Muslimedianews.com ~
Persidangan kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Syekh Arifin masih berlanjut. Sidang di PN Medan pada hari kamis (12/3) menghadirkan saksi ahli dari komisi fatwa MUI Pusat Dr. KH. Hamdan Rasyid, MA dan Dr. Mahmud dari USU (Universitas Sumatra Utara) Medan.
Sidang yang dimulai jam 11.00 Wib diawali dengan pemeriksaan surat tugas dari komisi fatwa MUI Pusat kepada Dr. KH. Hamdan Rasyid, MA. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencari celah untuk mengganjal saksi ahli dari komisi fatwa MUI Pusat, namun Hakim bersikap tegas, “JPU sudah menghadirkan Tengku Zulkarnaen sebagai ahli dari MUI Pusat, sekarang penasehat hukum mengajukan saksi ahli dari komisi fatwa MUI Pusat. Ini sudah adil. Jika saksi ahli dari komisi fatwa dibatalkan, maka kesaksian Tengku Zulkarnaen harus dibatalkan.” Akhirnya JPU menerima keputusan Hakim yang menerima saksi ahli dari komisi fatwa MUI Medan.
Sebelum memberikan kesaksian sebagai saksi ahli Dr. KH. Hamdan Rasyid, MA disumpah dengan al-Qur’an berjanji akan menyampaikan kebenaran. Penasehat Hukum Syekh Arifin yaitu Idrus, SH. MH dan Eri, SH yang didampingi Holid, SH dari LPBHNU mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait prosedur pembuatan fatwa. Kemudian Kyai Hamdan Rasyid menyampaikan petunjuk prosedur pembuatan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI Pusat. Rujukan dalil yang direkomendasikan oleh MUI Pusat yaitu al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas. Jika terkait masalah furu’iyyah harus merujuk pada pendapat imam mazhab yang mu’tabar seperti Imam Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Sebelum menetapkan fatwa harus dilalui tahapan sebelumnya yaitu tashawwur, tahqiq dan masalahat al-ammah. Pertama, tashawwur yaitu harus memahami gambaran utuh tentang persoalan yang akan difatwakan, apakah terkait masalah furuiyah atau ushuliyah. Jika terkait masalah furuiyyah harus dicari rujukan pendapat para ulama’ yang mu’tabar. Kedua, tahqiq yaitu harus mengetahui permasalahan secara benar dan faktual. Harus melacak sumber-sumber primer dan sekunder serta melakukan investigasi di lapangan supaya menemukan fakta yang sebenar-benarnya. Dalam hal ini tidak boleh gegabah dan sembrono, misalnya sebuah fatwa hanya didasarkan pada laporan dua orang pelapor tapi mengabaikan masukan dari perwakilan ribuan jamaah dan fakta di lapangan. Fatwa juga tidak boleh didasarkan pada hasil interograsi. Lalu hasil interograsi tersebut dijadikan untuk menetapkan fatwa tapi mengabaikan fakta di lapangan. Ketiga, maslahah al-ammah yaitu fatwa harus memiliki kemaslahatan bagi umat. Tidak boleh fatwa dikeluarkan tapi menimbulkan permusuhan umat Islam dan rusaknya ukhuwah Islamiyah. Apalagi fatwa dikeluarkan hanya untuk mengkriminalkan orang. Karena itu, dalam menetapkan fatwa harus hati-hati, tidak boleh sembarangan, tidak boleh takut tekanan pihak manapun.
