Muslimedianews.com ~ Awalnya saya diberi tugas untuk mengawasi konferwil NU Jatim. Tapi karena saya adalah bagian dari warga NU Rembang, akhirnya saya datang ke sini (Mei 2013). Bahkan kalaupun saya tidak diundang sebagai nara sumber, saya akan tetap datang ke konfercab (Rembang) ini sebagai penggembira.
Konferensi di semua tingkatan, dari MWC sampai muktamar, adalah waktunya konsolidasi organisasi. Maka kita tidak boleh melihat ini sebagai kegiatan rutin saja tiap lima tahun sekali. Tapi kita harus menyadari maknanya sebagai konsolidasi yaitu merapatkan barisan. Dalam setiap periode, konsolidasi ini penting karena dari waktu ke waktu organisasi ini menghadapi tantangan yang berbeda. Konferensi untuk mengidentifikasai apa masalah yang kita hadapi selama ini, dan apa yang akan kita lakukan di masa depan, dan karenanya kita akan memilih siapa orang yang tepat untuk memimpin organisasi ini.
NU secara mendasar sangat berkaitan dengan Indonesia. Ini tidak sulit dipahami karena kita tahu bahwa NU didirikan di Indonesia oleh ulama-ulama NU. Sampai sekarang kita belum memiliki warga NU yang bukan warga Indonesia. Belakangan ada ulama di Sudan yang melamar untuk menjadi anggota NU. Tetapi kita belum bisa memutuskan, menunggu keputusan muktamar.
Berdirinya NU adalah sebagai tanggapan atas gerakan Wahabi di Saudi Arabia. Kita perlu berpikir, kenapa yang menanggapi isu internasional, yaitu gerakan Wahabi, hanya ulama Indonesia? Dan kenapa tanggapan tersebut hanya dalam konteks Indonesia? Karena berdirinya NU terkait dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Karena nahdhah di NU bukan hanya dalam hal agama (respon terhadap wahabi), tetapi juga nahdhah (kebangkitan) dalam pergerakan Indonesia.
Dari sejarahnya, yang merintis berdirinya NKRI adalah para ulama yang mengasuh pesantren-pesantren di Nusantara. Sebagaimana kita tahu, kebangkitan Indonesia ditandai dengan Sumpah Pemuda yang menyatakan satu tumpah darah, bangsa, dan bahasa Indonesia. Dan kita juga tahu bahwa sebelum Sumpah pemuda ini, di Indonesia sudah ada banyak kerajaan di Nusantara. Lalu siapakah yang melahirkan kesadaran satu nusa dan satu bangsa dari berbagai kerajaan di Nusantara ini? Jawabannya tidak lain adalah para ulama, khususnya ulama Aswaja.
Nusantara memiliki ribuan pulau, suku, bahasa, agama, dsb. Lalu dari mana asal usulnya rasa persatuan ini muncul? Rasa persatuan ini muncul dari perginya para jamaah haji ke Makah. Setelah dibukanya terusan Suez, maka posisi Jedah menjadi pelabuhan penting. Dan pada abad ke-19 inilah para muslim Nusantara pergi haji ke Makah. Waktu itu, perjalanan dari Nusantara ke Makah membutuhkan waktu 40 hari.
Berbeda dengan jaman sekarang dimana tiap orang yang memiliki uang bisa haji, pada jaman itu tidak ada orang yang naik haji kecuali dari golongan santri (pesantren). Mereka adalah orang yang sudah banyak mengetahui tentang Islam sebelum pergi haji. Karenanya proses belajar dinamakan ngaji, yaitu melakukan seuatu seperti yang dilakukan oleh orang yang haji. Dan selama 40 hari di perjalanan inilah para santri Nusantara berkumpul bersama di kapal dan saling bertukar informasi, sehingga rasa kesatuan ini muncul.
Dengan demikian, Negara RI ini didirikan oleh ulama-ulama pesantren. Dan para pendahulu kita, yaitu para masyayikh kita, semua terlibat dalam pembentukan NKRI ini. Kita tahu, termasuk anggota BPUPKI adalah KH Wahid Hasyim, yang mana adalah putra KH Hasyim Asyari. Itu berarti ada NU di belakangnya.
