Muslimedianews.com ~ Dalam sebuah buku berjudul Manhaj Salafi Imam Syafi’i (MSIS) yang ditulis oleh Ustadz Yusuf Mukhtar Sidayu, dengan kata pengantar Dr Arifin Baderi dan Dr Nur Ihsan dari Jember, memerikan pernyataan bahwa Imam al-Syafi'i membagi tauhid menjadi 3 seperti halnya wahhabi.
Berikut tulisan Wahhabi dalam bukunya:
TANGGAPAN :
Kutipan dari Imam al-Syafi’i di atas justru bertentangan dengan tauhid tiga wahabi. Pernyataan diatas juga jelas telah mentahrif (melakukan distorsi) terhadap pernyataan Imam al-Syafi’i . Berikut bukti-bukti kesalahan fatal dalam mengartikan perkataan Imam al-Syafi’i di atas.
Pertama, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلاَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّوْرَ
“Segala puji hanya bagi Allah yang menciptakan langit-langit dan bumi, dan menjadikan kegelapan dan cahaya”
Sebagaimana dimaklumi, perkataan al-Imam al-Syafi’i di atas adalah iqtibas (petikan) dari ayat al-Qur’an Surah al-An’am. Dalam ayat di atas, lafal Allah, yang berarti Uluhiyyah, dikaitkan dengan penciptaan langit-langit, bumi, kegelapan dan cahaya. Dengan demikian, seharusnya ayat tersebut dikaitkan dengan tauhid uluhiyyah, agar selaras dengan lafal Allah. Tetapi wahhabi dengan semborononya mengaitkannya dengan tauhid rububiyyah. Ini jelas kesalahan fatal.
Kedua, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:
ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ
“kemudian orang-orang kafir menyimpang”
Terjemahan terhadap ayat tersebut adalah tidak benar. Para ulama menerjemahkan ayat tersebut dengan:
“namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.”
Jadi lafal ya’diluun, oleh para ulama diartikan mempersekutukan dan menyamakan Tuhan dengan selain Tuhan, bukan diartikan menyimpang.
Dalam ayat tersebut, lafal rabbihim, yang berarti rububiyyah, dikaitkan dengan kemusyrikan orang-orang kafir. Dengan demikian, seharusnya, kalau Wahabi konsisten dengan kalimat di atas, ayat tersebut berkaitan dengan tauhid rububiyyah, bukan uluhiyyah, agar selaras dengan lafal rabbihim dalam ayat tersebut. Tetapi wahhabi justru memahaminya sebagai tauhid uluhiyyah. Jadi Anda membolak-balik pernyataan ulama selevel Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu, agar sesuai dengan pembagian tauhid Wahabi.
Dan apabila wahhabi konsisten mengikuti pernyataan Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu secara benar, maka batallah pembagian tauhid menjadi tiga ala wahabi disebarkan. Dan nyatalah kebohongan wahhabi kepada umat Islam.
Ketiga, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:
وَلاَ يَبْلُغُ الْوَاصِفُوْنَ كُنْهَ عَظَمَتِهِ الَّذِيْ هُوَ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ وَفَوْقَ مَا يَصِفُهُ بِهِ خَلْقُهُ
“Dan orang-orang yang menyifatkan hakikat keagungan-Nya tidak akan bisa sampai seperti apa yang Dia sifatkan pada diri-Nya dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhluk-Nya.”
Fragmen tersebut sebenarnya memberikan pengertian bahwa al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu beri’tiqad bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bukan benda yang tersusun (jisim) dan bukan pula menetap pada suatu arah. Karena seandainya Allah itu berupa benda atau menetap pada suatu arah, tentu orang-orang yang menyifati-Nya akan bisa sampai pada hakikat keagungan-Nya. Ternyata di sini Imam al-Syafi’i, menegaskan bahwa orang-orang yang menyifati-Nya tidak akan sampai pada hakikat keagungan-Nya, sebagaimana Dia menyifati diri-Nya, dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhluk-Nya. Pernyataan tersebut sekaligus membatalkan terhadap konsep akidah Wahabi yang meyakini bahwa Tuhan bertempat di Arasy, dan bentuknya seperti seorang laki-laki yang masih muda dan tanpa jenggot. Allah Maha Suci dari menyerupai apapun. Para ulama salaf berkata:
كُلُّ مَا خَطَرَ بِبَالِكَ فَاللهُ لَيْسَ كَذَلِكَ
Setiap apa yang terlintas dalam pikiranmu, maka Allah tidak seperti itu.