Selanjutnya, penasehat hukum Idrus, SH, MH bertanya soal subtansi fatwa MUI Sumatra Utara yang menyesatkan ajaran Syekh Arifin terkait tiga hal: penciptaan Adam oleh malaikat atas perintah Allah, zakat mal wajib kepada guru dan nikah mut’ah. KH. Hamdan Rasyid menjawab secara lebih gamblang, tiga hal itu termasuk furu’iyyah bukan ushuliyah. Jika terkait masalah ushuliyah seperti kasus Lia Eden yang mengaku Jibril, Mushadiq yang mengaku sebagai nabi, Ahmadiyah yang mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi, MUI Pusat mengeluarkan fatwa sesat karena jelas bertentangan dengan ajaran pokok dalam Islam dan bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Sebaliknya, jika masalah terkait masalah furu’iyyah harus merujuk pada pendapat para ulama yang mu’tabar. Jika terjadi perbedaan maka dicari titik temunya. Pertama, soal penciptaan Adam oleh malaikat atas perintah Allah dijelaskan secara rinci dalam kitab Badai’u l-zuhur dan tafsir Ruh al-Bayan. Sebab terkait proses penciptaan Adam di dalam al-Qur’an tidak ada nash yang qath’iy sehingga terbuka ruang untuk menafsirkan. Selain itu, KH. Hamdan Rasyid membuat analog, ungkapan Adam diciptakan oleh malaikat atas perintah Allah sama dengan ungkapan bahwa al-Qur’an diturunkan oleh malaikat Jibril atas perintah Allah, seseorang mati dicabut nyawanya oleh malaikat izrail atas perintah Allah, seseorang sakit berobat ke dokter menjadi sembuh atas izin Allah. Jadi tidak salah ungkapan Adam diciptakan oleh Malaikat atas perintah Allah.
Kedua, soal zakat wajib dibayarkan kepada guru. Dalam fikih terjadi perdebatan bahkan Imam Hanafi membolehkan zakat diberikan pada seseorang. Zakat wajib dibayarkan kepada guru boleh saja ini dalam rangka tarbiyah yaitu mendidik para jamaah. Sama halnya seorang kyai menyuruh santrinya wajib berzikir setelah shalat, padahal secara hukum Islam tdk ada hukum wajib zikir tp karena tujuannya untuk mendidik para santri. Jadi tidak ada masalah karena terkait hubungan guru dengan murid.
Ketiga, soal nikah mut’ah dalam Islam pernah diperbolehkan oleh Nabi namun para sahabat ada yang melarang ada pula yang membolehkan, seperti Umar melarang nikah mut’ah, sdgkan Ibn Abbas membolehkan. Syiah membolehkan Ahlussunnah waljamaah melarang. Terkait persyaratan nikah para imam mazhab berbeda pendapat, Imam Syafi’I harus ada syarat dua orang saksi, wali, mahar, tapi imam Hanafi berbeda pendapat bahkan membolehkan tanpa wali dan saksi. Jadi perbedaan pendapat dalam soal furu’iyyah sangat dinamis dan dapat dipahami. Akan tapi kita sebagai warga Negara Indonesia yang baik harus mengikuti aturan undang-undang pernikahan yang berlaku di Indonesia, namun demikian kita bisa memahami dan menerima perbedaan pendapat.
Ketika penasehat hukum bertanya soal sikap KH. Hamdan Rasyid terkait fatwa MUI Sumut yang menyesatkan ajaran Syekh Arifin. KH. Hamdan Rasyid menjawab, “Saya tidak akan mengomentari soal fatwa tersebut, tapi menegaskan fatwa yang benar harus mengikuti prosedur yang benar dan harus memenuhi unsur tashawwur, tahqiq dan maslahat al-ammah,” tegasnya. KH. Hamdan Rasyid menyampaikan materi saksi ahli selama dua jam dari jam 11.00 hingga jam 13.00 wib. “Sidang ditutup sementara untuk istirahat, makan dan sholat, sidang akan dibuka kembali tepat jam 14.00 wib,” kata hakim Indra sambal mengetuk palu.
Namun karena kendala teknis sidang lanjutan yang menghadirkan saksi ahli pidana dimulai jam 15.00 wib. Saksi ahli pidana disampaikan oleh Dr. Mahmud pakar hukum pidana dari USU Medan menjelaskan, bahwa terkait fatwa MUI Sumut yang menyesatkan ajaran Syekh Arifin sama sekali tidak memenuhi unsur penodaan agama. Karena pasal penodaan agama ada tahapannya, setelah membuat resah masyarakat, lalu diperingatkan oleh SKB tiga menteri. Contoh kasus penodaan agama seperti Ahamdiyah, Mushadiq, Lia Eden. Sedangkan persolan Syekh Arifin terkait persoalan sepele terkait masalah furu’iyyah dalam Islam. “Jadi sama sekali tidak tepat jika persoalan Syekh Arifin menggunakan tuduhan penodaan Agama,” tegasnya.
