Muslimedianews.com ~ Berikut ini merupakan transkip daripada penjelasan Prof. Quraish Shihab tentang Sunni dan Syi'ah dalam rangka membicarakan kesepahaman menuju persatuan. Tidak semua umat Islam sepakat dengan "persatuan Sunni dan Syi'ah", tetapi penjelasan Prof. Quraish berikut dapat menjadi salah satu referensi pertimbangan bagi semua pihak untuk kemaslahatan bersama.
Transkip dari diambil dari sebuah video pidato pembukaan Prof. DR. Quraish Shihab dalam membahas resensi buku putih mazhab syiah di Indonesia yang diterbitkan oleh pihak Syi'ah.
Setidaknya ada tiga poin penting yang disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab yaitu tentang kesalah pahaman terhadap madzhab sendiri, adanya perkembangan pemikiran dan tidak membedakan antara pendapat ulama dan pendapat orang awam. Berikut traskipnya :
Hari ini kita berkumpul untuk peluncuran buku putih, yang kedua membicarakan kesepahaman menuju persatuan. Dua acara ini sebenarnya menyatu, tidak ada persatuan kalau tidak ada kesepahaman, tidak bisa ada kesepahaman kalau kita tidak memahami diri kita dan memahami pihak lain.
Buku putih itu upaya untuk memperkenalkan agar dipahami siapa Syi'ah itu. Tetapi, memahami Syi'ah saja tidak cukup untuk terwujudnya kesapahaman kalau pihak yang diluar Syi'ah tidak memahami dirinya. Karena itu kesepahaman perlu.
Boleh jadi sebab utama dari apa yang terjadi dalam masyarakat Islam didunia dan apa yang terjadi di Indonesia itu sebabnya adalah kesalah pahaman. Kalau kita persempit, kesalah pahaman sementara orang-orang Syi'ah terhadap madzhab mereka, dan kesalah pahaman orang-orang Sunni terhadap madzhab mereka.
Mari saya berusaha memperjelas persoalan. Tidak dimungkiri oleh siapapun bahwa Syi'ah itu atau yang dinamai Syi'ah itu banyak kelompoknya. Sehingga, kalau ada pendapat dari satu kelompok Syi'ah yang dinisbatkan kepada kelompok lain maka disini bisa timbul kesalah pahaman.
Satu contoh, ada Syi'ah Ismailiyah, yang ada sekarang, ada Syi'ah Zaidiyah, yang ada sekarang, banyak di Yaman, ada Syi'ah Ja'fariyah, ada perbedaan-perbedaan antar mereka sekarnag itu.
Dulu ada Syi'ah al-Khaththabiyah, ada Syi'ah al-Qaramitha, ada syi'ah bermacam-macam, puluhan.
Kalau ada mengambil pendapat Syi'ah, katakanlah al-Qaramitha atau al-Khatthabiyah lalu anda nisbahkan kepada al-Ja'fariyah, terjadi kesalah pahaman. Dan anda mendlolimi salah satu dari kelompok ini.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa ada Syi'ah yang sesat. Tidak bisa dimungkiri. Bahkan ada kelompok Syi'ah yang menyesatkan kelompok Syi'ah yang lain. Salah satu keluhan adalah anda mengambil kelompok pendapat-pendapat satu kelompok kemudian menyangka itu ada adalah kelompok yang lain, lalu atas dasarnya anda menyesatkan kelompok yang lain. Ini karena tidak paham.
Saya lihat disisi Sunnah pun begitu. Semua sepakat bahwa jangan mudah mengkafirkan orang lain, itu di Sunnah. Imam al-Ghazali berkata, kalau seandainya anda mendengar kalimat yang diucapkan oleh seseorang, 99% diantaranya menunjukkan bahwa yang bersangkutan kafir, masih ada 1% yang memungkin dia dinilai beriman, maka jangan kafirkan dia. Itu di Sunnah. karena membiarkan hidup 1000 orang yang kafir itu kesalahannya lebih ringan daripada membunuh kafir seorang muslim. Tapi kan banyak yang tidak tahu, jadi tidak mengerti dirinya. Bisa jadi tidak mengerti dirinya, tidak mengerti orang lain, terjadilah cekcok. Itu yang pertama.
