Muslimedianews.com ~ Saya sudah berusaha untuk bersikap netral ketika menyikapi ajaran yang diklaim sebagai pengikut ajaran salaful ummah.
Saya berusaha untuk kedepankan sikap husnuzzon, yaitu dengan mengikuti dauroh bersama kibarul ulama dari Riyadh, tidak tanggung-tanggung yang memberi materi adalah Syaikh Dr. Abdul Hakim al-Ajlan dan Dr. Nashir bin Abdullah al-Qafary. Semua ulama dari sana kenal, siapa kedua orang ini. Saya juga membaca karya-karya Syaikh bin Baz dan muridnya Syaikh ibnu Utsaimin dan Syaikh Solih bin Fauzan.
Husnuzzon saya, mungkin mereka mengkritisi pemahaman kaum awam--yang memang harus kita akui ada yang menyimpang dari pemahaman sunnah.
Kalangan awam memang terkadang melakukan praktek iltibasul haq bil bathil (mencampuradukkan). Lagi-lagi husnuzzon saya terhadap kajian yang diklaim sebagai salafy adalah bahwa mereka sekedar melakukan kritik metodologi terhadap mazhab-mazhab di luar mereka tanpa menempatkan mereka di posisi sesat apalagi kufur.
Pada awalnya saya percaya bahwa mereka berusaha mempertemukan umat dengan semboyan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Namun, kepercayaan itu hilang, setelah berkali-kali saya menemukan inkonsistensi pendapat para ulama mereka tentang kedudukan mazhab-mazhab selain mereka, khususnya Asy'ariyyah.
Ulama mereka, seperti Syaikh al-Abbad di dalam risalahnya Rifqan Ahlassunnah bi Ahlissuunnah, menyebut kaum Asy'ariyyah sebagai pelaku bid'ah. Demikian pula dengan Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Solih al-Fauzan. Di dalam dauroh yang saya ikuti, pendapat senada juga sering diperdengarkan.
Namun anehnya, sebagian kecil ulama mereka, justru mempunyai pendapat yang berbeda. Hanya saja kalah popular sehingga pada akhirnya, saya berkesimpulan, "Apa yang bisa dipegang dari kelompok yang mencla-mencle dalam berpendapat, lebih-lebih dalam persoalan aqoid?".
Kebingungan saya bertambah ketika kader-kader mereka lebih suka menonjolkan perbedaan dibandingkan persaudaraan. Apalagi di dalam dauroh yang didukung oleh salah satu ormas dakwah itu, selalu diperdengarkan jargon "Keharusan mengislamkan NU dan orang NU". Mereka mengatakan bahwa keberhasilan dakwah ukurannya adalah Islamnya orang-orang NU dari praktek syirik, bid'ah dan khurafat--naudzu billah.
Entah sampaikan sikap netral ini harus dipertahankan.
Saya berusaha untuk kedepankan sikap husnuzzon, yaitu dengan mengikuti dauroh bersama kibarul ulama dari Riyadh, tidak tanggung-tanggung yang memberi materi adalah Syaikh Dr. Abdul Hakim al-Ajlan dan Dr. Nashir bin Abdullah al-Qafary. Semua ulama dari sana kenal, siapa kedua orang ini. Saya juga membaca karya-karya Syaikh bin Baz dan muridnya Syaikh ibnu Utsaimin dan Syaikh Solih bin Fauzan.
Husnuzzon saya, mungkin mereka mengkritisi pemahaman kaum awam--yang memang harus kita akui ada yang menyimpang dari pemahaman sunnah.
Kalangan awam memang terkadang melakukan praktek iltibasul haq bil bathil (mencampuradukkan). Lagi-lagi husnuzzon saya terhadap kajian yang diklaim sebagai salafy adalah bahwa mereka sekedar melakukan kritik metodologi terhadap mazhab-mazhab di luar mereka tanpa menempatkan mereka di posisi sesat apalagi kufur.
Pada awalnya saya percaya bahwa mereka berusaha mempertemukan umat dengan semboyan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Namun, kepercayaan itu hilang, setelah berkali-kali saya menemukan inkonsistensi pendapat para ulama mereka tentang kedudukan mazhab-mazhab selain mereka, khususnya Asy'ariyyah.
Ulama mereka, seperti Syaikh al-Abbad di dalam risalahnya Rifqan Ahlassunnah bi Ahlissuunnah, menyebut kaum Asy'ariyyah sebagai pelaku bid'ah. Demikian pula dengan Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Solih al-Fauzan. Di dalam dauroh yang saya ikuti, pendapat senada juga sering diperdengarkan.
Namun anehnya, sebagian kecil ulama mereka, justru mempunyai pendapat yang berbeda. Hanya saja kalah popular sehingga pada akhirnya, saya berkesimpulan, "Apa yang bisa dipegang dari kelompok yang mencla-mencle dalam berpendapat, lebih-lebih dalam persoalan aqoid?".
Kebingungan saya bertambah ketika kader-kader mereka lebih suka menonjolkan perbedaan dibandingkan persaudaraan. Apalagi di dalam dauroh yang didukung oleh salah satu ormas dakwah itu, selalu diperdengarkan jargon "Keharusan mengislamkan NU dan orang NU". Mereka mengatakan bahwa keberhasilan dakwah ukurannya adalah Islamnya orang-orang NU dari praktek syirik, bid'ah dan khurafat--naudzu billah.
Entah sampaikan sikap netral ini harus dipertahankan.
Ust. Abdi Kurnia Djohan
ilustrasi gambar : buku wahhabi