Dan sejarah mencatat, sewaktu belanda yang diboncengi NICA datang kembali ke Indonesia untuk kembali menjajah Indonesia, maka KH Hasyim Asyari mengeluarkan Fatwa Jihad yang mewajibkan muslimin di Jawa Timur untuk ikut berperang mengusir penjajah. Demikian juga ketika terjadi penghianatan dari dalam negeri tahun 1947 dan 1965, NU dan para ulama berada di garda terdepan dalam mempertahankan Indonesia.
Dan saat ini, invansi itu datang kembali, bukan dalam bentuk fisik (perang), akan tetapi dalam berbagai bentuk, seperti ekonomi, buday politik, dll. Salah satu bentuknya adalah liberalisasi ekonomi. Contohnya adalah mata air yang ada di Indonesia tetapi dikuasai oleh perusahaan Perancis, Danone, pemilik merek Aqua.
Di lain pihak, kita juga menghadapi penghianatan dari sesama warga Negara. Yaitu penghianatan dari para koruptor. Dengan mencuri dan korupsi, mereka telah melakukan penghianatan kepada Negara. Kita benar-benar diculek dengan korupsi yang telah benar-benar merusak sendi-sendi bangsa. Dulu, orang yang korupsi itu sembunyi-sembunyi. Tapi sekarang, orang yang korupsi justru dirapatkan terlebih dulu. Mereka malah tersenyum dan tidak malu. Bahkan anak buahnya dari atas sampai di bawah malah membela. Kenapa? Karena mereka beranggapan bahwa korupsi di Indonesia itu tidak berdosa. Karena bagi mereka Indonesia adalah Negara taghut yang boleh dijarah.
Padahal Negara ini didirikan oleh para ulama dan diperjuangkan oleh mereka. Kita tahu, yang ikut bertanda tangan dalam pebentukan NKRI adalah KH Wahid Hasyim. Beliau juga yang ikut bertanda tangan dalam penghilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Beliau juga yang ikut tanda tangan dalam perumusan pasas 33 UUD 45. Dan apakah mungkin KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, KH Asnawi, KH Bisyri Syansuri, dan kiaia-kiai yang lain mendiamkan saja KH Wahid hasyim ikut bertanda tangan jika apa yang beliau tanda tangani tidak sesuai dengan syariat Islam? Jelas tidak! Ini karena Pancasila dan UUD 45 sudah sesuai dengan syariat Islam. Karena itu ketika Belanda datang kembali ke Indonesia untuk kembali menjajah, maka KH Hasyim Asyari tidak ragu untuk mengeluarkan Fatwa Jihad untuk mengusir Belanda.
Dan apakah syariat itu? Syariat adalah tuntunan akhlak. Syariat ada dua, yaitu syariat dhahir (fekih) dan syariat batin (tasawuf). Dalam fekih kita mengikuti empat mazhab, dan dalam tasawuf kita mengikuti Abu Hamid al ghazali dan al Junaid, serta al Asyari dan al Maturidi dalam bidang tauhid. Kita bermazhab karena kita tidak ingin beragama dengan awur-awuran.
Akhlak mencakup dua cabang, pertama ahwal syahsiyah, seperti cara bicara, berjalan; dan kedua berkaitan dengan muasyarah, seperti dalam konteks keluarga, guru-murid, bermasyarakat, dll. Dan NU pada dasarnya adalah tentang akhlak. Yang dilakukan NU adalah dalam bidang akhlak ini. Dan akhlak ini tidak hanya diterapkan dalam berorganisasi, tetapi juga dipraktekkan oleh tiap individu yang mengaku sebagai warga NU.
Saat ini kita merasa ada kemerosotan ikatan antar warga NU. Dan satu-satunya modal yang kita miliki dan dapat kita perkuat dalam menghadapi invasi asing dan penghianatan dalam negeri adalah kekuatan jamaah. Masyarakat kita sekarang lebih terpengaruh tv daripada kiai. Dan kita tahu, tv-tv itu dikuasai oleh para pemodal besar yang tidak mau tahu dengan akhlak.
Di satu sisi, kita perlu bersyukur karena masih ada generasi baru, tetapi juga sekaligus prihatin karena ikatan antar sesama warga NU semakin longgar. Karena itu pemimpin nantinya harus dapat merekatkan kembali antara pemimpin dan warga, serta antar sesama warga. Saat ini yang masih bisa diharapkan untuk membentengi Indonesia adalah NU.