Saya khawatir nanti ini buku, Buku Putih, nanti muncul lagi itu, ini Syiah yang mana ini.
Yang kedua, yang ingin saya garis bahwahi dalam konteks kita mencari atau menuju kepersatuan itu.
Ada perkembangan pemikiran. Karena pemikiran apapun termasuk pemikiran keagamaan dipengaruhi oleh banyak faktor. Bisa perkembangan ilmu, kemaslahatan, bisa kecenderungan seseorang, bermacam-macam faktor. Sehingga, semua madzhab apapun, madzhab pemikiran apapun pasti telah terjadi perubahan-perubahan, sedikit atau banyak menyakut pendapat2-nya, pasti itu. Pendapat Darwin sudah diubah oleh pendapat Darwinisme yang baru. Berkembang!. Pendapat Syari'i, janganlah dengan orang lain, dengan dirinya yang ada ketika dia di Irak sudah berbeda ketika dia berada di Mesir. Ada perkembangan. Salaf, begitu juga. Banyak Salafiyah yang sekarang itu berbeda pandangannya dengan pendapat Salafi Imam Ahmad. Ada perkembangan.
Kemaslahatan umat Islam mengantar sebagian tokoh2nya untuk melakukan pendekatan2 berdasar pada pemikiran dan pertimbangan2 baru. Kalau tidak, itu adalah orang-orang yang terlambat lahir.
Saya ada menulis itu (buku), "Sunnah dan Syi'ah Bergandengan Tangan", dibantah oleh satu pesantren. Saya lihat2, kalau saya bantah (balik) berarti saya terlembat lahir. Karena mereka, masih merujuk kepada pendapat2 lama yang boleh jadi tidak bersumber dari apa yang diuraikan sekarang ini.
Tapi coba merujuk. Saya bertanya kepada ulama-ulama Syi'ah Kontemporer, adakah perkembangan itu? Jelas ada, ada perkembangan itu. Misalnya, coba baca Imam Khomeini menyakut Taqiyyah, itu beda dengan pendapat lama. Ada perkembangan dong. Coba baca pendapat yang berkaitan dengan izin untuk mengangkat senjata terhadap penguasa. Dulu tidak ada izin itu, tidak boleh, sampai datang imam. Ada perkembangan pemikiran. Sehingga, kalau orang ingin merujuk kepada suatu madzhab dengan pendapat2 yang lama tanpa mempertimbangkan pendapat baru, itu salah namanya. Iya kan?!!!.
Yang ketiga, kita haru membedakan antara pendapat intelektual ulama dan cendikiawan, dengan pendapat orang2 awam. Itu harus dibedakan.
Kata guru saya, Syaikh Abdul Halim Mahmud, ada bukunya At-Tafkirul Falsafi fil Islam. Beliau berkata, kita tidak bisa menilai orang2 Perancis itu dengan pemikirannya dengan memperhatikan orang2 di desa2 Prancis yang bodoh. Tidak bisa dong.
Kita tidak bisa menggambarkan pemikiran orang2 Mesir yang masih telanjang kaki, padahal ada cendikiawan2-nya yang begitu hebat pemikiran2-nya. Kesalaham kita disini.
Sering kali kita mengukur pendapat suatu kelompok tidak merujuk kepada pendapat ulama2nya, bisa jadi di Sunni, bisa jadi di Syi'ah. Tidak mungkin ada kesalah pahaman kalau seperti itu halnya.
Rujuklah kepada pendapat ulama kelompok yang mu'tabar. Jangan merujuk kepada kelompok apapun namanya yang sebenarnya tidak diakui dia sebagai ulama, dan itu banyak, bukan hanya di Syi'ah, di Sunni pun banyak.
