Muslimedianews.com ~ Pada dasarnya Nahdlatul Ulama memiliki sistem pengkaderan yang canggih yaitu pesantren. Kecanggihan sistem pengkaderan pesantren ini melebihi sistem pengkaderan dimanapun, tetapi Nahdlatul Ulama juga perlu menggencarkan badan-badan otonomnya untuk menggarap pengkaderan dunia luar pesantren, seperti kampus, sekolah, perkantoran dan sebagainya.
Berbicara soal pengkaderan, maka tidak akan terlepas dari yang aktifitas mengaji, dalam benuk majelis taklim, halaqah, liqa', daurah, dan istilah lainnya. Disini pula beda mengaji dilingkungan pesantren dan mengaji di partai politik (tidak jelas) Hizbut Tahrir. Perbedaan ini juga berimbas pada bagaimana kader memahami dan bersikap terhadap suatu persoalan.
Santri di pesantren, bila mengaji mereka membawa kitab kuning (kitab gundul). Mereka belajar membaca, belajar mengartikan kata dan kalimat, belajar susunan kalimat (tarkib) dan belajar memahami isinya. Mereka juga belajar ilmu-ilmu alat dalam rangka memahami isi kitab kuning tersebut, ditambah disiplin ilmu-ilmu lainnya. Ustadz / Kyai yang mengajar sudah paham kitabnya karena sebelumnya mereka juga mengaji.
Hal ini berbeda dengan di Hizbut Tahrir. Memang HT bukan pesantren tetapi mereka juga melakukan akifitas pengajaran mengenai Islam dalam perkumpulan yang mereka sebut sebagai halaqah. Sayangnya pengajaran mereka itu tidak komperensif, sehingga aktifitas halaqah mereka lebih pada tempat cuci otak ala Hizbut Tahrir.
Didalam halaqah Hizbut Tahrir, beberapa orang (sekitar 4 atau 5 orang) membawa buku mereka berupa terjemahan dan arab gundul mendatangi tempat pembimbing yang mereka sebut sebagai musyrif. Kedua buku itu mereka sandingkan untuk belajar ke musyrif-nya. Musyrif mereka pun membawa buku yang sama (terjamahan dan arab).
Dalam halaqah itu, yang mereka baca adalah buku terjemahannya, kitab gundulnya kadang dibaca dan kadang tidak. Kalaupun mereka membacanya, mereka membacanya secara sembarangan karena kebanyakan musyrifnya juga nggak bisa baca arab. Memang! ada yang bisa tetapi hanya beberapa saja. Jangan kira mereka dan perwakilan Hizbut Tahrir diberbagai daerah itu bisa baca kitab apalagi mengerti bahasa arab, mayoritas mereka tidak bisa.
Memang ada yang bisa membaca, biasanya mereka itu awalnya santri pesantren tetapi kemudian terjebak kepada Hizbut Tahrir. Sebab mereka mulanya memang tidak mengenal dunia dan peta pergerakan Islam.
Di halaqah, mereka belajar salah baca terus-terusan tanpa koreksi (karena musyrifnya juga senasib tidak bisa membaca). Inilah pembodohan terstruktur mereka. Maka tidak heran bila menjumpai syabab-syabab HTI yang jelas salah tetapi mereka menganggap diri mereka benar, jalan terus, apapu ditabraknya, karena mereka sudah terlatih didalam halaqah mereka, sudah mengkristal menjadi mainset mereka. "Latihan" mereka dilakukan secara rutin setiap 1-2 jam dalam seminggu.
Link Terkait:
Berbicara soal pengkaderan, maka tidak akan terlepas dari yang aktifitas mengaji, dalam benuk majelis taklim, halaqah, liqa', daurah, dan istilah lainnya. Disini pula beda mengaji dilingkungan pesantren dan mengaji di partai politik (tidak jelas) Hizbut Tahrir. Perbedaan ini juga berimbas pada bagaimana kader memahami dan bersikap terhadap suatu persoalan.
Santri di pesantren, bila mengaji mereka membawa kitab kuning (kitab gundul). Mereka belajar membaca, belajar mengartikan kata dan kalimat, belajar susunan kalimat (tarkib) dan belajar memahami isinya. Mereka juga belajar ilmu-ilmu alat dalam rangka memahami isi kitab kuning tersebut, ditambah disiplin ilmu-ilmu lainnya. Ustadz / Kyai yang mengajar sudah paham kitabnya karena sebelumnya mereka juga mengaji.
Hal ini berbeda dengan di Hizbut Tahrir. Memang HT bukan pesantren tetapi mereka juga melakukan akifitas pengajaran mengenai Islam dalam perkumpulan yang mereka sebut sebagai halaqah. Sayangnya pengajaran mereka itu tidak komperensif, sehingga aktifitas halaqah mereka lebih pada tempat cuci otak ala Hizbut Tahrir.
Didalam halaqah Hizbut Tahrir, beberapa orang (sekitar 4 atau 5 orang) membawa buku mereka berupa terjemahan dan arab gundul mendatangi tempat pembimbing yang mereka sebut sebagai musyrif. Kedua buku itu mereka sandingkan untuk belajar ke musyrif-nya. Musyrif mereka pun membawa buku yang sama (terjamahan dan arab).
Dalam halaqah itu, yang mereka baca adalah buku terjemahannya, kitab gundulnya kadang dibaca dan kadang tidak. Kalaupun mereka membacanya, mereka membacanya secara sembarangan karena kebanyakan musyrifnya juga nggak bisa baca arab. Memang! ada yang bisa tetapi hanya beberapa saja. Jangan kira mereka dan perwakilan Hizbut Tahrir diberbagai daerah itu bisa baca kitab apalagi mengerti bahasa arab, mayoritas mereka tidak bisa.
Memang ada yang bisa membaca, biasanya mereka itu awalnya santri pesantren tetapi kemudian terjebak kepada Hizbut Tahrir. Sebab mereka mulanya memang tidak mengenal dunia dan peta pergerakan Islam.
Di halaqah, mereka belajar salah baca terus-terusan tanpa koreksi (karena musyrifnya juga senasib tidak bisa membaca). Inilah pembodohan terstruktur mereka. Maka tidak heran bila menjumpai syabab-syabab HTI yang jelas salah tetapi mereka menganggap diri mereka benar, jalan terus, apapu ditabraknya, karena mereka sudah terlatih didalam halaqah mereka, sudah mengkristal menjadi mainset mereka. "Latihan" mereka dilakukan secara rutin setiap 1-2 jam dalam seminggu.
Oleh : Ibnu L' Rabassa
Link Terkait: