Quantcast
Channel: Muslimedia News - Media Islam | Voice of Muslim
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6981

Gerakan Tarekat Islam di Indonesia Hingga Kini

$
0
0
Muslimedianews.com ~ Sejak kompeni masuk ke Indonesia, di kalangan masyarakat Belanda di Indonesia ada ketakutan terhadap gerakan tarekat. Sebab, mereka yakin bahwa gerakan tarekat akan bisa dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin fanatik sebagai basis kekuatan untuk memberontak (Suminto, 1985). Kekhawatiran semacam itu, bukan tanpa alasan. Sebab dalam sejarah perlawanan bersenjata terhadap kolonial Belanda di Indonesia, diketahui hampir tidak ada perlawanan yang tidak melibatkan tokoh pemimpin tarekat. Dalam Koloniaal Archive yang mencatat kasus-kasus pemberontakan yang terjadi antara tahun 1800 – 1900, terjadi tidak kurang 112 kali pemberontakan yang dipimpin tokoh-tokoh tarikat.

Sejarah mencatat, ketika Belanda menancapkan kekuasaan awal di Batavia, terjadi penolakan dari kalangan pengamal ajaran tasawuf yang dibuktikan dengan serangan Sultan Agung raja Mataram pada 1626 dan 1628 ke Batavia. Dikatakan serangan Sultan Agung ke Batavia terkait dengan pengamal ajaran tasawuf, sebab di kalangan penganut Tariqat Akmaliyah yang bersifat esoteris tokoh Sultan Agung ditempatkan sebagai seorang guru (mursyid) kelima yang mewarisi silsilah Tariqat Akmaliyah dari Panembahan Senapati – Sultan Hadiwijaya – Ki Kebo Kenongo – Syaikh Siti Jenar. Demikianlah, dari satu sisi serbuan Sultan Agung ke Batavia dapat ditafsirkan terkait dengan peringatan termasyhur Syaikh Siti Jenar tentang bakal datangnya bahaya dari bangsa “Kebo Bule Mata Kucing” yang akan membelokkan iman umat Islam dan menyengsarakan rakyat. Keberadaan Sultan Agung sebagai tokoh sufi – selain raja – terbukti dari karyanya yang berjudul Sastra Gending yang merupakan karya sufistik.

Perlawanan terhadap kolonial Belanda oleh kalangan tarekat dilakukan oleh Syaikh Yusuf Tajul Khalwati, mursyid Tarikat Khalwatiyyah yang membangkitkan perlawanan rakyat Makassar dan Banten dalam peperangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya yang dibantu VOC. Meski perlawanan tersebut berakhir dengan kekalahan, di mana Syaikh Yusuf Tajul Khalwati kemudian dibuang ke Capetown di Afrika Selatan, namun hal itu menunjukkan gambaran bagaimana kalangan pengamal tasawuf menolak anasir kekuatan asing yang dianggap bakal mengancam keutuhan sosio-kultural-religius masyarakat. Syaikh Yusuf Tajul Khalwati inilah yang mengajarkan ilmu dabus dari Tarikat Rifa’iyyah kepada masyarakat Banten, yang belakang menjadi kesenian tradisional debus.

Pemberontakan Trunojoyo (1775-1778) terhadap Amangkurat II yang didukung VOC, dalam catatan sejarah tidak bisa dilepaskan dari peranan tokoh spiritual Panembahan Rama guru tarikat dari Kajoran dan Panembahan Giri. Itu sebabnya, setelah Trunojoyo kalah dan ditangkap oleh Laksamana Speelman dan dibunuh di Kartasura, Panembahan Rama dibunuh dan Panembahan Giri dibawa ke Mataram untuk dibunuh juga. Pemberontakan Surapati di Pasuruan (1686-1703) tidak bisa dilepaskan dari tokoh spiritual Kyai Telingsing.

