Quantcast
Channel: Muslimedia News - Media Islam | Voice of Muslim
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6981

Mengenal Identitas dan Meneladani Pemikiran Gus Dur

$
0
0
Surakarta, Muslimedianews.com ~ Sebelum bersenang hati hendak memasuki ajang pergantian tahun, dimana hal itu merupakan malam sekaligus hari yang ditunggu-tunggu oleh mayoritas manusia di muka bumi, ada baiknya kita me-flashback dahulu satu hari sebelum datangnya tahun baru. Ya...tepat pada tanggal 30 Desemberlah yang perlu kita flashback. Kita tentu ingat bahwa tanggal 30 Desember 2009 adalah hari dukanya bangsa Indonesia karena wafatnya guru besar bangsa, KH Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan Gus Dur. Sebagaian masyarakat mengira bahwa hal itu sebagai kado buruk bagi bangsa ini. Sampai-sampai dari pihak nasional menganjurkan untuk mengibarkan bendera setengah tiang pada tanggal 30 Desember sebagai bentuk duka cita.

Disamping itu, konsep perayaan tahun baru yang biasanya dilaksanakan di Ancol dengan meriah, seketika itu pula diubah dengan konsep lain. Mengutip warta Kompas, yang terbit pada Kamis, 31 Desember 2009 yang bertajuk “Hormati Gus Dur, Konsep Perayaan Tahun Baru Diubah”, saat itu dituliskan bahwasanya Presiden Direktur PT Pembangunan Jaya Ancol, pengelola Ancol Taman Impian, Budi Karya, Rabu (30/12/2009) malam, menyatakan konsep acara Ancol yang semula "Explore Your Imagination" diganti dengan "Damai Indonesia". 

"Semua pengisi acara yang tampil akan memakai pakaian berkabung. Seluruh panitia juga akan memakai pita hitam di lengan kanan sebagai tanda berkabung," ujar Budi Karya. 

Dalam perkataan Budi Karya tersebut dapat dipahami kalau perayaan tahun baru sejak saat itu sampai yang mendatang sebaiknya dilakukan dengan konsep perayaan yang baru sebagai bentuk penghormatan atas wafatnya Gus Dur.      

Seharusnya hal ini dapat mengilhami seluruh warga Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, etnis, budaya, golongan maupun agama untuk selalu mengenang Gus Dur. Sebagai tokoh besar dunia, bapak pluralisme, guru bangsa dan Presiden RI ini juga patut dicontoh oleh semua orang, khususnya warga NKRI.

Mengenal Identitas Gus Dur

Sekilas di indera pendengaran kita tidaklah aneh dengan sebutan nama mantan presiden RI ke-4 itu. Gus Dur..., nama yang hampir sudah melekat dalam hati dan lisan seluruh warga Indonesia, baik dari kalangan muslim maupun non-muslim. 

Gus Dur lahir pada 7 September 1940. Ia lahir dari keluarga terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakeknya adalah KH Hasyim Asy’ari, seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan pahlawan nasional. Dari segi namanya, beliau lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, bukan Abdurrahman Wahid. Apalagi nama aslinya yakni Abdurrahman Addakhil, pastinya sangat minim sekali yang tahu akan nama aslinya itu. Addakhil ini diambil dari nama seorang pejuang Islam di zaman Bani Umaiyah yang berhasil menaklukkan Spanyol dalam rangka mengembangkan agama Islam. Secara harfiah, Addakhil berarti “Sang Penakluk”. Namun, rupanya kata ini tidak cukup dikenal hingga ia kemudian menggantinya dengan “Wahid” yang mengambil nama belakang sang ayah. Sejak itulah nama Abdurrahman Wahid melekat padanya. Kemudian, pada perkembangannya ia justru dikenal dengan panggilan Gus Dur. (Ali Masykur Musa, 2010)

Boleh jadi dikalangan masyarakat yang belum tahu sepenuhnya tentang Gus Dur, malah menduganya “Gus Dur” itu sebagai the original name atau nama asli dari beliau. Padahal kata Gus, jika ditelusuri dari segi sejarah budayanya, sebenarnya berawal dari sebutan “Den Bagus” atau “Gus” orang memanggilnya. Ini adalah umum memanggil anak laki-laki dari seseorang. 