Kita sudah menyatakan untuk kembali ke khiththah 1926. PBNU sangat berharap konfercab ini menghasilkan keputusan yang dijiwai oleh semangat memperkuat jamaah dalam membentengi Indonesia.
Kita ini tidak boleh putus asa dengan politik. Walaupun kita merasakan kejengkelan dengan para politisi, kita tidak boleh putus asa. Karena politik adalah jalan perjuangan. Indonesia merdeka dengan politik. Dan kita tahu para penghianat bangsa juga sudah masuk politik. Kenapa kita jengkel dengan politisi? Karena kita sendiri yang salah pilih. Jadi akarnya adalah rusaknya akar jamaah. Karena kita tidak saling mengenal, sehingga siapa yang member uang banyak maka dia yang dipilih.
Langkah kita jelas, bahwa kita tetap harus terlibat dalam politik, karena perjuangan tidak bisa berjalan tanpa politik, termasuk dalam bidang pendidikan. Kita memiliki mendiknas yang katanya NU, tetapi system pendidikan justru semakin menggencet anak didik. Dulu kita sekolah masih agak santai, bisa bermain di rumah. Tetapi sekarang, pergi sekolah saja anak kaboten tas karena banyaknya buku. Sekolah telah menjajah anak-anak kita sehingga tidak dapat melakukan aktivitas selain untuk sekolah, seperti ngaji. Kita butuh pendidikan karakter. Dan karakter ini yang tidak ada di pendidikan sekolah. Karena itu, sekali lagi, NU adalah tentang akhlak.
Kita menyatakan Ahmadiyah itu sesat. Namun dalam rangka akhlak kenegaraan, kita harus mengikuti hukum dan UU, karenanya tidak boleh bertindak sendiri. Kalau semua bertindak sesuka hati karena merasa minoritas, maka akan rusaklah hukum. Kita perlu juga ingat dengan nasib saudara kita yang menjadi minoritas di Papua, NTT, Maluku, dll. Kita bernegara dengan membentuk hukum,maka juga harus mau untuk melakukan akhlak hukum itu.
Konferensi di semua tingkatan, dari MWC sampai muktamar, adalah waktunya konsolidasi organisasi. Maka kita tidak boleh melihat ini sebagai kegiatan rutin saja tiap lima tahun sekali. Tapi kita harus menyadari maknanya sebagai konsolidasi yaitu merapatkan barisan. Dalam setiap periode, konsolidasi ini penting karena dari waktu ke waktu organisasi ini menghadapi tantangan yang berbeda. Konferensi untuk mengidentifikasai apa masalah yang kita hadapi selama ini, dan apa yang akan kita lakukan di masa depan, dan karenanya kita akan memilih siapa orang yang tepat untuk memimpin organisasi ini.
NU secara mendasar sangat berkaitan dengan Indonesia. Ini tidak sulit dipahami karena kita tahu bahwa NU didirikan di Indonesia oleh ulama-ulama NU. Sampai sekarang kita belum memiliki warga NU yang bukan warga Indonesia. Belakangan ada ulama di Sudan yang melamar untuk menjadi anggota NU. Tetapi kita belum bisa memutuskan, menunggu keputusan muktamar.
Berdirinya NU adalah sebagai tanggapan atas gerakan Wahabi di Saudi Arabia. Kita perlu berpikir, kenapa yang menanggapi isu internasional, yaitu gerakan Wahabi, hanya ulama Indonesia? Dan kenapa tanggapan tersebut hanya dalam konteks Indonesia? Karena berdirinya NU terkait dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Karena nahdhah di NU bukan hanya dalam hal agama (respon terhadap wahabi), tetapi juga nahdhah (kebangkitan) dalam pergerakan Indonesia.
Dari sejarahnya, yang merintis berdirinya NKRI adalah para ulama yang mengasuh pesantren-pesantren di Nusantara. Sebagaimana kita tahu, kebangkitan Indonesia ditandai dengan Sumpah Pemuda yang menyatakan satu tumpah darah, bangsa, dan bahasa Indonesia. Dan kita juga tahu bahwa sebelum Sumpah pemuda ini, di Indonesia sudah ada banyak kerajaan di Nusantara. Lalu siapakah yang melahirkan kesadaran satu nusa dan satu bangsa dari berbagai kerajaan di Nusantara ini? Jawabannya tidak lain adalah para ulama, khususnya ulama Aswaja.
