Muslimedianews.com ~ Pertanyaan:
Jawaban:Demi persahabatan yang selama ini kami jalin dengan baik, bolehkah kami menyampaikan selamat Natal dan Tahun Baru kepada sahabat saya yang beragama Nasrani? Bolehkah pula menghadiri undangan perayaan Natal? Bolehkah pula makan makanan pemberian tetangga yang merayakan Natal?Hj. Syarofah, Jl. Raya Nginden 31Surabaya
Hj. Syarofah yang saya hormati, hubungan seorang muslim dengan non- muslim ada dua hal. Pertama, hubungan yang berkenaan dengan masalah duniawi atau muamalah sehari-hari. Kedua, hubungan yang berkenaan dengan masalah ukhrowiyah atau ibadah. Dalam masalah duniawi dan muamalah yang tidak menyangkut masalah agama, seorang muslim dapat saja berinteraksi dengan non-muslim sesuai tatanan dan peraturan yang berlaku yang tidak melanggar syariat islam dengan saling pengertian, tolong-menolong dan saling menguntungkan, seperti hidup bertetangga, berbisnis, bersahabat, bekerja membangun negeri bersama, belajar dan lain sebagainya.
Allah SWT berfirman, “Allah tidak melarang kamu sekalian dari mereka (non muslim) yang tidak memerangi kalian dalam agama dan tidak mengusir dari negeri kalian untuk berbaikan dengan mereka dan berbuat adil atas mereka. Sesungguhnya Allah suka orang – orang yang adil.“ (Q.S. al-Mumtahanah : 8). Tetapi kalau sudah menyangkut urusan ibadah, aqidah dan ukhrowiyah (agama) maka berinteraksi dengan non-muslim ada batasan-batasan tertentu yang harus diperhatikan. Allah SWT berfirman, “Katakanlah (Muhammad) Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menyembah tuhan yang kamu sembah dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (Q.S. al- Kafiruun 1 – 6)
Hj. Syarofah yang dimuliakan Allah kalau diklasifikasi dari pertanyaan anda, maka ada tiga permasalahan. (1) Mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru; (2) Menghadiri acara Natalan; (3) Makan makanan pemberian orang yang merayakan Natal. Insya Allah akan dibahas secara rinci.
Ucapan “Selamat“ itu doa artinya mendoakan orang yang menjadi tujuannya agar diberi selamat oleh tuhan. “Natal“ artinya kelahiran yang dimaksud dengan ucapan Selamat Natal dalam momentum sekarang ini adalah mendoakan selamat kepada orang yang merayakan atas kelahiran Tuhan Yesus Kritus(Nabi Isa). Kalau yang didoakan itu orang nasrani dan yang menyakini Yesus itu tuhan, maka anda berarti mendoakan orang non-muslim yang mana hal tersebut sangat dilarang dalam agama, maka berarti mengucapkan ‘Selamat Natal‘ itu dilarang, tentu lebih dilarang lagi kalau sampai ikut hadir dalam acara perayaan Natal bersama karena berarti ikut serta dalam ritual non-muslim. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-Kafirun dan dipertegas dalam fatwa MUI (Professor Dr. Hamka).
Adapun mengucapkan Selamat Natal dalam arti mendoakan selamat atas kelahiran Nabi Isa binti Maryam dengan keyakinan Nabi Isa sebagai Nabi bukan tuhan, maka hal itu diperbolehkan karena Nabi Isa sendiri mendoakan atas kelahirannya seperti yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Maryam ayat 33, “Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari aku dilahirkan pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan kembali.”
Adapun ucapan ‘Selamat Tahun Baru‘ dalam arti mendoakan agar tahun baru yang akan datang kita semua mendapatkan keselamatan, dan tidak ada kaitan langsung dengan ritual salah satu agama, maka hal itu tidak dilarang, tetapi kalau ucapan Selamat Tahun Baru (Nasrani) menjadi satu paket dengan ucapan selamat natal (Tuhan Yesus Kristus) yang ditujukan kepada orang yang menyakininya, sebagaimana iklan yang sering kita lihat “Selamat Natal dan Tahun Baru”, maka berarti pula ikut mendoakan non-muslim. Hal itu dilarang oleh agama. Doa kepada non-muslim itu dilarang karena menyangkut ibadah. Tetapi kalau mendoakan non-muslim semoga mendapatkan hidayah itu diperbolehkan sebagaimana Rasulullah SAW pernah berdoa “Yaa Allah berilah hidayah (petunjuk untuk islam) kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”
Hj. Syarofah yang baik, adapun pemberian makanan, pakaian dan peralatan lain bukanlah termasuk ritual (ibadah) tetapi itu termasuk muamalah, maka tidak dilarang seorang muslim makan makanan pemberian non muslim (ahli kitab), asal bukan jenis makanan yang haram. Allah SWT berfirman, “Pada hari ini dihalalkan yang baik-baik makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab halal bagimu dan makananmu halal pula bagi mereka.“ (Q.S. al-Maidah ayat 5). Abu Darda’ pernah ditanya tentang hukum makanan kambing yang disembelih untuk gereja dan hari raya ahli kitab beliau menjawab, “Yaa Allah maaf, sesungguhnya mereka itu ahli kitab, makanan mereka halal bagi kita dan makanan kita halal bagi mereka.” Kemudian menyuruh shahabat yang lain untuk memakannya.(H.R. at-Thobari). Imam Malik suatu ketika pernah ditanya tentang makanan ahli kitab yang diperuntukkan untuk hari raya mereka, beliau menjawab aku tidak senang tetapi aku tidak mengharamkan (Yusuf al Qordlowi al Halal wal Harom fi Islam : 61).
Hj. Syarofah, persahabatan dengan sesama manusia ciptaan Allah SWT adalah manifestasi dari bentuk hubungan horizontal lintas agama, suku, golongan dan lainnya yang diperintahkan oleh Allah SWT (Hablun minan naas) dan takaful (melindungi). Kalau hanya menyangkut urusan dunia kita harus saling membantu, tetapi kalau sudah menyangkut agama kita harus tegas tetapi sopan ‘lakum diinukum waliyadiin’ (Bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama, kita dapat bekerja sama dalam masalah sosial bukan ritual.
Semoga Hj. Syarofah dan kita semua dapat menempatkan persahabatan secara proporsional dan tidak sampai mengorbankan iman. Amiin yaa Munjiyal mu’miniin.
————————————————————————–
Sumber http://yppnurulhuda.com/tanya-jawab/hukum-mengucapkan-selamat-natal/
Diasuh oleh KH. Abdurrahman Navis, Lc., M.HI.
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Surabaya.
Ketua Bidang Fatwa MUI Jatim.
Sumber http://yppnurulhuda.com/tanya-jawab/hukum-mengucapkan-selamat-natal/
Diasuh oleh KH. Abdurrahman Navis, Lc., M.HI.
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Surabaya.
Ketua Bidang Fatwa MUI Jatim.