Di pondok pesantren di Jawa umumnya, panggilan Gus diberikan kepada anak laki-laki seorang kiai pengasuh pondok pesantren. Biasanya menjadi panggilan kehormatan khas lingkungan pesantren yang ditujukan kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas". Sedangkan kata “Dur” adalah singkatan dari Abdurrahman. Jadi, ketika orang-orang memanggil Abdurrahman yang maksudnya ditujukan kepada Gus Dur adalah dengan sebutan “Gus..., Gus Dur!”, kepanjangan dari Gus Abdurrahman.

Dalam tradisi khazanah pesantren dan dunia Islam Indonesia, umumnya kalau seorang Gus sudah berinjak ke kedewasaan dan telah menunaikan ibadah haji, maka penyebutannya diubah menjadi Kyai Haji. Masyarakat biasa memanggilnya dengan sebutan Pak Kyai, bukan dengan kata-kata Gus lagi. Namun yang aneh bagi Gus Dur, sebutan Gus tetap terus melekat padanya sampai beliau menjadi orang terpenting dalam negara bahkan hingga beliau wafat. Kata Gus Dur sudah mengejewantah dalam hati dan lisan bangsa ini. Ini mengandung pesan bahwa setinggi-tinggi ilmu seseorang, haruslah tetap tawadhu’, tidak sombong. Dengan demikian seseorang akan tetap nyaman kepadanya, baik dalam menyebut namanya atau pun bergaul dengannya. Orang yang kepenakan (baca: murah hati, rendah hati) seperti Gus Dur, akan selalu didekati orang-orang dan dihormati orang-orang. Sebab sikap murah hati yang tercermin pada diri Abdurrahman Wahid inilah yang menyebabkan ia tetap dipanggil dengan sebutan Gus Dur, bukan Kyai Dur. Karena dalam diri masyarakat kata Gus Dur sudah dirasa lebih cocok dan elegan.

Pemahaman terhadap nama seseorang sangatlah penting, bukan hanya sebagai bentuk pemahaman yang biasa saja, namun pemahaman dengan cara menggali secara mendalam terhadap nama dan filosofis dari nama seseorang juga sangat penting. Contoh seperti nama Gus Dur tadi, karena saking lazimnya penyebutannya dengan bahwa ternyata kata “Gus” itu adalah sebutan untuk anak laki-laki dari kyai, terutama di Jawa. Bukan nama asli dari Gus Dur, tetapi hanyalah panggilan atau sebutan belaka.

Meneladani Pemikiran Gus Dur

Gus Dur adalah seorang yang memberi ruang sangat luas dalam pikirannya untuk terbangunnya sebuah ideologi. Seperti yang dikatakan Ali Masykur Musa (2010) yang memberikan sebuah gembaran secara global tentang pemikiran Gus Dur. Di sana Masykur Musa menjelaskan bahwa Agama bagi Gus Dur bukanlah hanya doktrin yang kaku dan mati. Agama, sebagai hak fitrah yang melekat pada setiap manusia, merupakan hidayah dari Allah SWT yang berperan penting dalam pembentukan pola pikir, sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, nilai keberagamaan seseorang tidak dinilai dari atribut-atribut keagamaan yang dikenakannya, tapi pada perilaku kesehariannya.

Pemikiran Gus Dur diatas, dapat dipahami bahwa dalam menjalankan agama seseorang tidak dianjurkan untuk lebih menitikberatkan pada aspek lahiriyahnya saja, namun substansi dari nilai-nilai ajaran Islam itulah yang perlu ditekankan.