PRESS REALEASE
SIDANG LANJUTAN TAREKAT SAMANIYAH: SAKSI AHLI DARI KOMISI FATWA MUI PUSAT DAN AHLI PIDANA DARI USU MEDAN
Persidangan kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Syekh Arifin masih berlanjut. Sidang di PN Medan pada hari kamis (12/3) menghadirkan saksi ahli dari komisi fatwa MUI Pusat Dr. KH. Hamdan Rasyid, MA dan Dr. Mahmud dari USU (Universitas Sumatra Utara) Medan.
Sidang yang dimulai jam 11.00 Wib diawali dengan pemeriksaan surat tugas dari komisi fatwa MUI Pusat kepada Dr. KH. Hamdan Rasyid, MA. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencari celah untuk mengganjal saksi ahli dari komisi fatwa MUI Pusat, namun Hakim bersikap tegas, “JPU sudah menghadirkan Tengku Zulkarnaen sebagai ahli dari MUI Pusat, sekarang penasehat hukum mengajukan saksi ahli dari komisi fatwa MUI Pusat. Ini sudah adil. Jika saksi ahli dari komisi fatwa dibatalkan, maka kesaksian Tengku Zulkarnaen harus dibatalkan.” Akhirnya JPU menerima keputusan Hakim yang menerima saksi ahli dari komisi fatwa MUI Medan.
Sebelum memberikan kesaksian sebagai saksi ahli Dr. KH. Hamdan Rasyid, MA disumpah dengan al-Qur’an berjanji akan menyampaikan kebenaran. Penasehat Hukum Syekh Arifin yaitu Idrus, SH. MH dan Eri, SH yang didampingi Holid, SH dari LPBHNU mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait prosedur pembuatan fatwa. Kemudian Kyai Hamdan Rasyid menyampaikan petunjuk prosedur pembuatan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI Pusat. Rujukan dalil yang direkomendasikan oleh MUI Pusat yaitu al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas. Jika terkait masalah furu’iyyah harus merujuk pada pendapat imam mazhab yang mu’tabar seperti Imam Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Sebelum menetapkan fatwa harus dilalui tahapan sebelumnya yaitu tashawwur, tahqiq dan masalahat al-ammah. Pertama, tashawwur yaitu harus memahami gambaran utuh tentang persoalan yang akan difatwakan, apakah terkait masalah furuiyah atau ushuliyah. Jika terkait masalah furuiyyah harus dicari rujukan pendapat para ulama’ yang mu’tabar. Kedua, tahqiq yaitu harus mengetahui permasalahan secara benar dan faktual. Harus melacak sumber-sumber primer dan sekunder serta melakukan investigasi di lapangan supaya menemukan fakta yang sebenar-benarnya. Dalam hal ini tidak boleh gegabah dan sembrono, misalnya sebuah fatwa hanya didasarkan pada laporan dua orang pelapor tapi mengabaikan masukan dari perwakilan ribuan jamaah dan fakta di lapangan. Fatwa juga tidak boleh didasarkan pada hasil interograsi. Lalu hasil interograsi tersebut dijadikan untuk menetapkan fatwa tapi mengabaikan fakta di lapangan. Ketiga, maslahah al-ammah yaitu fatwa harus memiliki kemaslahatan bagi umat. Tidak boleh fatwa dikeluarkan tapi menimbulkan permusuhan umat Islam dan rusaknya ukhuwah Islamiyah. Apalagi fatwa dikeluarkan hanya untuk mengkriminalkan orang. Karena itu, dalam menetapkan fatwa harus hati-hati, tidak boleh sembarangan, tidak boleh takut tekanan pihak manapun.