Saya ingin memberi contoh di Sunni yang saya pelajari. Bagaimana pendapat2 ulama hadits menyangkut Imam Al-Ghazali dalam bidang hadits. Katakan "tidak mengerti hadits", padahal Imam al-Ghazali ini. Bagaimana pendapat2 ulama tentang Imam al-Suyuthi?! kata Syaikh Muhammad Rasyid Ridlo, itu orang pengumpul kayu di malam hari.
Itu sebabnya, ada seorang penulis besar di Mesir, almarhum Abdul Qadir Audah menyatakan, problema umat kita adalah Islam Baina Jahli Abnaihi wa 'Ajzi Ulamaihi, Islam berada ditengah-tengah kebodohan umatnya dan ketidak mampuan ulamanya. itu adalah kita. Sekali lagi, ada orang2 kita, termasuk saya, (dituduh) "pak Quraish Shihab itu Syi'ah". Saya katakan "Tidak".
Saya bukannya berkata bahwa "Saya bukan Syi'ah madzhaban (secara madzhab)" karena saya menganggap Syi'ah sesat, tidak. Karena saya pahami siapa yang dimaksud dengan Syi'ah.
Syaikh Abdul Halim Mahmud, beliau guru saya, saya akrab dengan beliau, beliau berkata begini, "Jangan beranggapan bahwa seorang yang berpendapat bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib afdlol atau lebih utama dari Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman, jangan berkata bahwa orang yang berpendapat demikiana dalah Syi'ah. Karena, sejarah menunjukkan, ada kelompok Muktazilah yang di Baghdad itu berbeda dalam sikapnya terhadap Sayyidina Ali dengan kelompok Muktazilah yang di Bashrah. Yang di Bashrah menilai bahwa Sayyidina Ali lebih utama daripada Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman. Tetapi, mereka bukan Syi'ah, bahkan mereka memusuhi Syi'ah. Saya khawatir yang terjadi di Indonesia, (dituduh) ini Syi'ah tetapi (sebenarnya) bukan Syi'ah. Karena kita pahama, kita kan mau kesepahaman nih. Pahami dulu diri anda!.
Satu contoh, siapa yang dinamai Kafir. Ada diskusi dikalangan ulama Syi'ah, antara madzhab Abu Hanifah dan madzhab Syafi'i. Atau antara Imam Abu Hanifah dengan Imam Syafi'i. Imam Abu Hanifah berkata "yang tidak shalat kafir". Imam Syafi'i berkata "Tidak, dia tidak kafir". Imam Syafi'i bertanya "Bagaimana caranya orang yang tidak shalat, supaya dia masuk Islam lagi?". Dijawab oleh Imam Abu Hanifah "Dia ucapkan kalimat syahadat". Kata Syafi'i "Lah ini dia tidak pernah tinggalkan dua kalimat Syahadat, kenapa anda surah mengucapkan lagi?. Jadi itu bukan kafir, itu muslim yang berdosa".