Keyakinan bahwa wujudnya Allah tanpa tempat dan arah, adalah kesepakatan Ahlussunnah Wal-Jama’ah sejak generasi salaf yang saleh. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh seorang ulama salaf, yaitu al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah:
تَعَالَى (يَعْنِىْ اللهُ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالْغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ.
Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, sehingga Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti tangan, wajah dan anggota badan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya), Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang), tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut. (Al-‘Aqidah al-Thahawiyyah).
Pernyataan al-Imam al-Thahawi tersebut merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat dan ulama salaf yang saleh, karena al-Imam al-Thahawi menulis kitabnya, al-’Aqidah al-Thahawiyyah sebagai rangkuman dari akidah-akidah yang menjadi keyakinan seluruh sahabat dan ulama salaf yang saleh. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi juga mengatakan:
وَأَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ.
Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga bersepakat, bahwa Allah itu tidak diliputi oleh tempat dan tidak dilalui oleh zaman. (Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tanpa tahun, hlm. 256).
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu tidak berakidah seperti Wahabi, yang membagi tauhid menjadi tiga, rububiyyah, uhuliyyah dan asma’ wa shifat.
red. Ibnu Manshur
sumber Aswaja Research Group
Berikut tulisan Wahhabi dalam bukunya:
Imam Syafi’i menetapkan pembagian tauhid menjadi tiga. (Buku MSIS hlm 60).
Yang menunjukkan pembagian tersebut, cukuplah di antaranya ucapan Imam al-Syafi’i tatkala berkata:
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلاَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّوْرَ ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ … وَلاَ يَبْلُغُ الْوَاصِفُوْنَ كُنْهَ عَظَمَتِهِ الَّذِيْ هُوَ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ وَفَوْقَ مَا يَصِفُهُ بِهِ خَلْقُهُ
“Segala puji hanya bagi Allah yang menciptakan langit-langit dan bumi, dan menjadikan kegelapan dan cahaya kemudian orang-orang kafir menyimpang … Dan orang-orang yang menyifatkan hakikat keagungan-Nya tidak akan bisa sampai seperti apa yang Dia sifatkan pada diri-Nya dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhluk-Nya.” (Al-Imam al-Syafi’i, al-Risalah, hlm 101).
Ucapan beliau “yang menciptakan langit dan bumi” adalah tauhid rububiyyah.
Ucapan beliau “kemudian orang-orang kafir menyimpang” adalah tauhid uluhiyyah, karena penyimpangan mereka bukan pada tauhid rububiyyah, melainkan dalam uluhiyyah..
Ucapan beliau “orang-orang yang menyifatkan tentang keagungan-Nya” adalah tauhid asma’ wa shifat. (MSIS hlm 62).
TANGGAPAN :
Kutipan dari Imam al-Syafi’i di atas justru bertentangan dengan tauhid tiga wahabi. Pernyataan diatas juga jelas telah mentahrif (melakukan distorsi) terhadap pernyataan Imam al-Syafi’i . Berikut bukti-bukti kesalahan fatal dalam mengartikan perkataan Imam al-Syafi’i di atas.
Pertama, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلاَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّوْرَ
“Segala puji hanya bagi Allah yang menciptakan langit-langit dan bumi, dan menjadikan kegelapan dan cahaya”
Sebagaimana dimaklumi, perkataan al-Imam al-Syafi’i di atas adalah iqtibas (petikan) dari ayat al-Qur’an Surah al-An’am. Dalam ayat di atas, lafal Allah, yang berarti Uluhiyyah, dikaitkan dengan penciptaan langit-langit, bumi, kegelapan dan cahaya. Dengan demikian, seharusnya ayat tersebut dikaitkan dengan tauhid uluhiyyah, agar selaras dengan lafal Allah. Tetapi wahhabi dengan semborononya mengaitkannya dengan tauhid rububiyyah. Ini jelas kesalahan fatal.
