Muslimedianews.com ~ Dalam perjalanan sejarah pengurus NU, pernah terjadi perseteruan antara Gus Dur dan Abu Hasan yang mempersoalkan keabsahan kepengurusan PBNU hasil muktamar Cipasung sehingga memunculkan PBNU Tandingan. Saat itu, tahun 1996 pemerintah ikut andil menawarkan islah.
Pihak Abu pun menyambut, tapi masih terus ngebet mempersoalkan keabsahan kepengurusan. Sementara itu pihak Gus Dur semula menolak tawaran itu, tapi akhirnya menerima dengan syarat: pihak Abu mau menerima dan tunduk terhadap hasil Muktamar Cipasung. Pihak Abu tak menggubris. PBNU mengancam, jika lepas iedul fitri kemarin pihak Abu masih "membangkang", tidak mau kembali kepada jalan yang benar (ruju' ilal haq), mereka akan terpaksa dipecat. Tanggal 14 Maret 1996 lalu, ancaman itu dilaksanakan. 19 orang dari pihak Abu Hasan, termasuk Abu sendiri dan Kiai Hamid Baidlawi dari Lasem, Jawa Tengah, "dimakzulkan" keanggotaannya dari NU.
Tapi, sengketa Gus Dur-Abu Hasan belum selesai di situ. Sengketa yang berujung pada Muktamar Luas Baisa (MLB) dan berdirinya PBNU tandingan itu barulah babak pertama. Sengketa ini, betapapun menggetarkan banyak warga NU, namun tempiasnya hanyalah mengenai figur-figur elit belaka. Katakanlah, sengketa "orang-orang atas": Gus Dur, Abu Hasan, Hamid Baidlawi, dll.
Sengketa babak kedua lebih luas cakupannya.
Mulanya adalah tuduhan Kiai Hamid di Muktamar Pondok Gede bahwa warga nahdiyyin sedang diancam dari dalam. Ancaman intervensi negara? Bukan! Yang dimaksudkannya adalah ancaman penggerogotan aqidah ahlissunnah wal jama'ah (Aswaja). Tuduhan ini diarahkan kepada Kiai Said Aqil Siradj, saat itu wakil katib Syuriyah PBNU. Kiai yang menyelesaikan S-3 di Universitas Ummul Qura, Makkah, ini dituduh telah mengkampanyekan Syi'ah di NU. Bagaimana ini terjadi?
Dua tahun yang lalu, ketika baru pulang dari Arab, Kiai Said diundang dalam sebuah diskusi terbatas oleh anak-anak muda NU. Diskusi yang juga dihadiri oleh kolumnis Mohamad Sobari itu, membicarakan gagasan Kiai Said mengenai "Penafsiran Kembali Doktrin Ahlussunnah Wal Jama'ah". Ketika itu, Kiai Said banyak mengungkap aspek-aspek yang kritis dalam sejarah pembentukan doktrin tersebut. Dia menganggap bahwa definisi doktrin Aswaja yang dibuat oleh Hadlratussyeikh K.H. Hasyim Asy'ari,"boleh dianggap memalukan, jika didengar orang lain". Pernyataan ini rupanya yang menyebabkan "sengatan" luar biasa pada kalangan kiai-kiai sepuh.
Ceramah Kiai Sa'id itu kemudian ditranskrip. Transkripsi itu, tanpa sepengetahuan kiai Sa'id, beredar ke mana-mana. Entah dibawa angin apa, transkripsi itu akhirnya juga tiba di tangan Kiai Hamid Baidlawi. Ketika menyampaikan pidato di Muktamar Pondok Gede, transkripsi itulah yang menjadi pegangan Kiai Hamid untuk menyerang Kiai Sa'id.
Beberapa hari setelah MLB di Pondok Gede itu, sebuah surat protes melayang ke PBNU. Surat itu ditandatangani 12 orang. Semuanya dari kubu Simprug (Abu Hasan). Mereka, antara lain, Kiai Hamid, Attabik Ali (putera Kiai Ma'shum Krapyak), Hasib Wahab (putera Kiai Wahab Hasbulloh), Badri Masduki (Kiai yang pernah mimpi mendapat "wangsit" tentang Pak Harto), dan Bashori Alwi. Mereka menuduh, Kiai Sa'id telah menyeleweng dari doktrin resmi NU, dan, karenanya, harus di-DO dari kepengurusan PBNU. Belakangan, kiai Badri Masduki malah mengirim surat ke majalah, Aula terbitan PW-NU Jawa Timur. Isinya seabreg argumen yang menyatakan: Kiai Sa'id telah murtad.
Benarkah tuduhan pada Kiai Sa'id itu diarahkan hanya pada dirinya belaka?