Kita semua, semua yang mengaku muslim, bahkan orang kafir pun dalam konteks menghadapi umat Islam, tidak jarang merujuk kepada al-Qur'an. Muslim semua merujuk pada al-Qur'an. Tapi tahukah saudara, bahwa salah satu sebab perbedaan antara umat Islam adalah al-Qur'an. Yang menjadikan kita beda itu al-Qur'an. Syafi'i merujuk kepada al-Qur'an, Abu Hanifah merujuk kepada al-Qur'an, Imam Jakfar merujuk kepada al-Qur'an, Imam Zaid kepada merujuk kepada al-Qur'an, semua merujuk kepada al-Qur'an. Tapi berbeda, karena memang sedikit sekali kesimpulan2 yang diambil dari al-Qur'an dan Sunnah yang pasti begitu. Lainnya itu adalah kemungkinan, kenapa?. Kata Imam al-Syathibi yang Sunni Maliki itu, ada 10 sebabnya, ini kata (teks) dari al-Qur'an, arti Haqiqi atau Majazi?, yang berarti Haqiqi sudah berbeda dengan yang berarti Majazi. Apakah Allah punya tangan??. Yadullahi Fauqa Aidihim. "Ada tangan Tuhan tapi beda dengan tangan makhluk", itu kata yang satu. "Tidak, ini metafor", kata yang satunya lagi. Ada sebab perbedaan lagi, adalah rujukan kepada bahasa. Al-Masih, apa artinya?, diambil dari kata Masaha, mengusap, atau dari Saha, berkeliling?. sudah beda. Ada persoalan I'rab, Wamsahu bi-Ruusikum, wa Arjulikum atau wa Arjulakum? sudah beda lagi. Dua-duanya merujuk kepada al-Qur'an. Ada sisipan, misal orang yang musafir itu boleh puasa atau tidak? tidak boleh, itu pendapat Syi'ah Jakfariyah, tapi Sunni (berbeda). Dua-duanya merujuk kepada al-Qur'an dan al-Sunah. Wa Man Kana Minkum Maridlon au ala Safarin fa-iddatun min Ayyamin Ukhor, Sunni disisipkan karena dia mengukuhkan hadits, Wa Man Kana Minkum Maridlon au ala Safarin (wa lam Yashumm) dalam kurung, semua merujuk, dan itu kemungkinan2, banyak sekali faktor. Hadits begitu juga. Ada perawi2 Bukhari yang dianggap tidak cukup kuat oleh Imam Muslim.
Kalau kita mau ambil semua ini, lantas merujuk, oh itu madzhab ini, begini, tidak. Demikian juga di Syi'ah kan?! Tidak semua yang ada di Al-Kafi, menurut ulama Syi'ah adalah shahih. Sebagaimana ulama Sunnah berkata, jangankan didalam riwayat Ahmad, dalam shahih Muslim pun ada yang tidak shahih oleh sementara ulama Sunni. Yang penting dalam konteks kesepahaman ini, kita bersatu dalam aqidah. Dan ketika kita bersatu dalam aqidah, tidak harus rumusanya persis sama, tapi yang penting kandungannya sama.
Itu Syaikh Muhammad Abduh berkata, rukun Iman itu yang penting 2, percaya kepada Allah dan hari kemudian. Tapi rinciannya, dia katakan, kalau saya percaya tentang hari Kemudian, tentu uraian tentang hari Kemudian tidak bisa diketahui oleh akal saya, itu saya ketahui melalui Rasul, kalau begitu saya harus percaya Rasul, Rasul tidak mungkin mengungkapkan itu melalui nalarnya tetapi pasti dia disampaikan oleh Malaikat, kalau begitu saya harus percaya kepada Malaikat, begitu seterusnya, kita tidak terikat dengan rumusan, tapi kita terikat dengan kandungan apa yang dirumuskan itu, itu baru kita sepaham. Tapi kalau anda mau persis sepahama redaksinya, itu tidak mungkin. Kalau kesepahaman ini sudah terjadi, itu mudah. Apalagi kalau kita merujuk kepada ulama2 kita sekarang, baik yang Sunni maupun Syi'ah, itu sebabnya, dalam semua konferensi, pertemuan2 yang diadakan oleh berbagai ulama, mereka sepakat.
Sejak tahun '61 di Mesir, sudah terbit apa yang dinamakan Mausu'at Jamal Abdul Nashir al-Fiqhiyyah. Ada 8 madzhab yang masuk didalam situ, 4 madzhab Sunni yang terkenal, Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, baru masuk Syi'ah Jakfariyah, Ibadhiyah, Dhohiriyah, dll. semua delapan. Orang sudah sepakat sejak dulu, kalau ulamanya yang benar ya. Tapi ulamanya yang gagal, itu yang menghembus-hembuskan. Saya kira itu yang bisa sampaikan, sekali lagi semua pihak harus kembali kepada kesepakatan yang selama ini sudah sangat baik di ambil, ada kesepakatan di Turki, di Saudi Arabia, di Qatar, semuanya itu merujuk kesana, dan kita harus mampu menjelaskan kepada masyarakat kita, apalagi kepada orang2 awam bahwa sebenarnya kita bersaudara, tidak perlu ada saling tegang, sorga terlalu luas sehingga tidak perlu hanya memonopoli sorga.