Pemberontakan ulama tasawuf terbesar terjadi saat Pangeran Dipanegara mengangkat senjata. Dikatakan ulama tasawuf, sebab dalam Babad Dipanegara yang ditulis Pangeran Dipanegara sendiri, ditegaskan bahwa ia adalah mursyid Tariqat Syatariyyah yang mendapat pewarisan ilmu dari Syaikh Taftazani asal Sumatera Barat. Latar pemberontakan Pangeran Dipanegara jelas, menentang tradisi Eropa yang masuk ke lingkungan keraton dan membela nasib rakyat kecil yang sengsara akibat sistem pemerintahan yang tidak baik dari Sultan Yogya. Lantaran itu, gerakan Pangeran Dipanegara dapat dikata sebagai gerakan mesianik yang bertujuan menolak anasir-anasir asing yang masuk ke dalam sosio-kultur-religius masyarakat. Demikianlah, seiring kekalahan Pangeran Dipanegara para pengikutnya yang melarikan diri ke berbagai daerah mendirikan pesantren-pesantren yang mengajarkan Tarikat Syatariyyah.

Gerakan perlawan petani Banten pada 1888 yang dipimpin Haji Wasid dan kawan-kawannya, tidak terlepas dari peranan gurunya KH Abdoel Karim, mursyid Tariqat Qadiriyyah. Sebab gerakan perlawanan itu sudah terlihat bertahun-tahun sebelumnya dari usaha-usaha KH Abdoel Karim dalam menggalang kekuatan pengikut-pengikutnya. Latar di balik pemberontakan petani Banten itu adalah penolakan para petani – yang mengikuti pandangan para guru tarekat – terhadap masuknya anasir perekonomian, sosial dan budaya Barat (Worsley, 1961).

Secara umum, perlawanan kalangan pengamal tarikat kepada penguasa kolonial Belanda lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang terkait dengan tidak adanya usaha asimilasi kultural dengan fenomena sosio-kultural-religius masyarakat Indonesia. Sebagaimana sudah diketahui bersama, bahwa VOC yang diberi kewenangan oleh Kerajaan Belanda untuk menjadi organisasi seperti negara – termasuk diperkenankan mencetak mata uang — yang secara esensial bukanlah negara melainkan suatu persekutuan dagang, yakni perusahaan. Itu sebabnya, sebuah perlawanan terhadap VOC tidaklah dianggap sebagai sebuah kekeliruan terutama jika kepentingan-kepentingan umat beragama sudah dirugikan. Bahkan penguasa-penguasa lokal yang bekerjasama dengan VOC, tidak akan mendapat dukungan dari kalangan elit spiritual. Pasang surut gerakan bersenjata melawan penguasa kolonial yang dilakukan para elit spiritual – para guru tarikat – sepanjang sejarahnya nyaris tidak lepas dari motif ini.

Rangkaian kegagalan gerakan perlawanan para penganut tarikat terhadap pemerintah colonial Belanda, dapat diasumsikan oleh factor utama pendukung perlawanan adalah para petani, perajin, tukang, nelayan, orang-orang sipil yang diberi senjata tradisional tanpa bekal ilmu kemiliteran. Itu sebabnya, perlawanan orang-orang awam perang ini tidak pernah memperoleh kemenangan ketika berbenturan dengan tentara kolonial yang merupakan militer professional.

Sejak Jepang berkuasa di Indonesia, terjadi perubahan besar-besaran dalam peri kehidupan rakyat Indonesia terutama dalam kaitan dengan pengembangan doktrin kemiliteran. Fakta sejarah mencatat bahwa pemerintah militer Jepang di Indonesia telah menciptakan satuan-satuan militer dan para militer berskala nasional yang terdiri dari pribumi-pribumi Indonesia, termasuk di dalamnya komunitas muslim dari pesantren.

