Muslimedianews.com ~ Belajar agama dengan datang ke tempat guru itu terasa jihadnya dibanding belajar melalui medsos: FB, grup WA atau grup BB.
Jika kita datang ke rumah guru, sangat terasa perjuangan melawan rasa malas, perjuangan melawan sifat kikir untuk korbankan biaya perjalanan. Terasa juga bagaimana hati ini harus sabar dalam perjalanan, sabar menunggu kesediaan guru dan sabar mendengar materi yang disampaikan. Ditambah lagi, ketika guru membaca doa tawassul, hati serasa dihadirkan dengan kenangan kepada pembawa agama ini, Rasulullah Muhammad.
Belajar via internet mungkin ditoleransi bagi mereka yang sulit mendapati guru di tempatnya karena jarak yang sangat jauh. Tapi menarik jika ini dibandingkan dengan seorang kyai di Pekalongan yang lakukan perjalanan ke makam Imam al-Bukhary selama 2 tahun untuk belajar Shahih al-Bukhary dengan berjalan kaki!
Belajar agama via internet atau medsos bagi yang mampu datangi guru menunjukkan kesombongan karena sang guru di-"paksa" menjawab pertanyaan padahal sedang sibuk. Sehingga seakan guru itu sama dengan dirinya.
Belajar agama via internet atau medsos menunjukkan kekikiran. Karena dia belajar tanpa berkorban uang lebih banyak cukup 100 rb/bulan dgn paket internet dia berharap mendapat ilmu seluas Al-Azhar University. Padahal sang guru tertatih-tatih mengejar pemahaman ilmu agama itu dengan sakit dan perjalanan ribuan kilometer. Entah berapa juta rupiah yang sudah sang guru korbankan hanya untuk memahami Tafsir Jalalayn dan Riyadhus Sholihin.
Belajar ilmu agama via medsos itu menunjukkan ketidaksabaran. Bagaimana dikatakan sabar, melalui Layar smartphone, dia tergesa-gesa ingin dapat pemahaman Assuyuthi yang telah datangi ratusan guru atau Adzdzahabi dll.
Oleh Ust. Abdi Kurnia Djohan
Jika kita datang ke rumah guru, sangat terasa perjuangan melawan rasa malas, perjuangan melawan sifat kikir untuk korbankan biaya perjalanan. Terasa juga bagaimana hati ini harus sabar dalam perjalanan, sabar menunggu kesediaan guru dan sabar mendengar materi yang disampaikan. Ditambah lagi, ketika guru membaca doa tawassul, hati serasa dihadirkan dengan kenangan kepada pembawa agama ini, Rasulullah Muhammad.
Belajar via internet mungkin ditoleransi bagi mereka yang sulit mendapati guru di tempatnya karena jarak yang sangat jauh. Tapi menarik jika ini dibandingkan dengan seorang kyai di Pekalongan yang lakukan perjalanan ke makam Imam al-Bukhary selama 2 tahun untuk belajar Shahih al-Bukhary dengan berjalan kaki!
Belajar agama via internet atau medsos bagi yang mampu datangi guru menunjukkan kesombongan karena sang guru di-"paksa" menjawab pertanyaan padahal sedang sibuk. Sehingga seakan guru itu sama dengan dirinya.
Belajar agama via internet atau medsos menunjukkan kekikiran. Karena dia belajar tanpa berkorban uang lebih banyak cukup 100 rb/bulan dgn paket internet dia berharap mendapat ilmu seluas Al-Azhar University. Padahal sang guru tertatih-tatih mengejar pemahaman ilmu agama itu dengan sakit dan perjalanan ribuan kilometer. Entah berapa juta rupiah yang sudah sang guru korbankan hanya untuk memahami Tafsir Jalalayn dan Riyadhus Sholihin.
Belajar ilmu agama via medsos itu menunjukkan ketidaksabaran. Bagaimana dikatakan sabar, melalui Layar smartphone, dia tergesa-gesa ingin dapat pemahaman Assuyuthi yang telah datangi ratusan guru atau Adzdzahabi dll.
Oleh Ust. Abdi Kurnia Djohan