***
Transkip dari diambil dari sebuah video pidato pembukaan Prof. DR. Quraish Shihab dalam membahas resensi buku putih mazhab syiah di Indonesia yang diterbitkan oleh pihak Syi'ah.
Setidaknya ada tiga poin penting yang disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab yaitu tentang kesalah pahaman terhadap madzhab sendiri, adanya perkembangan pemikiran dan tidak membedakan antara pendapat ulama dan pendapat orang awam. Berikut traskipnya :
***
Buku putih itu upaya untuk memperkenalkan agar dipahami siapa Syi'ah itu. Tetapi, memahami Syi'ah saja tidak cukup untuk terwujudnya kesapahaman kalau pihak yang diluar Syi'ah tidak memahami dirinya. Karena itu kesepahaman perlu.
Boleh jadi sebab utama dari apa yang terjadi dalam masyarakat Islam didunia dan apa yang terjadi di Indonesia itu sebabnya adalah kesalah pahaman. Kalau kita persempit, kesalah pahaman sementara orang-orang Syi'ah terhadap madzhab mereka, dan kesalah pahaman orang-orang Sunni terhadap madzhab mereka.
Mari saya berusaha memperjelas persoalan. Tidak dimungkiri oleh siapapun bahwa Syi'ah itu atau yang dinamai Syi'ah itu banyak kelompoknya. Sehingga, kalau ada pendapat dari satu kelompok Syi'ah yang dinisbatkan kepada kelompok lain maka disini bisa timbul kesalah pahaman.
Satu contoh, ada Syi'ah Ismailiyah, yang ada sekarang, ada Syi'ah Zaidiyah, yang ada sekarang, banyak di Yaman, ada Syi'ah Ja'fariyah, ada perbedaan-perbedaan antar mereka sekarnag itu.
Dulu ada Syi'ah al-Khaththabiyah, ada Syi'ah al-Qaramitha, ada syi'ah bermacam-macam, puluhan.
Kalau ada mengambil pendapat Syi'ah, katakanlah al-Qaramitha atau al-Khatthabiyah lalu anda nisbahkan kepada al-Ja'fariyah, terjadi kesalah pahaman. Dan anda mendlolimi salah satu dari kelompok ini.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa ada Syi'ah yang sesat. Tidak bisa dimungkiri. Bahkan ada kelompok Syi'ah yang menyesatkan kelompok Syi'ah yang lain. Salah satu keluhan adalah anda mengambil kelompok pendapat-pendapat satu kelompok kemudian menyangka itu ada adalah kelompok yang lain, lalu atas dasarnya anda menyesatkan kelompok yang lain. Ini karena tidak paham.
Saya lihat disisi Sunnah pun begitu. Semua sepakat bahwa jangan mudah mengkafirkan orang lain, itu di Sunnah. Imam al-Ghazali berkata, kalau seandainya anda mendengar kalimat yang diucapkan oleh seseorang, 99% diantaranya menunjukkan bahwa yang bersangkutan kafir, masih ada 1% yang memungkin dia dinilai beriman, maka jangan kafirkan dia. Itu di Sunnah. karena membiarkan hidup 1000 orang yang kafir itu kesalahannya lebih ringan daripada membunuh kafir seorang muslim. Tapi kan banyak yang tidak tahu, jadi tidak mengerti dirinya. Bisa jadi tidak mengerti dirinya, tidak mengerti orang lain, terjadilah cekcok. Itu yang pertama.
Saya khawatir nanti ini buku, Buku Putih, nanti muncul lagi itu, ini Syiah yang mana ini.