Selanjutnya, penasehat hukum Idrus, SH, MH bertanya soal subtansi fatwa MUI Sumatra Utara yang menyesatkan ajaran Syekh Arifin terkait tiga hal: penciptaan Adam oleh malaikat atas perintah Allah, zakat mal wajib kepada guru dan nikah mut’ah. KH. Hamdan Rasyid menjawab secara lebih gamblang, tiga hal itu termasuk furu’iyyah bukan ushuliyah. Jika terkait masalah ushuliyah seperti kasus Lia Eden yang mengaku Jibril, Mushadiq yang mengaku sebagai nabi, Ahmadiyah yang mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi, MUI Pusat mengeluarkan fatwa sesat karena jelas bertentangan dengan ajaran pokok dalam Islam dan bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Sebaliknya, jika masalah terkait masalah furu’iyyah harus merujuk pada pendapat para ulama yang mu’tabar. Jika terjadi perbedaan maka dicari titik temunya. Pertama, soal penciptaan Adam oleh malaikat atas perintah Allah dijelaskan secara rinci dalam kitab Badai’u l-zuhur dan tafsir Ruh al-Bayan. Sebab terkait proses penciptaan Adam di dalam al-Qur’an tidak ada nash yang qath’iy sehingga terbuka ruang untuk menafsirkan. Selain itu, KH. Hamdan Rasyid membuat analog, ungkapan Adam diciptakan oleh malaikat atas perintah Allah sama dengan ungkapan bahwa al-Qur’an diturunkan oleh malaikat Jibril atas perintah Allah, seseorang mati dicabut nyawanya oleh malaikat izrail atas perintah Allah, seseorang sakit berobat ke dokter menjadi sembuh atas izin Allah. Jadi tidak salah ungkapan Adam diciptakan oleh Malaikat atas perintah Allah.
Kedua, soal zakat wajib dibayarkan kepada guru. Dalam fikih terjadi perdebatan bahkan Imam Hanafi membolehkan zakat diberikan pada seseorang. Zakat wajib dibayarkan kepada guru boleh saja ini dalam rangka tarbiyah yaitu mendidik para jamaah. Sama halnya seorang kyai menyuruh santrinya wajib berzikir setelah shalat, padahal secara hukum Islam tdk ada hukum wajib zikir tp karena tujuannya untuk mendidik para santri. Jadi tidak ada masalah karena terkait hubungan guru dengan murid.
Ketiga, soal nikah mut’ah dalam Islam pernah diperbolehkan oleh Nabi namun para sahabat ada yang melarang ada pula yang membolehkan, seperti Umar melarang nikah mut’ah, sdgkan Ibn Abbas membolehkan. Syiah membolehkan Ahlussunnah waljamaah melarang. Terkait persyaratan nikah para imam mazhab berbeda pendapat, Imam Syafi’I harus ada syarat dua orang saksi, wali, mahar, tapi imam Hanafi berbeda pendapat bahkan membolehkan tanpa wali dan saksi. Jadi perbedaan pendapat dalam soal furu’iyyah sangat dinamis dan dapat dipahami. Akan tapi kita sebagai warga Negara Indonesia yang baik harus mengikuti aturan undang-undang pernikahan yang berlaku di Indonesia, namun demikian kita bisa memahami dan menerima perbedaan pendapat.
Ketika penasehat hukum bertanya soal sikap KH. Hamdan Rasyid terkait fatwa MUI Sumut yang menyesatkan ajaran Syekh Arifin. KH. Hamdan Rasyid menjawab, “Saya tidak akan mengomentari soal fatwa tersebut, tapi menegaskan fatwa yang benar harus mengikuti prosedur yang benar dan harus memenuhi unsur tashawwur, tahqiq dan maslahat al-ammah,” tegasnya. KH. Hamdan Rasyid menyampaikan materi saksi ahli selama dua jam dari jam 11.00 hingga jam 13.00 wib. “Sidang ditutup sementara untuk istirahat, makan dan sholat, sidang akan dibuka kembali tepat jam 14.00 wib,” kata hakim Indra sambal mengetuk palu.
Namun karena kendala teknis sidang lanjutan yang menghadirkan saksi ahli pidana dimulai jam 15.00 wib. Saksi ahli pidana disampaikan oleh Dr. Mahmud pakar hukum pidana dari USU Medan menjelaskan, bahwa terkait fatwa MUI Sumut yang menyesatkan ajaran Syekh Arifin sama sekali tidak memenuhi unsur penodaan agama. Karena pasal penodaan agama ada tahapannya, setelah membuat resah masyarakat, lalu diperingatkan oleh SKB tiga menteri. Contoh kasus penodaan agama seperti Ahamdiyah, Mushadiq, Lia Eden. Sedangkan persolan Syekh Arifin terkait persoalan sepele terkait masalah furu’iyyah dalam Islam. “Jadi sama sekali tidak tepat jika persoalan Syekh Arifin menggunakan tuduhan penodaan Agama,” tegasnya.
Kontributor; Ali M. Abdillah