Sementara itu pengamat beranggapan bahwa Kiai Sa'id adalah sasaran antara. "Saya kira ada benarnya itu," kata Kiai Sa'id suatu ketika. The real target tentu Gus Dur. Tentu ini tak aneh. Tuduhan pasal Syi'ah bahkan mengenai Gus Dur sendiri. Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur selalu mengatakan bahwa secara kultural, NU ada kesamaan dengan Syi'ah. Tradisi pemujaan wali, kepercayaan pada keramat, ziarah kubur, penghormatan kepada ahlul bait (keluarga Nabi: Ali, Fatimah, Hasan, Husen), adalah sebagian tradisi yang berkembang kuat di kalangan Syi'ah. Pernyataan Gus Dur ini, oleh Kiai Hamid dan kiai-kiai yang sepaham, dianggap sebagai perasaan simpati pada Syi'ah.
Yang jelas, Kiai Hamid berhasil menarik simpati banyak kiai NU. Bagi kiai-kiai tradisional, berdirinya PBNU tandingan, barangkali, tak terlalu menjadi soal benar. Itu soal struktural yang tak menyentuh "inti" NU. Tapi, begitu menyangkut aqidah NU, kiai-kiai itu bisa marah besar. Di Jawa Timur, isu penyebaran Syi'ah di NU menimbulkan heboh. Maklum, wilayah ini, terutama daerah "tapal kuda"-nya, merupakan basis yang paling fanatik dari NU. Tanggal 11 Maret 1996 lalu, berlangsung semacam "pengadilan" atas Kiai Sa'id di Bangil. Acara itu bertempat di Pesantren Wahid Hasyim, asuhan Kiai Chalid Syakir, dihadiri oleh 70 kiai lokal serta ratusan warga nahdiyyin. Selama kurang lebih tiga jam, Kiai Sa'id, dengan didampingi Gus Dur, mempertanggungjawabkan ide-idenya. Usai acara, seorang kiai sepuh menyeruduk Kiai Sa'id, merangkulnya, sambil berseru, "Orang sebaik ini kok dituduh murtad."
Para kiai, akhirnya, maklum dan dapat memahami gagasan Kiai Sa'id.
Selang tiga hari kemudian, tepatnya 14 Maret 1996, "pengadilan" berlangsung kembali. Kali ini di Madura, daerah yang paling fanatik "memeluk" (agama?) NU. Bertempat di pesantren Syaikhuna, Bangkalan, Kiai Sa'id harus berbicara mengenai ide-idenya yang "nakal" di hadapan publik awam. Dia sempat bingung. Tapi dengan dukungan Gus Dur, masyarakat Bangkalan akhirnya bisa di"maklum"kan.
Pihak Abu pun menyambut, tapi masih terus ngebet mempersoalkan keabsahan kepengurusan. Sementara itu pihak Gus Dur semula menolak tawaran itu, tapi akhirnya menerima dengan syarat: pihak Abu mau menerima dan tunduk terhadap hasil Muktamar Cipasung. Pihak Abu tak menggubris. PBNU mengancam, jika lepas iedul fitri kemarin pihak Abu masih "membangkang", tidak mau kembali kepada jalan yang benar (ruju' ilal haq), mereka akan terpaksa dipecat. Tanggal 14 Maret 1996 lalu, ancaman itu dilaksanakan. 19 orang dari pihak Abu Hasan, termasuk Abu sendiri dan Kiai Hamid Baidlawi dari Lasem, Jawa Tengah, "dimakzulkan" keanggotaannya dari NU.
Sengketa babak kedua lebih luas cakupannya.
Mulanya adalah tuduhan Kiai Hamid di Muktamar Pondok Gede bahwa warga nahdiyyin sedang diancam dari dalam. Ancaman intervensi negara? Bukan! Yang dimaksudkannya adalah ancaman penggerogotan aqidah ahlissunnah wal jama'ah (Aswaja). Tuduhan ini diarahkan kepada Kiai Said Aqil Siradj, saat itu wakil katib Syuriyah PBNU. Kiai yang menyelesaikan S-3 di Universitas Ummul Qura, Makkah, ini dituduh telah mengkampanyekan Syi'ah di NU. Bagaimana ini terjadi?
Dua tahun yang lalu, ketika baru pulang dari Arab, Kiai Said diundang dalam sebuah diskusi terbatas oleh anak-anak muda NU. Diskusi yang juga dihadiri oleh kolumnis Mohamad Sobari itu, membicarakan gagasan Kiai Said mengenai "Penafsiran Kembali Doktrin Ahlussunnah Wal Jama'ah". Ketika itu, Kiai Said banyak mengungkap aspek-aspek yang kritis dalam sejarah pembentukan doktrin tersebut. Dia menganggap bahwa definisi doktrin Aswaja yang dibuat oleh Hadlratussyeikh K.H. Hasyim Asy'ari,"boleh dianggap memalukan, jika didengar orang lain". Pernyataan ini rupanya yang menyebabkan "sengatan" luar biasa pada kalangan kiai-kiai sepuh.