Yang kedua, yang ingin saya garis bahwahi dalam konteks kita mencari atau menuju kepersatuan itu.
Ada perkembangan pemikiran. Karena pemikiran apapun termasuk pemikiran keagamaan dipengaruhi oleh banyak faktor. Bisa perkembangan ilmu, kemaslahatan, bisa kecenderungan seseorang, bermacam-macam faktor. Sehingga, semua madzhab apapun, madzhab pemikiran apapun pasti telah terjadi perubahan-perubahan, sedikit atau banyak menyakut pendapat2-nya, pasti itu. Pendapat Darwin sudah diubah oleh pendapat Darwinisme yang baru. Berkembang!. Pendapat Syari'i, janganlah dengan orang lain, dengan dirinya yang ada ketika dia di Irak sudah berbeda ketika dia berada di Mesir. Ada perkembangan. Salaf, begitu juga. Banyak Salafiyah yang sekarang itu berbeda pandangannya dengan pendapat Salafi Imam Ahmad. Ada perkembangan.
Kemaslahatan umat Islam mengantar sebagian tokoh2nya untuk melakukan pendekatan2 berdasar pada pemikiran dan pertimbangan2 baru. Kalau tidak, itu adalah orang-orang yang terlambat lahir.
Saya ada menulis itu (buku), "Sunnah dan Syi'ah Bergandengan Tangan", dibantah oleh satu pesantren. Saya lihat2, kalau saya bantah (balik) berarti saya terlembat lahir. Karena mereka, masih merujuk kepada pendapat2 lama yang boleh jadi tidak bersumber dari apa yang diuraikan sekarang ini.
Tapi coba merujuk. Saya bertanya kepada ulama-ulama Syi'ah Kontemporer, adakah perkembangan itu? Jelas ada, ada perkembangan itu. Misalnya, coba baca Imam Khomeini menyakut Taqiyyah, itu beda dengan pendapat lama. Ada perkembangan dong. Coba baca pendapat yang berkaitan dengan izin untuk mengangkat senjata terhadap penguasa. Dulu tidak ada izin itu, tidak boleh, sampai datang imam. Ada perkembangan pemikiran. Sehingga, kalau orang ingin merujuk kepada suatu madzhab dengan pendapat2 yang lama tanpa mempertimbangkan pendapat baru, itu salah namanya. Iya kan?!!!.
Yang ketiga, kita haru membedakan antara pendapat intelektual ulama dan cendikiawan, dengan pendapat orang2 awam. Itu harus dibedakan.
Kata guru saya, Syaikh Abdul Halim Mahmud, ada bukunya At-Tafkirul Falsafi fil Islam. Beliau berkata, kita tidak bisa menilai orang2 Perancis itu dengan pemikirannya dengan memperhatikan orang2 di desa2 Prancis yang bodoh. Tidak bisa dong.
Kita tidak bisa menggambarkan pemikiran orang2 Mesir yang masih telanjang kaki, padahal ada cendikiawan2-nya yang begitu hebat pemikiran2-nya. Kesalaham kita disini.
Sering kali kita mengukur pendapat suatu kelompok tidak merujuk kepada pendapat ulama2nya, bisa jadi di Sunni, bisa jadi di Syi'ah. Tidak mungkin ada kesalah pahaman kalau seperti itu halnya.
Rujuklah kepada pendapat ulama kelompok yang mu'tabar. Jangan merujuk kepada kelompok apapun namanya yang sebenarnya tidak diakui dia sebagai ulama, dan itu banyak, bukan hanya di Syi'ah, di Sunni pun banyak.
Saya ingin memberi contoh di Sunni yang saya pelajari. Bagaimana pendapat2 ulama hadits menyangkut Imam Al-Ghazali dalam bidang hadits. Katakan "tidak mengerti hadits", padahal Imam al-Ghazali ini. Bagaimana pendapat2 ulama tentang Imam al-Suyuthi?! kata Syaikh Muhammad Rasyid Ridlo, itu orang pengumpul kayu di malam hari.