Pada 29 Maret 1942 – dua minggu setelah Jepang berkuasa – dibentuklah Barisan Pemuda yang terdiri atas Barisan Seinendan (usia 14 – 22 tahun) dengan jumlah 5.000.000 orang dan Barisan Keibodan (usia 23 – 33 tahun) dengan jumlah 500.00 orang. Kedua barisan ini diberi pelajaran baris-berbaris dan latihan perang-perangan (kyoren). Murid-murid sekolah pun diorganisasi ke dalam barisan pelajar sekolah menengah (Gakkotonari) yang terdiri dari Chugakko (untuk siswa SLTP) dan Daigakko (untuk siswa SLTA). Sedang untuk mahasiswa dibentuk Himpunan Mahasiswa yang disebut Gakkutai. Mereka semua diberi pelajaran kyoren.

Pada 3 Oktober 1943 Saiko Sikikan Jepang mengeluarkan Osamu Osirei No.44 tentang pembentukan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang terdiri atas 65 batalyon di Jawa dan Bali. Sebagian di antara komandan batalyon PETA dengan pangkat Daidancho (Mayor) adalah para kiai dari komunitas pesantren, yang dewasa itu akrab dengan amaliah tarikat. Itu terlihat saat latihan pertama dimulai pada 5 Oktober 1943, terdapat nama: KH. Tubagus Achmad Chatib (Daidancho Labuan – Banten), K E. Oyong Ternaya (Daidancho Malingping Banten), KH Sjam’oen (Daidancho Cilegon – Banten), KH R.M. Moeljadi Djojomartono (Daidancho Manahan – Surakarta), KH Idris (Daidancho Wonogiri – Surakarta), KH R. Abdoellah bin Noeh (Daidancho Jampang Kulon – Bogor), KH M. Basoeni (Daidancho Pelabuhan Ratu – Bogor), KH Soetalaksana (Daidancho Tasikmalaya – Priangan), KH Pardjaman (Daidancho Pangandaran – Priangan), KH Hamid (Kastaf Yon II Pangandaran – Priangan), KH R. Aroedji Kartawinata (Daidancho Cimahi – Priangan), KH Masjkoer (Daidancho Bojonegoro), KH Cholik Hasjim (Daidancho Gresik-Surabaya), KH Iskandar Sulaiman (Daidancho Malang), KH Doerjatman (Daidancho Tegal), KH R. Amien Djakfar (Daidancho Pamekasan -Madura), KH Abdoel Chamid Moedhari (Daidancho III Ambunten-Sumenep), KH Idris (Daidancho Wonogiri), K. Moeljadi Djojomartono (Daidancho Surakarta). Akibat cukup banyak kyai yang menjabat komandan batalyon, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk mereka “Apa para kyai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kyai?”

Pada 14 Oktober 1944 pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah di Jakarta. Hizbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama kiai dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Banten), KH Mawardi (Solo), KH Zarkasi (Ponorogo), KH Mursyid (Pacitan), KH Syahid (Kediri), KH Abdul Halim (Majalengka), KH Thohir Dasuki (Surakarta), KH Roji’un (Jakarta), KH Munasir Ali (Mojokerto), KH Abdullah, KH Wahib Wahab (Jombang), KH Hasyim Latif (Surabaya), KH Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dsb.

Ketika Jepang terdesak hebat dalam perang di Pasifik, dibentuklah pusat-pusat latihan militer yang salah satunya adalah di Besuki. Berdasar Keputusan Bersama antara penguasa militer Jepang di Besuki (Besuki Syu), Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang diketuai KH Mursyid, Yogeki Shodancho Wahyudi, dan pimpinan Hizbullah yang baru lulus dari Cibarusa, Bogor, diselenggarakan pendidikan dan latihan bagi bintara selama satu bulan dengan pusat latihan di Desa Awu-awu, Kecamatan Temuguru, Kabupaten Banyuwangi. Latihan yang diikuti oleh seluruh bintara PETA dan Hizbullah se-Karesidenan Besuki itu dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945.