Kedua, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:
ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ
“kemudian orang-orang kafir menyimpang”
Terjemahan terhadap ayat tersebut adalah tidak benar. Para ulama menerjemahkan ayat tersebut dengan:
“namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.”
Jadi lafal ya’diluun, oleh para ulama diartikan mempersekutukan dan menyamakan Tuhan dengan selain Tuhan, bukan diartikan menyimpang.
Dalam ayat tersebut, lafal rabbihim, yang berarti rububiyyah, dikaitkan dengan kemusyrikan orang-orang kafir. Dengan demikian, seharusnya, kalau Wahabi konsisten dengan kalimat di atas, ayat tersebut berkaitan dengan tauhid rububiyyah, bukan uluhiyyah, agar selaras dengan lafal rabbihim dalam ayat tersebut. Tetapi wahhabi justru memahaminya sebagai tauhid uluhiyyah. Jadi Anda membolak-balik pernyataan ulama selevel Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu, agar sesuai dengan pembagian tauhid Wahabi.
Dan apabila wahhabi konsisten mengikuti pernyataan Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu secara benar, maka batallah pembagian tauhid menjadi tiga ala wahabi disebarkan. Dan nyatalah kebohongan wahhabi kepada umat Islam.
Ketiga, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:
وَلاَ يَبْلُغُ الْوَاصِفُوْنَ كُنْهَ عَظَمَتِهِ الَّذِيْ هُوَ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ وَفَوْقَ مَا يَصِفُهُ بِهِ خَلْقُهُ
“Dan orang-orang yang menyifatkan hakikat keagungan-Nya tidak akan bisa sampai seperti apa yang Dia sifatkan pada diri-Nya dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhluk-Nya.”
Fragmen tersebut sebenarnya memberikan pengertian bahwa al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu beri’tiqad bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bukan benda yang tersusun (jisim) dan bukan pula menetap pada suatu arah. Karena seandainya Allah itu berupa benda atau menetap pada suatu arah, tentu orang-orang yang menyifati-Nya akan bisa sampai pada hakikat keagungan-Nya. Ternyata di sini Imam al-Syafi’i, menegaskan bahwa orang-orang yang menyifati-Nya tidak akan sampai pada hakikat keagungan-Nya, sebagaimana Dia menyifati diri-Nya, dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhluk-Nya. Pernyataan tersebut sekaligus membatalkan terhadap konsep akidah Wahabi yang meyakini bahwa Tuhan bertempat di Arasy, dan bentuknya seperti seorang laki-laki yang masih muda dan tanpa jenggot. Allah Maha Suci dari menyerupai apapun. Para ulama salaf berkata:
كُلُّ مَا خَطَرَ بِبَالِكَ فَاللهُ لَيْسَ كَذَلِكَ
Setiap apa yang terlintas dalam pikiranmu, maka Allah tidak seperti itu.
Keyakinan bahwa wujudnya Allah tanpa tempat dan arah, adalah kesepakatan Ahlussunnah Wal-Jama’ah sejak generasi salaf yang saleh. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh seorang ulama salaf, yaitu al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah:
تَعَالَى (يَعْنِىْ اللهُ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالْغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ.
Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, sehingga Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti tangan, wajah dan anggota badan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya), Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang), tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut. (Al-‘Aqidah al-Thahawiyyah).
Pernyataan al-Imam al-Thahawi tersebut merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat dan ulama salaf yang saleh, karena al-Imam al-Thahawi menulis kitabnya, al-’Aqidah al-Thahawiyyah sebagai rangkuman dari akidah-akidah yang menjadi keyakinan seluruh sahabat dan ulama salaf yang saleh. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi juga mengatakan:
وَأَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ.
Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga bersepakat, bahwa Allah itu tidak diliputi oleh tempat dan tidak dilalui oleh zaman. (Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tanpa tahun, hlm. 256).
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu tidak berakidah seperti Wahabi, yang membagi tauhid menjadi tiga, rububiyyah, uhuliyyah dan asma’ wa shifat.
red. Ibnu Manshur
sumber Aswaja Research Group