Itu sebabnya, ada seorang penulis besar di Mesir, almarhum Abdul Qadir Audah menyatakan, problema umat kita adalah Islam Baina Jahli Abnaihi wa 'Ajzi Ulamaihi, Islam berada ditengah-tengah kebodohan umatnya dan ketidak mampuan ulamanya. itu adalah kita. Sekali lagi, ada orang2 kita, termasuk saya, (dituduh) "pak Quraish Shihab itu Syi'ah". Saya katakan "Tidak".
Saya bukannya berkata bahwa "Saya bukan Syi'ah madzhaban (secara madzhab)" karena saya menganggap Syi'ah sesat, tidak. Karena saya pahami siapa yang dimaksud dengan Syi'ah.
Syaikh Abdul Halim Mahmud, beliau guru saya, saya akrab dengan beliau, beliau berkata begini, "Jangan beranggapan bahwa seorang yang berpendapat bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib afdlol atau lebih utama dari Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman, jangan berkata bahwa orang yang berpendapat demikiana dalah Syi'ah. Karena, sejarah menunjukkan, ada kelompok Muktazilah yang di Baghdad itu berbeda dalam sikapnya terhadap Sayyidina Ali dengan kelompok Muktazilah yang di Bashrah. Yang di Bashrah menilai bahwa Sayyidina Ali lebih utama daripada Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman. Tetapi, mereka bukan Syi'ah, bahkan mereka memusuhi Syi'ah. Saya khawatir yang terjadi di Indonesia, (dituduh) ini Syi'ah tetapi (sebenarnya) bukan Syi'ah. Karena kita pahama, kita kan mau kesepahaman nih. Pahami dulu diri anda!.
Satu contoh, siapa yang dinamai Kafir. Ada diskusi dikalangan ulama Syi'ah, antara madzhab Abu Hanifah dan madzhab Syafi'i. Atau antara Imam Abu Hanifah dengan Imam Syafi'i. Imam Abu Hanifah berkata "yang tidak shalat kafir". Imam Syafi'i berkata "Tidak, dia tidak kafir". Imam Syafi'i bertanya "Bagaimana caranya orang yang tidak shalat, supaya dia masuk Islam lagi?". Dijawab oleh Imam Abu Hanifah "Dia ucapkan kalimat syahadat". Kata Syafi'i "Lah ini dia tidak pernah tinggalkan dua kalimat Syahadat, kenapa anda surah mengucapkan lagi?. Jadi itu bukan kafir, itu muslim yang berdosa".
Kita semua, semua yang mengaku muslim, bahkan orang kafir pun dalam konteks menghadapi umat Islam, tidak jarang merujuk kepada al-Qur'an. Muslim semua merujuk pada al-Qur'an. Tapi tahukah saudara, bahwa salah satu sebab perbedaan antara umat Islam adalah al-Qur'an. Yang menjadikan kita beda itu al-Qur'an. Syafi'i merujuk kepada al-Qur'an, Abu Hanifah merujuk kepada al-Qur'an, Imam Jakfar merujuk kepada al-Qur'an, Imam Zaid kepada merujuk kepada al-Qur'an, semua merujuk kepada al-Qur'an. Tapi berbeda, karena memang sedikit sekali kesimpulan2 yang diambil dari al-Qur'an dan Sunnah yang pasti begitu. Lainnya itu adalah kemungkinan, kenapa?. Kata Imam al-Syathibi yang Sunni Maliki itu, ada 10 sebabnya, ini kata (teks) dari al-Qur'an, arti Haqiqi atau Majazi?, yang berarti Haqiqi sudah berbeda dengan yang berarti Majazi. Apakah Allah punya tangan??. Yadullahi Fauqa Aidihim. "Ada tangan Tuhan tapi beda dengan tangan makhluk", itu kata yang satu. "Tidak, ini metafor", kata yang satunya lagi. Ada sebab perbedaan lagi, adalah rujukan kepada bahasa. Al-Masih, apa artinya?, diambil dari kata Masaha, mengusap, atau dari Saha, berkeliling?. sudah beda. Ada persoalan I'rab, Wamsahu bi-Ruusikum, wa Arjulikum atau wa Arjulakum? sudah beda lagi. Dua-duanya merujuk kepada al-Qur'an. Ada sisipan, misal orang yang musafir itu boleh puasa atau tidak? tidak boleh, itu pendapat Syi'ah Jakfariyah, tapi Sunni (berbeda). Dua-duanya merujuk kepada al-Qur'an dan al-Sunah. Wa Man Kana Minkum Maridlon au ala Safarin fa-iddatun min Ayyamin Ukhor, Sunni disisipkan karena dia mengukuhkan hadits, Wa Man Kana Minkum Maridlon au ala Safarin (wa lam Yashumm) dalam kurung, semua merujuk, dan itu kemungkinan2, banyak sekali faktor. Hadits begitu juga. Ada perawi2 Bukhari yang dianggap tidak cukup kuat oleh Imam Muslim.