Susunan organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pimpinan, KH Mursyid sebagai penasehat, Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (Taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hizbullah Karesidenan Besuki) sebagai Asisten Instruktur (Fuku Taicho), dan 23 perwira Hizbullah lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai Komandan Latihan Peleton (Sidokan). Sedangkan sebagai ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota DPR (Syu Sangikai) Besuki (Hayat,dkk, 1995). Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan di PETA dan Hizbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter. Karena itu, saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk, tetapi tidak memiliki tentara, dan kemudian saat dibentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat), berbondong-bondonglah mereka untuk mendaftarkan diri bersama dengan mantan anggota Heiho (orang Indonesia yang menjadi tentara reguler Jepang), KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger – pribumi yang jadi Angkatan Darat Hindia Belanda) dan masyarakat.

Sejak awal dibentuknya BKR yang kemudian menjadi TKR dan TNI, para kyai dan tokoh-tokoh pesantren yang terdidik di kesatuan PETA dan Hizbullah dan Sabilillah memiliki peran vital dalam pembentukan barisan-barisan dalam kemiliteran setingkat batalyon. Dalam sejarah pembentukan TNI, mereka yang tercatat sebagai komandan batalyon yang berasal dari kesatuan PETA, Hizbullah dan Sabilillah dewasa itu adalah: KH Kholiq Hasyim, KH Amien Djakfar, KH Abdoel Chamid, KH Iskandar Idris, KH Joenoes Anis, K. Basoeni, K. Doerjatman, K. Abdoellah bin Noeh, KH K. Ternaya, KH. Idris, KH. Moeljadi Djojomartono, K. Sjam’oen, KH Iskandar Sulaiman, KH Zarkasi, KH Mursyid, KH Syahid, KH Abdullah, KH Zainudin, Sulthan Fajar, KH Masykoer, KH Bisri Sjansoeri, KH Zainal Arifin, KH Moenasir Ali, KH Wahib Wahab, KH Jasin, KH Mansjoer Sholichy, KH Achjat Chalimi, KH Hasjim Latif, KH Anwar Zen, KH Hasan Sjaifurrizal, KH Zaini Moen’im, KH Djoenaidi, KH Asnawi Hadisiswoyo, KH R. Salimoelhadi, KH Bolkin, K. Mahfudz, K. P. Hadisoenarto, KH Abdoel Moeslim, KH Moeslim, KH Dimjati Moeid, K. Moeslich, K. Ridwan, K. Imam Nawawi, K. Zaeni, K H. Soedjak, K. Asfani, K. Abdoel Syoekoer, K.Djarkasi, KH Saifudin Zuhri dsb.

Fenomena militerisme di lingkungan umat Islam tradisional di pesantren tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan organisasi yang didirikan orang-orang berlatar pendidikan pesantren. Jauh sebelum organisasi Nahdlatul Ulama diproklamasikan pada tahun 1926, telah lahir lebih dulu organisasi kepemudaan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Organisasi yang didirikan KH Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansyur itu bergerak di bidang sosial, pendidikan dan dakwah (Soebagijo, 1982:21). Tahun 1918 KH Wahab Hasbullah, KH Mas Mansyur, HOS Tjokroaminoto, KH A. Dahlan Ahyad, dan P. Mangun membentuk organisasi Taswirul Afkar (Pertukaran Pikiran). Organisasi ini bagian dari perkumpulan Suryo Sumirat dan sejak didirikan 1918 papan nama Taswirul Afkar ditulis “Suryo Soemirat Afdeeling Taswirul Afkar.”