Nusantara memiliki ribuan pulau, suku, bahasa, agama, dsb. Lalu dari mana asal usulnya rasa persatuan ini muncul? Rasa persatuan ini muncul dari perginya para jamaah haji ke Makah. Setelah dibukanya terusan Suez, maka posisi Jedah menjadi pelabuhan penting. Dan pada abad ke-19 inilah para muslim Nusantara pergi haji ke Makah. Waktu itu, perjalanan dari Nusantara ke Makah membutuhkan waktu 40 hari.
Berbeda dengan jaman sekarang dimana tiap orang yang memiliki uang bisa haji, pada jaman itu tidak ada orang yang naik haji kecuali dari golongan santri (pesantren). Mereka adalah orang yang sudah banyak mengetahui tentang Islam sebelum pergi haji. Karenanya proses belajar dinamakan ngaji, yaitu melakukan seuatu seperti yang dilakukan oleh orang yang haji. Dan selama 40 hari di perjalanan inilah para santri Nusantara berkumpul bersama di kapal dan saling bertukar informasi, sehingga rasa kesatuan ini muncul.
Dengan demikian, Negara RI ini didirikan oleh ulama-ulama pesantren. Dan para pendahulu kita, yaitu para masyayikh kita, semua terlibat dalam pembentukan NKRI ini. Kita tahu, termasuk anggota BPUPKI adalah KH Wahid Hasyim, yang mana adalah putra KH Hasyim Asyari. Itu berarti ada NU di belakangnya.
Dan sejarah mencatat, sewaktu belanda yang diboncengi NICA datang kembali ke Indonesia untuk kembali menjajah Indonesia, maka KH Hasyim Asyari mengeluarkan Fatwa Jihad yang mewajibkan muslimin di Jawa Timur untuk ikut berperang mengusir penjajah. Demikian juga ketika terjadi penghianatan dari dalam negeri tahun 1947 dan 1965, NU dan para ulama berada di garda terdepan dalam mempertahankan Indonesia.
Dan saat ini, invansi itu datang kembali, bukan dalam bentuk fisik (perang), akan tetapi dalam berbagai bentuk, seperti ekonomi, buday politik, dll. Salah satu bentuknya adalah liberalisasi ekonomi. Contohnya adalah mata air yang ada di Indonesia tetapi dikuasai oleh perusahaan Perancis, Danone, pemilik merek Aqua.
Di lain pihak, kita juga menghadapi penghianatan dari sesama warga Negara. Yaitu penghianatan dari para koruptor. Dengan mencuri dan korupsi, mereka telah melakukan penghianatan kepada Negara. Kita benar-benar diculek dengan korupsi yang telah benar-benar merusak sendi-sendi bangsa. Dulu, orang yang korupsi itu sembunyi-sembunyi. Tapi sekarang, orang yang korupsi justru dirapatkan terlebih dulu. Mereka malah tersenyum dan tidak malu. Bahkan anak buahnya dari atas sampai di bawah malah membela. Kenapa? Karena mereka beranggapan bahwa korupsi di Indonesia itu tidak berdosa. Karena bagi mereka Indonesia adalah Negara taghut yang boleh dijarah.
Padahal Negara ini didirikan oleh para ulama dan diperjuangkan oleh mereka. Kita tahu, yang ikut bertanda tangan dalam pebentukan NKRI adalah KH Wahid Hasyim. Beliau juga yang ikut bertanda tangan dalam penghilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Beliau juga yang ikut tanda tangan dalam perumusan pasas 33 UUD 45. Dan apakah mungkin KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, KH Asnawi, KH Bisyri Syansuri, dan kiaia-kiai yang lain mendiamkan saja KH Wahid hasyim ikut bertanda tangan jika apa yang beliau tanda tangani tidak sesuai dengan syariat Islam? Jelas tidak! Ini karena Pancasila dan UUD 45 sudah sesuai dengan syariat Islam. Karena itu ketika Belanda datang kembali ke Indonesia untuk kembali menjajah, maka KH Hasyim Asyari tidak ragu untuk mengeluarkan Fatwa Jihad untuk mengusir Belanda.
