Quantcast
Channel: Muslimedia News - Media Islam | Voice of Muslim
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6981

Islam Indonesia dan Keragaman

$
0
0
Muslimedianews.com ~
Islam Indonesia dan Keragaman
Oleh: Abdul Aziz*
    Islam sebagai sebuah al-din al-haq, bukan hanya menjadi agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Akan tetapi, Islam juga merupakan agama peradaban yang membawa rahmat bagi semesta alam, bukan agama teroris maupun agama sekuler. Dengan inilah Allah mengutus Rasul-Nya, Muhammad Saw sebagai seorang humaniser, bukan rasialis. Sebagaimana penegasan-Nya dalam surat al-Ambiyâ’ ayat 107, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam”.
    Setelah wafatnya Rasulullah Saw, tonggak kebenaran dipegang oleh para sahabat, kemudian diganti oleh tabi’in, setelah itu tabi’ tabi’in hingga kemudian para ulama lah sebagai penerus dakwah Islamiyah. Ulama sebagai seorang yang dinobatkan “waratsatul ambiya”-pewaris Nabi-, serta orang yang takut kepada Tuhan, merupakan beberapa golongan manusia yang harus kita segani. Karena dari mereka lah kita dapat mengetahui ‘ulum al-ddin, serta melalui mereka pula kita dapat memahami al-Qur’an dan Sunnah.
    Ulama sebagai seorang yang disegani oleh masyarakat, seringkali disebut sebagai “kiai”. Terutama di Jawa, kiai menjadi salah satu tokoh sentral yang tersohor bahkan melebihi priyayi. Masyarakat Jawa biasanya juga menyebut sebagian para ‘alim ‘ulama yang dituakan di suatu daerah dengan sebutan atau panggilan “Mbah”. Oleh karena itu, masyarakat Jawa lebih elegan ketika mereka memanggil para ‘alim ‘ulama atau para Syaikh dengan sebutan Mbah. Seperti halnya yang terjadi pada Mbah Mubin, salah satu ulama penyebar Islam di Pantai Selatan Jawa abad ke-XVII. Ia akan tetap dipanggil “Mbah Mubin”, semenjak mulai mendarat di Jawa hingga wafat, bahkan sampai sekarang oleh orang yang hendak berziarah ke makamnya mayoritas akan mengatakan, “ayo berziarah ke makam Mbah Mubin”. Kalaupun ia adalah seorang pendatang dari negeri Gujarat-Hindia, yang merupakan seorang ulama besar disana, untuk kemudian dikirim berdakwah ke Jawa, khususnya di Kebumen. 
    Ini mengindikasikan bahwa panggilan “Mbah” terhadap para tokoh agama menjadi karakteristik tersendiri bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Jawa pada khususnya. Istilah “Mbah” sebagai ciri khas dari masyarakat Jawa ini, ternyata merambak ke ranah pesantren. Maka, tidak aneh jika kiai-kiai kharismatik di pesantren juga dipanggil dengan menggunakan istilah “Mbah”.
    Maka dari itu, seharusnya kita tidak asing lagi jika mendengar apa yang disebut-sebut sebagai “Islam Nusantara”, sebagaimana telah terjadi kehebohan pada bulan lalu di media informasi baik cetak, elektronik maupun online. Tidak perlu diperdebatkan tentang boleh tidaknya adanya Islam Nusantara tersebut, kalau orang yang sudah paham akan esensi makna dari Islam Nusantara pasti hanya akan tawaquf (baca: mendiamkan). Untuk mengetahui makna dari Islam Nusantara sendiri, setidaknya patut dipahami pernyataan Ali Musthofa Ya’qub yang mengatakan bahwa, antara agama (Islam) dengan budaya (Nusantara) itu berbeda. Jadi, antara agama dan budaya itu tidak dapat disatukan. Oleh karenanya, akan lebih tepat jika yang dimaksud Islam Nusantara itu berarti Islam yang bercorak budaya. Artinya di dalam budaya tersebut terdapat nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam. Dimana Islam sendiri merupakan agama yang menekankan keluhuran budi pekerti, toleransi, keadilan dan kesantunan, bukan mengajarkan anarkisme, radikalisme maupun terorisme (Ali Masykur Musa, 2014:127).
    Sebab ada budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Katakanlah walisongo yang telah berdakwah di bumi Nusantara ini dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal, sedangkan yang tidak sesuai dengan nilai Islam pasti mereka tinggalkan (pastinya dengan cara yang santun, dan penuh loyalitas). Maka menurut saya mengenai istilah Islam Nusantara ini seyogyanya dapat dipahami secara mendalam, supaya tidak memicu lagi konflik horizontal yang bersifat rasial antar sesama warga negara Indonesia. Karena bagaimanapun juga dari awal Islam masuk ke bumi Nusantara pada umumnya terjadi dengan jalan damai. Oleh sebab itu hanya masalah istilah saja seharusnya tidak perlu untuk diributkan apalagi sampai saling menyalahkan. Bahkan dengan munculnya istilah-istilah seperti ini di bumi