Tahun 1924 organisasi pemuda itu pecah karena KH Mas Mansyur masuk Muhammadiyah. KH Wahab Hasbullah kemudian membentuk Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang tetap memegang prinsip kebangsaan dan memegang nilai-nilai tradisi yang baik. Syubbanul Wathan ini kemudian membentuk organisasi kepanduan Ahlul Wathan (Pandu Tanah Air). Demikianlah, sejak tahun 1924 kalangan muslim tradisional berlatar pesantren sudah memiliki organisasi kepemudaan dan kepanduan (Dhofir, 1982).
Sejak organisasi NU dideklarasikan 31 Januari 1926, banyak pengurus Syubbanul Wathan dan Ahlul Wathan yang menjadi pengurus. Karena itu, pada tahun 1930-an kedua organisasi itu meleburkan diri menjadi Nahdlatul Syubban (Kebangkitan Pemuda). Tahun 1931, dibentuklah Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama (PPNU) dan pada 14 Desember 1932 nama itu diubah jadi Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU). Namun atas saran KH Wahab Hasbullah, nama itu diganti menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), yang mengacu pada keteladanan kalangan Ansor di Madinah yang menjadi pembela utama Nabi Muhammad Saw (Anam, 1990). Dalam kongres II ANO yang berlangsung di Malang pada 21-24 Maret 1937, dibentuklah Barisan Ansor Nahdlatoel Oelama (BANOE) yang kelak disebut Barisan Ansor Serbaguna (BANSER). Berdasar petunjuk KH Hasyim Asy’ari berdasar kaidah umum dalam Islam, maka pelajaran yang diberikan di organisasi BANOE meliputi baris-berbaris, lompat dan lari, angkat besi, tali-temali, morse, mendirikan kemah, PPPK, pacuan kuda, melempar lembing (Keputusan Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten pada tahun 1938).
Bertolak dari latar pembentukan BANOE inilah, saat pemerintah pendudukan Jepang membentuk PETA dan Hizbullah, kader-kader dari pesantren yang aktif di organisasi NU terutama dari BANOE dengan antusias menyambutnya. Bahkan dari kader-kader BANOE yang sudah memperoleh didikan militer modern dari tentara Jepang itu, beramai-ramai memasuki Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pemerintah RI. Bahkan saat BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), TRI (Tentara Rakyat Indonesia) hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI), kader-kader BANOE baik yang aktif di PETA maupun Hzbullah dan Sabilillah dan sejumlah tokoh kiai NU menduduki posisi strategi dengan pangkat tinggi. Selama masa revolusi kemerdekaan (1945-1948) tercatat sejumlah perwira TNI berlatar pesantren yang berasal dari organisasi NU dan BANOE seperti Mayor KH Iskandar Sulaiman (Wakil Komandan Brigade Narotama, Malang), Mayor KH Munasir Ali (Komandan Batalyon Condromowo, Jombang), Sulthan Fajar (Komandan Resimen Mujahidin dari Brigade 13 Divisi VII Karesidenan Besuki), Mayor KH Mahfudz (Komandan Batalyon 508 Kodam Brawijaya), KH Zainul Arifin (Komandan Tertinggi Divisi Barisan Hizbullah), Letkol K. M. Munawar (Komandan Resimen Hizbullah pada Divisi Sunan Bonang Surakarta, kelak jadi Resimen 6 Brigade 24), Letkol KH Iskandar Idris (Komandan Brigade Nusantara di Pekalongan), Mayor Ahmad Bakri (Komandan Batalyon 18), Mayor A. Gafar Ismail (Komandan batalyon 19), Brigjen KH Sulam Syamsun, Mayor Hamid Rusdi, Brigjen KH M. Rowi, Kol. Zein Thayib, Kapten KH Yusuf Hasyim, KH Saifudin Zuhri (Laskar Hizbullah Banyumas) dsb.

Ketika pecah pertempuran 10 November 1945, yang ditandai dengan lahirnya Resolusi Jihad yang diawali dari seruan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, peranan umat Islam tidak bisa dikesampingkan. Meski berbekal doa, ajimat, wifik, dan amalan-amalan mistis tertentu, sejarah mencatat bagaimana masyarakat muslim Indonesia terpacu untuk melawan pasukan Inggris dengan senjata sangat sederhana seperti pedang, bambu runcing, tombak, panah dan senapan rampasan dll.
Marjinalisasi Pesantren

