakil surya dan wakil tanfidziah di jajaran Pengurus Cabang maupun Pengurus Wilayah dalam ruang lingkup setiap zona waktu tersebut  mengusulkan 1 atau  2 orang Ulama/Kiai (boleh struktur maupun kultur) yang merupakan Ulama/Kiai yang punya integritas dan kapasitas yang baik dan benar berdasarkan nilai-nilai Nahdlatul Ulama yang berasal dari zona tersebut sebagai wakil setiap zona untuk selanjutnya dipilih dan ditetapkan 3 orang peraih suara terbanyak sebagai wakil setiap zona.  Zona Waktu Bagian Timur 3 orang, Zona Waktu Bagian Tengah 3 Orang dan Zona Waktu Bagian Barat 3 Orang, sehingga seluruh zona bagian waktu itu berjumlah 9 orang sebagai cerminan Ulama-Ulama mandataris Nusantara.  Tahap Kedua,  9 orang tersebut bermusyawarah dan beristikharah guna memilih 1 atau 2 orang calon Ra’is Am PBNU dimana calon tersebut memiliki pemahaman NU yang paripurna, sepuh dan punya pengalaman struktur (pernah menjadi pengurus NU) sekaligus memiliki pengalaman kultur (membina pesantren atau memiliki jamaah) untuk selanjutnya diputuskan dan ditetapkan sebagai Ra’is Am PBNU.

Model inilah yang penulis sebut sebagai cerminan wajah ke-islaman yang Indonesia sekaligus ke-indonesia-an yang islami, kepemimpinan Muru’ah an-Nahdliyah Nusantara.  Selamat Sukses Munas-Konbes NU ke 33, Satu Berkah untuk Semua, Amin.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6981

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>