Nusantara, menjadikan keunikan tersendiri Islam di Indonesia. Berbeda-beda baju bukan berarti tidak beda tujuan, walaupun ada istilah Islam Nusantara, maupun Islam Kejawen, dari sisi ormas ada NU, Muhammadiyah, Persis, Perti dan lain sebagainya, namun umat Islam Indonesia akan selalu bersatu menghadapi berbagai ancaman. Contoh nyata adalah ketika pasukan berani mati (AOI, laskar hizbullah, pemuda Muhammadiyah) berjuang bersama melawan kolonial. Kemudian ketika menolak paham keagamaan yang radikal dan liberal, Muhammadiyah dan NU juga tampil didepan sebagai dua sosok ormas raksasa bergerak untuk menolak dengan tegas kedua paham yang dianggap dapat menggelapkan umat Islam tersebut. Boleh jadi hal ini lah yang membuat para orientalis maupun peneliti asing tergiur untuk meneliti Islam di Nusantara, karena memang terkesan unik dan langka serta jarang terjadi di negara-negara lain.
    Keunikan sejarah Islam di tanah Jawa ini telah mengundang hati para peneliti asing ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam Indonesia. Mereka kemudian tidak hanya sekedar meneliti, tetapi menghasilkan karya monumental. Sehingga menjadi terkenal karena meneliti Islam Indonesia, khususnya di Jawa. Clifford Geertz, Snouck Hurgronje dan William Liddle adalah ilmuan Barat yang terkenal karena meneliti tentang Islam di Indonesia. Bahkan ada pemeo yang beredar, bahwa Islam Indonesia merupakan “sorga” bagi peneliti asing. Mereka amat menikmati keagamaan dan variasi umat Islam Indonesia dan keragaman itu pula lah mereka terdorong untuk menemukan teori-teori baru, terutama dalam ilmu sosial. Terlepas dari keinginan agar menjadi terkenal dengan meneliti, yang paling penting adalah temuan hasil penelitian yang dilakukan dapat berbuah manis bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. 
    Sejarah Islam Indonesia khususnya di Jawa memang memiliki keunikan tersendiri karena di samping menjadi salah satu faktor pemersatu bangsa, juga memberikan nuansa baru dalam keberislaman yang berbeda dengan karakter dan sifat keberislaman di negara-negara Islam lain terutama di Timur Tengah. Islam di Indonesia terbukti mampu berinteraksi dengan budaya lokal, seperti bentuk masjid dan tata cara yang mengiringi ritual keagamaan.    Terjadinya akulturasi budaya dan agama tersebut tidak lepas pada kegigihan dakwah para walisongo dan para wali lainnya di tanah Jawa ini. Karena para wali dalam melakukan islamisasi ataupun menghayati agama berdasar tiga hal penting yakni: toleran, moderat dan akomodatif. Bagi seorang Muslim, keimanan yang hanya dibalut dengan simbol-simbol tidaklah cukup. Orang yang telah beriman harus disempurnakan dengan amal dan ibadah yang baik, serta perilaku yang terpuji (akhlaq al-karimah).
    Fenomena akulturasi budaya dengan agama di Jawa, juga menyebabkan terjadinya dua hal yakni pertama, agama Islam dibalut dengan budaya Jawa, dan kedua, budaya Jawa yang dibalut dengan Islam. Islam yang dibalut dengan budaya Jawa misalnya, Maulid Nabi, Rajaban, Selikuran (pada malam yang diduga lailatul qadar) dan lain sebagainya. Sedangkan budaya Jawa yang dibalut dengan Islam misalnya, Sekaten, Mitoni, Ngupati, Ruwatan dan lain-lain. Namun, sejatinya jika kita mau mendalami dan mengkaji tradisi budaya masyarakat Jawa sebagaimana contoh-contoh diatas sebenarnya terdapat dasarnya. Maka, sebagai Muslim sudah seyogyanya jangan menyalahkan, membid’ahkan, memusyrikkan, apalagi mengkafirkan Muslim yang lain. Karena sejatinya Muslim yang mengamalkan amalan-amalan seperti diatas adalah mempunyai dasar dan pegangan tersendiri. Bahkan para ulama dan walisongo ketika berdakwah pun sebenarnya berprinsip dengan istilah kaidah fiqhiyah, “al-muhafadzatu ‘ala al-muqadimil shaalih wal akhdu bi al-jadiidil ashlah”, -menjaga tradisi lama yang positif dan mengambil tradisi baru yang lebih positif-. Di bulan ramadhan ini sebagai sebuah bulan suci, seyogyanya dijadikan untuk selalu meningkatkan mengaji dan mengkaji keislaman secara komprehensif, kemudian megaplikasikannya dalam kehidupan. Dan yang pasti kita harus bangga menjadi muslim Indonesia, yang mempunyai keberagaman namun tetap kokoh dalam kesatuan dan persatuan. 
Jum’at, 03 Juli 2015/ 16 Ramadhan 1436 H.
*Abdul Aziz
Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis Institut Agama Islam Negeri Surakarta


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6981

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>