Dan apakah syariat itu? Syariat adalah tuntunan akhlak. Syariat ada dua, yaitu syariat dhahir (fekih) dan syariat batin (tasawuf). Dalam fekih kita mengikuti empat mazhab, dan dalam tasawuf kita mengikuti Abu Hamid al ghazali dan al Junaid, serta al Asyari dan al Maturidi dalam bidang tauhid. Kita bermazhab karena kita tidak ingin beragama dengan awur-awuran.
Akhlak mencakup dua cabang, pertama ahwal syahsiyah, seperti cara bicara, berjalan; dan kedua berkaitan dengan muasyarah, seperti dalam konteks keluarga, guru-murid, bermasyarakat, dll. Dan NU pada dasarnya adalah tentang akhlak. Yang dilakukan NU adalah dalam bidang akhlak ini. Dan akhlak ini tidak hanya diterapkan dalam berorganisasi, tetapi juga dipraktekkan oleh tiap individu yang mengaku sebagai warga NU.
Saat ini kita merasa ada kemerosotan ikatan antar warga NU. Dan satu-satunya modal yang kita miliki dan dapat kita perkuat dalam menghadapi invasi asing dan penghianatan dalam negeri adalah kekuatan jamaah. Masyarakat kita sekarang lebih terpengaruh tv daripada kiai. Dan kita tahu, tv-tv itu dikuasai oleh para pemodal besar yang tidak mau tahu dengan akhlak.
Di satu sisi, kita perlu bersyukur karena masih ada generasi baru, tetapi juga sekaligus prihatin karena ikatan antar sesama warga NU semakin longgar. Karena itu pemimpin nantinya harus dapat merekatkan kembali antara pemimpin dan warga, serta antar sesama warga. Saat ini yang masih bisa diharapkan untuk membentengi Indonesia adalah NU.
Kita sudah menyatakan untuk kembali ke khiththah 1926. PBNU sangat berharap konfercab ini menghasilkan keputusan yang dijiwai oleh semangat memperkuat jamaah dalam membentengi Indonesia.
Kita ini tidak boleh putus asa dengan politik. Walaupun kita merasakan kejengkelan dengan para politisi, kita tidak boleh putus asa. Karena politik adalah jalan perjuangan. Indonesia merdeka dengan politik. Dan kita tahu para penghianat bangsa juga sudah masuk politik. Kenapa kita jengkel dengan politisi? Karena kita sendiri yang salah pilih. Jadi akarnya adalah rusaknya akar jamaah. Karena kita tidak saling mengenal, sehingga siapa yang member uang banyak maka dia yang dipilih.
Langkah kita jelas, bahwa kita tetap harus terlibat dalam politik, karena perjuangan tidak bisa berjalan tanpa politik, termasuk dalam bidang pendidikan. Kita memiliki mendiknas yang katanya NU, tetapi system pendidikan justru semakin menggencet anak didik. Dulu kita sekolah masih agak santai, bisa bermain di rumah. Tetapi sekarang, pergi sekolah saja anak kaboten tas karena banyaknya buku. Sekolah telah menjajah anak-anak kita sehingga tidak dapat melakukan aktivitas selain untuk sekolah, seperti ngaji. Kita butuh pendidikan karakter. Dan karakter ini yang tidak ada di pendidikan sekolah. Karena itu, sekali lagi, NU adalah tentang akhlak.
Kita menyatakan Ahmadiyah itu sesat. Namun dalam rangka akhlak kenegaraan, kita harus mengikuti hukum dan UU, karenanya tidak boleh bertindak sendiri. Kalau semua bertindak sesuka hati karena merasa minoritas, maka akan rusaklah hukum. Kita perlu juga ingat dengan nasib saudara kita yang menjadi minoritas di Papua, NTT, Maluku, dll. Kita bernegara dengan membentuk hukum,maka juga harus mau untuk melakukan akhlak hukum itu.
Transkip Ceramah KH Yahya Chalil Staquf (Wakil Katib Syuriah PBNU) di Konfercab PCNU Rembang . Sumber : Blog MWC NU Kaliori, 14 Juni 2013