Kalau kita mau ambil semua ini, lantas merujuk, oh itu madzhab ini, begini, tidak. Demikian juga di Syi'ah kan?! Tidak semua yang ada di Al-Kafi, menurut ulama Syi'ah adalah shahih. Sebagaimana ulama Sunnah berkata, jangankan didalam riwayat Ahmad, dalam shahih Muslim pun ada yang tidak shahih oleh sementara ulama Sunni. Yang penting dalam konteks kesepahaman ini, kita bersatu dalam aqidah. Dan ketika kita bersatu dalam aqidah, tidak harus rumusanya persis sama, tapi yang penting kandungannya sama.
Itu Syaikh Muhammad Abduh berkata, rukun Iman itu yang penting 2, percaya kepada Allah dan hari kemudian. Tapi rinciannya, dia katakan, kalau saya percaya tentang hari Kemudian, tentu uraian tentang hari Kemudian tidak bisa diketahui oleh akal saya, itu saya ketahui melalui Rasul, kalau begitu saya harus percaya Rasul, Rasul tidak mungkin mengungkapkan itu melalui nalarnya tetapi pasti dia disampaikan oleh Malaikat, kalau begitu saya harus percaya kepada Malaikat, begitu seterusnya, kita tidak terikat dengan rumusan, tapi kita terikat dengan kandungan apa yang dirumuskan itu, itu baru kita sepaham. Tapi kalau anda mau persis sepahama redaksinya, itu tidak mungkin. Kalau kesepahaman ini sudah terjadi, itu mudah. Apalagi kalau kita merujuk kepada ulama2 kita sekarang, baik yang Sunni maupun Syi'ah, itu sebabnya, dalam semua konferensi, pertemuan2 yang diadakan oleh berbagai ulama, mereka sepakat.
Sejak tahun '61 di Mesir, sudah terbit apa yang dinamakan Mausu'at Jamal Abdul Nashir al-Fiqhiyyah. Ada 8 madzhab yang masuk didalam situ, 4 madzhab Sunni yang terkenal, Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, baru masuk Syi'ah Jakfariyah, Ibadhiyah, Dhohiriyah, dll. semua delapan. Orang sudah sepakat sejak dulu, kalau ulamanya yang benar ya. Tapi ulamanya yang gagal, itu yang menghembus-hembuskan. Saya kira itu yang bisa sampaikan, sekali lagi semua pihak harus kembali kepada kesepakatan yang selama ini sudah sangat baik di ambil, ada kesepakatan di Turki, di Saudi Arabia, di Qatar, semuanya itu merujuk kesana, dan kita harus mampu menjelaskan kepada masyarakat kita, apalagi kepada orang2 awam bahwa sebenarnya kita bersaudara, tidak perlu ada saling tegang, sorga terlalu luas sehingga tidak perlu hanya memonopoli sorga.
***
Oleh : Ibnu L' Rabassahttps://youtu. be/ A s 9 D L M f 7 I h s