Bagaimana amaliyah-amaliyah seseorang dengan Tuhan-Nya apabila ia berada dalam keramaian? Bagaimana pula amaliyahnya kepada Tuhan apabila ia berada dalam kesendirian, kesunyian? Kedua konsep ini tentunya yang menjadi tolak ukur ketaqwaan seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam arti, ketika seorang hamba beribadah pada Tuhan sudah benar, ia mampu menetralisasi ibadahnya disaat ramai maupun sunyi, berarti ia adalah seorang yang dekat dengan Tuhan. Seakan-akan dunia baginya sudah tak lagi diperlukan. Singkat kata, bagi Gus Dur agama (Islam) itu diibaratkan seperti botol yang berisi minyak halal, walapun capnya gambar babi. Daripada botol minyak berstempel halal, tapi dalamnya adalah minyak babi. Dengan kata lain, Gus Dur menginginkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, Islam yang tidak hanya memandang pakaiannya saja, tapi yang terpenting adalah substansinya.  

Ini mengingatkan kita pada sosok Gus Dur ketika beliau menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia (baca: Presiden) yakni dalam bertamu ia lebih suka duduk lesehan daripada duduk diatas kursi yang megah. Bentuk kesederhanaan ini merupakan satu bukti sikap apa adanya seorang Gus Dur sekaligus seorang kepala negara. 

Selian itu, ia juga terkenal dengan pembelaannya terhadap kaum minoritas. Kerap kali ia membingungkan publik bahkan sampai dihujat habis-habisan oleh mereka yang tak suka dengan tindakan Gus Dur yang kesannya ngawur dan nyleneh itu. Perlu dipahami bahwa pembelaannya kepada kaum minoritas bukan berarti ia sepaham atau pun ikut bergabung dengan mereka. Akan tetapi ini adalah satu bentuk kepeduliaan, kemanusiaan (HAM) serta keadilan Gus Dur kepada mereka.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Gus Dur selalu menghimbau kepada seluruh warga negara untuk tetap merujuk kepada Pancasila dan konstitusi bukan pada teks kitab suci. Dorongan yang selalu dikerahkan Gus Dur ini berlaku untuk semua agama di Indonesia, tak terkecuali umat Islam. Sehingga memunculkan konsep “Kitab suci boleh menjadi inspirasi, tapi tak boleh menjadi aspirasi.” Teks kitab suci penting untuk menjadi penyemangat, pemotivasi diri untuk memajukan bangsa dan negara, namun bebarengan dengan itu tidaklah relevan jika teks kitab suci dijadikan ideologi atau pun konstitusi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama. Karena Pancasila dan UUD 45 sudah bisa mewakili dari teks kitab suci tersebut, dimana di dalamnya banyak mengandung nilai-nilai yang sama dengan ajaran teks kitab suci.

Sebagai tokoh pembaharu, Gus Dur menginginkan agar umat Islam khususnya warga Nadliyyin untuk lebih membuka ruang pemikiran dan filsafat. Dengan dinamisasi pemikiran Islam ini, diharapkan umat Islam dapat bangkit kembali dari kemandegan pemikiran Islam. Lebih dari itu, ia juga menolak segala bentuk purifikasi Islam yang berakibat radikalisme terhadap sesama umat Islam dan budaya lokal. Budaya lokal sepatutnya dijaga dan dilestarikan, tidak untuk dibumihanguskan.

Dari berbagai pemaparan tentang pemikrian Gus Dur di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa poin penting pemikiran Gus Dur, yaitu penolakannya yang konsisten terhadap “ortodoksi” dan “purifikasi” Islam. Maka, sudah seyogyanya kita meneladani pemikiran beliau yang menurut penulis pemikiran yang semacam itu adalah pemikiran yang moderat, tawasuth, tengah-tengah, tidak terbelakang juga tidak pula offset. Sangat cocok jika diimplikasikan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. 

Penulis teringat dengan sebuah kata-kata bijak yang berbunyi: “Otak boleh meniru orang Jerman, tapi hati harus tetap seperti orang Madinah”. Maksudnya, kita boleh mengedepankan akal pemikiran kita bagaikan pemikirannya orang-orang Barat (yang cerdas), tapi hati atau moralitas harus tetap dipertahankan agar tetap suci bagaikan sucinya kota Madinah.


Oleh: Abdul Aziz, Mahasiswa Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Surakarta, dalam tulisannya berjudul: Mengenang Nama dan Pemikiran Gus Dur (Edisi Haul ke-5).


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6981

Trending Articles