Muslimedianews.com ~ Muchlis M. Hanafi, Pakar studi al-Qur'an di Pusat Studi Qur’an (PSQ) Jakarta, mengatakan bahwa langgam atau nagham bukan sesuatu yang tawqîfi, fakta sejarah mencatat bahwa naghamât tidak semua muncul di Arab dan penggunaan nagham atau langgam selain yang popular bukanlah desakralisasi. Meski demikian, masih diperlukan waktu untuk mempopulerkan bacaan al-Quran dengan langam Nusantara di masyarakat agar kehadirannya bersifat universal.
“Perlu waktu untuk memopulerkan langgam nusantara, sehingga bersifat universal”,demikian dikatakan Muchlis M. Hanafi saat menjadi narasumber pada Rapat Koordinasi Nasional Ditjen Bimas Islam dengan Tema “Kontroversi Bacaan Langgam Nusantara yang diselenggarakan di Hotel Mercure, Jakarta Utara, Kamis (28/5).
Mengenai langgam nusantara yang beberapa hari terakhir hangat diperbincangkan, menurut Hanafi, langgam Jawa jika dilihat dari Perspektif Fiqhu Da`wah, maka ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Saat ini, langgam Jawa sebagai ekspresi Islam Nusantara telah ‘dicurigai’ sebagai desakralisasi dan liberalisasi agama, oleh karena itu perlu ada langkah yang bisa dilakukan sebelum mendemonstrasikan di masyarakat.“Perlu pra-kondisi agara masyarakat Indonesia yang majemuk dapat menerima“, ujar Hanafi.
Pra kondisi yang dimaksud Hanafi adalah perlunya ada kajian mendalam yang dilakukan oleh para pakar yang ahli dibidangnya. Dalam hal ini, Hanafi yang juga aktif di Lajnah Pentashih Al-Qur’an menilai niat Menag Lukman Hakim Saifuddin untuk melestarikan khazanah nusantara itu baik meski pada perjalanannya menuai kontroversi oleh sebagian masyarakat, dan langkah Menag yang menyerahkan persoalan ini ke para ulama juga dinilainya sebagai langkah yang tepat.
“Saya kira niat pak Menag itu baik, yaitu dalam rangka melestarikan khasanah Islam Nusantara, langgam orang maroko juga aneh jika di dengarkan oleh telinga kita, oleh karena itu langkah Menteri Agama sudah tepat yaitu menyerahkan persoalan ini kepada Ulama untuk mendiskusikan persoalan ini”, terang Hanafi.
Didepan 182 peserta Rakornas, Hanafi berharap agar Al-Qur’an bukan sekedar untuk dilantunkan dengan langgam apa pun, melainkan untuk diamalkan setelah dipahami dan dihayati pesan-pesannya. “selain kita membicarakan soal indahnya bacaan al-Qur’an, kini saatnya kita beralih dari sekedar langgam dan tajwid bacaan menuju tajwid amalan”, tutur Hanafi.
Rakornas kali ini diikuti oleh pejabat Eselon dua dan tiga dilingkungan Ditjen Bimas Islam, perwakilan para kepala bidang (Kabid) di lingkungan Bimas Islam dari seluruh Indonesia, perwakilan Ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, MUI, DMI, dll, dan menghadirkan Narasumber luar dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kemendagri, Kementerian Keuangan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (syam/foto:bimasislam)
sumber bimasislam.kemenag
“Perlu waktu untuk memopulerkan langgam nusantara, sehingga bersifat universal”,demikian dikatakan Muchlis M. Hanafi saat menjadi narasumber pada Rapat Koordinasi Nasional Ditjen Bimas Islam dengan Tema “Kontroversi Bacaan Langgam Nusantara yang diselenggarakan di Hotel Mercure, Jakarta Utara, Kamis (28/5).
Mengenai langgam nusantara yang beberapa hari terakhir hangat diperbincangkan, menurut Hanafi, langgam Jawa jika dilihat dari Perspektif Fiqhu Da`wah, maka ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Saat ini, langgam Jawa sebagai ekspresi Islam Nusantara telah ‘dicurigai’ sebagai desakralisasi dan liberalisasi agama, oleh karena itu perlu ada langkah yang bisa dilakukan sebelum mendemonstrasikan di masyarakat.“Perlu pra-kondisi agara masyarakat Indonesia yang majemuk dapat menerima“, ujar Hanafi.
Pra kondisi yang dimaksud Hanafi adalah perlunya ada kajian mendalam yang dilakukan oleh para pakar yang ahli dibidangnya. Dalam hal ini, Hanafi yang juga aktif di Lajnah Pentashih Al-Qur’an menilai niat Menag Lukman Hakim Saifuddin untuk melestarikan khazanah nusantara itu baik meski pada perjalanannya menuai kontroversi oleh sebagian masyarakat, dan langkah Menag yang menyerahkan persoalan ini ke para ulama juga dinilainya sebagai langkah yang tepat.
“Saya kira niat pak Menag itu baik, yaitu dalam rangka melestarikan khasanah Islam Nusantara, langgam orang maroko juga aneh jika di dengarkan oleh telinga kita, oleh karena itu langkah Menteri Agama sudah tepat yaitu menyerahkan persoalan ini kepada Ulama untuk mendiskusikan persoalan ini”, terang Hanafi.
Didepan 182 peserta Rakornas, Hanafi berharap agar Al-Qur’an bukan sekedar untuk dilantunkan dengan langgam apa pun, melainkan untuk diamalkan setelah dipahami dan dihayati pesan-pesannya. “selain kita membicarakan soal indahnya bacaan al-Qur’an, kini saatnya kita beralih dari sekedar langgam dan tajwid bacaan menuju tajwid amalan”, tutur Hanafi.
Rakornas kali ini diikuti oleh pejabat Eselon dua dan tiga dilingkungan Ditjen Bimas Islam, perwakilan para kepala bidang (Kabid) di lingkungan Bimas Islam dari seluruh Indonesia, perwakilan Ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, MUI, DMI, dll, dan menghadirkan Narasumber luar dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kemendagri, Kementerian Keuangan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (syam/foto:bimasislam)
sumber bimasislam.kemenag