Muslimedianews.com ~ Akhir-akhir ini dunia Islam diguncang oleh berbagai pertikaian sektarian, khususnya di Indonesia -yang mengerikan– sesuatu yang dapat membumihanguskan semua pihak dan tidak menyisakan harapan bagi umat. Banyak pemerhati yang menilai meningkatnya ekstremisme, intoleransi, dan sektarianisme di antara umat ini sebenarnya berakar pada pengajaran dan dakwah Islam yang menjauh dari spiritualitas dan tasawuf.
Dalam sejumlah riset kesejarahan tentang masuknya Islam di wilayah Asia Tenggara, peran golongan keturunan Nabi Muhammad asal Hadhramut (Yaman Selatan), yang dikenal dengan Saadah al-‘Alawiyyin atau Habaib selalu disebut-sebut. Ini menunjukkan peran besar yang mereka emban dalam penyebaran Islam di wilayah ini.
Metode dakwah Islam dan ajaran-ajaran yang mereka bawa dikemas sedemikian harmonis dengan apa yang menjadi budaya masyarakat lokal sehingga dalam waktu yang relatif singkat, para tokoh dari kalangan ini mendapat tempat di hati elit maupun akar rumput bangsa-bangsa Asia Tenggara. Karena pendekatan peruasif dan damai, kerajaan-kerajaan lokal kemudian dengan leluasa dan suka rela membuka diri terhadap Islam yang relatif baru, sehingga peluang dakwah semakin luas.
Beberapa waktu lalu salah satu ulama besar dari Yaman, al-Habib Abu Bakar al-Adniy bin Ali al-Masyhur, datang ke Indonesia dalam rangka untuk menjelaskan betapa pentingnya jalan dakwah yang mempersatukan dan menghimpun, bersifat inklusif dan “tidak merasa benar sendiri”, kata beliau, meresepkan perbaikan akhlak umat sekaligus menjaga keutuhan bangsa.
“Semua umat Islam mempercayai satu Tuhan yang sama, Nabi yang sama, berkiblat ke Kakbah yang sama dan berpegang pada al-Quran yang sama,” kata ulama pemikir Islam kontemporer asal Yaman itu saat menjadi pembicara tunggal dalam sebuah seminar di Cirebon, Jawa Barat. “Dan semua itu merupakan titik temu sekaligus modal persatuan umat dan bangsa,” katanya menegaskan.
Dalam seminar bertajuk “Memperkokoh NKRI dalam Bingkai Islam Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Menata Kehidupan Umat yang Lebih Bermartabat” itu, Habib Abu Bakar menekankan pentingnya perkumpulan Islam untuk membenahi apa yang dia gambarkan sebagai ‘tarbiyah akhlak’ dan ‘suluk umat’. “Pekerjaan dakwah merupakan tugas agung dan penuh manfaat,” katanya. “Sebab perkataan yang paling baik diucapkan adalah menyeru manusia kepada Allah.”
Menurutnya tantangan dakwah saat ini berbeda dengan zaman dulu, utamanya dalam soal banyaknya khilaf dan perselisihan. Dia mengajak umat tetap bersatu dalam perbedaan pendapat dan pemikiran. “Jalan keluar dari perselisihan adalah berkumpul dalam tali agama Allah dan jangan berpecah-belah,” katanya.
Pernah menjadi guru bagi banyak mubaligh di Indonesia, ulama yang dikenal peduli dengan fiqih tahawwulat (fiqih perubahan zaman) itu menyerukan agar ulama di Indonesia menempuh jalan dakwah yang teduh dan merangkul semua kalangan Muslimin, tak peduli madzhab dan kecenderungannya.
Dalam kaitannya dengan konflik di Yaman, Habib Abu Bakar menggambarkannya sebagai “keributan yang bersifat politik”, tidak ada hubungannya dengan urusan madzhab atau agama."Di Yaman, kalangan Sunni dan Syiah hidup berdampingan dan bahkan di antara mereka telah terjadi perkawinan sejak ratusan tahun lamanya. Orang yang menyatakan bahwa konflik yang terjadi di Yaman itu bersifat madzhab atau agama barangkali memang tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya."
Abdul Majid Muslim, kandidat doktor dari Universitas al-Ahgaff Yaman, menyebutkan bahwa al-Habib Abu Bakar adalah ulama terkemuka di kota Aden yang telah menelurkan banyak karya ilmiah di bidang fiqih kontemporer. Beliau juga memiliki pesantren yang memiliki ratusan murid dari seantero dunia. “Beliau ulama besar dan pemikir terkemuka di Aden, Yaman, memiliki 40 pesatren dan sebuah markas dan jami'ah yang besar. Karya terkenalnya adalah Fiqih Tahawwulat yang membahas tentang fitnah akhir zaman,” jelas Abdul Majid. (Sumber: arrahmahnews.com).