Ceramah Kiai Sa'id itu kemudian ditranskrip. Transkripsi itu, tanpa sepengetahuan kiai Sa'id, beredar ke mana-mana. Entah dibawa angin apa, transkripsi itu akhirnya juga tiba di tangan Kiai Hamid Baidlawi. Ketika menyampaikan pidato di Muktamar Pondok Gede, transkripsi itulah yang menjadi pegangan Kiai Hamid untuk menyerang Kiai Sa'id.
Beberapa hari setelah MLB di Pondok Gede itu, sebuah surat protes melayang ke PBNU. Surat itu ditandatangani 12 orang. Semuanya dari kubu Simprug (Abu Hasan). Mereka, antara lain, Kiai Hamid, Attabik Ali (putera Kiai Ma'shum Krapyak), Hasib Wahab (putera Kiai Wahab Hasbulloh), Badri Masduki (Kiai yang pernah mimpi mendapat "wangsit" tentang Pak Harto), dan Bashori Alwi. Mereka menuduh, Kiai Sa'id telah menyeleweng dari doktrin resmi NU, dan, karenanya, harus di-DO dari kepengurusan PBNU. Belakangan, kiai Badri Masduki malah mengirim surat ke majalah, Aula terbitan PW-NU Jawa Timur. Isinya seabreg argumen yang menyatakan: Kiai Sa'id telah murtad.
Benarkah tuduhan pada Kiai Sa'id itu diarahkan hanya pada dirinya belaka?
Sementara itu pengamat beranggapan bahwa Kiai Sa'id adalah sasaran antara. "Saya kira ada benarnya itu," kata Kiai Sa'id suatu ketika. The real target tentu Gus Dur. Tentu ini tak aneh. Tuduhan pasal Syi'ah bahkan mengenai Gus Dur sendiri. Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur selalu mengatakan bahwa secara kultural, NU ada kesamaan dengan Syi'ah. Tradisi pemujaan wali, kepercayaan pada keramat, ziarah kubur, penghormatan kepada ahlul bait (keluarga Nabi: Ali, Fatimah, Hasan, Husen), adalah sebagian tradisi yang berkembang kuat di kalangan Syi'ah. Pernyataan Gus Dur ini, oleh Kiai Hamid dan kiai-kiai yang sepaham, dianggap sebagai perasaan simpati pada Syi'ah.
Yang jelas, Kiai Hamid berhasil menarik simpati banyak kiai NU. Bagi kiai-kiai tradisional, berdirinya PBNU tandingan, barangkali, tak terlalu menjadi soal benar. Itu soal struktural yang tak menyentuh "inti" NU. Tapi, begitu menyangkut aqidah NU, kiai-kiai itu bisa marah besar. Di Jawa Timur, isu penyebaran Syi'ah di NU menimbulkan heboh. Maklum, wilayah ini, terutama daerah "tapal kuda"-nya, merupakan basis yang paling fanatik dari NU. Tanggal 11 Maret 1996 lalu, berlangsung semacam "pengadilan" atas Kiai Sa'id di Bangil. Acara itu bertempat di Pesantren Wahid Hasyim, asuhan Kiai Chalid Syakir, dihadiri oleh 70 kiai lokal serta ratusan warga nahdiyyin. Selama kurang lebih tiga jam, Kiai Sa'id, dengan didampingi Gus Dur, mempertanggungjawabkan ide-idenya. Usai acara, seorang kiai sepuh menyeruduk Kiai Sa'id, merangkulnya, sambil berseru, "Orang sebaik ini kok dituduh murtad."
Para kiai, akhirnya, maklum dan dapat memahami gagasan Kiai Sa'id.
Selang tiga hari kemudian, tepatnya 14 Maret 1996, "pengadilan" berlangsung kembali. Kali ini di Madura, daerah yang paling fanatik "memeluk" (agama?) NU. Bertempat di pesantren Syaikhuna, Bangkalan, Kiai Sa'id harus berbicara mengenai ide-idenya yang "nakal" di hadapan publik awam. Dia sempat bingung. Tapi dengan dukungan Gus Dur, masyarakat Bangkalan akhirnya bisa di"maklum"kan.
Ditulis oleh Ulil Abshar Abdalla,
dimuat di Tempo pada Selasa, 26 Maret 1996