Fenomena penduduk pribumi bersekolah terjadi sewaktu pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan Politik Etis pada 1900, di mana anak-anak pribumi dididik di lembaga sekolah yang ditegakkan di atas dasar filsafat positivisme. Sekolah untuk pribumi seperti Holland Inlands School (HIS), Meer Uitgebreid Lager School (MULO), Hoogere Burger School (HBS), Algemeene Middlebare School (AMS), School Tot Opleiding vor Inlandsche Artsen (STOVIA) menjadi alternatif pilihan bagi anak-anak pribumi untuk menuntut ilmu. Keberadaan lembaga sekolah pemerintah itu diikuti oleh lembaga-lembaga sekolah yang dibuka organisasi-organisasi seperti Budi Utomo dan Taman Siswa – terutama organisasi PKI dengan konsep Sekolah Rakyat (SR) – menjadikan sistem persekolahan menjadi pilihan bagi masyarakat untuk menjadi manusia ‘modern’ dan memperoleh lapangan pekerjaan dari pemerintah kolonial.

Karena latar filosofis sekolah adalah positivisme, maka orang-orang yang terproses dalam pendidikan sekolah memandang rendah keberadaan pesantren yang berlatar agama. Itu sebabnya, ketika para lulusan sekolah menduduki jabatan di pemerintahan RI, terjadi usaha-usaha memarjinalisasi orang-orang berlatar pesantren dari struktur pemerintahan. Hal itu terbukti saat Drs Moch. Hatta menjadi Perdana Menteri RI tahun 1948, salah seorang menteri kabinetnya, Budiardjo, merancang usaha sistematis untuk memarjinalisasi keberadaan para elit di pemerintahan dan militer yang berasal dari pesantren. Kebijakan itu dikenal sebagai Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Rera), yang awal sekali diterapkan di lingkungan TNI dengan alasan menjadikan militer profesional. Ukuran yang dijadikan parameter dalam Restrukturisasi dan Rasionalisasi itu, oleh Budiardjo, ditetapkan ijazah sekolah. Maksudnya, professional dan tidaknya seseorang dalam kemiliteran harus dibuktikan secara kongkret dengan ijazah sekolah.

Sejarah pembentukan TNI, adalah bukti tak tersanggah tentang kemampuan kader-kader bangsa berlatar pendidikan pesantren dalam menyerap konsep kemiliteran modern yang profesional sebagaimana diajarkan tentara pendudukan Jepang. Tetapi dengan kebijakan Moch. Hatta dalam Rera, keberadaan pesantren yang berlatar agama sama sekali direndahkan sebagai lambang keterbelakangan dunia pendidikan. Akibatnya, para kyai dan tokoh berlatar pesantren yang tidak memiliki ijazah sekolah tetapi menduduki jabatan penting di TNI beramai-ramai diturunkan kepangkatannya. Tidak hanya di TNI, di lingkungan pemerintahan pun, kebijakan Moch. Hatta yang memprioritaskan lulusan sekolah menjadi parameter utama dalam penentuan rekruitmen dan profesionalisme birokrasi.

Peraturan sepihak saat pemerintahan Moch. Hatta inilah yang menjadi salah satu pemicu lahirnya kekecewaan sebagian perwira TNI berlatar pesantren. Ironisnya, kekecewaan itu justru diletuskan dalam bentuk gerakan makar DI/TII yang berlatar pendidikan sekolah formal seperti Sekarmadji Maridjan / SM Kartosuwirjo, Kahar Muzakkar, Daud Beureuh yang diikuti sebagian kecil militer berlatar pesantren. Peristiwa-peristiwa tragis yang menimpa tokoh-tokoh militer berlatar pesantren sebagaimana ditulis Pinardi (1964) dan Cornelijs Van Dijk (1983), sejatinya bermula dari kebijakan Moch. Hatta dalam Rera yang disikapi secara reaktif oleh tokoh-tokoh militer berlatar sekolah formal.

Sejarah negara-bangsa Indonesia – terutama sejarah pembentukan TNI yang ditulis oleh orang-orang berlatar sekolah – menafikan seluruh peranan umat Islam yang berasal dari pesantren dan kalangan tarekat. Bahkan dalam penyusunan sejarah PETA yang dilakukan Nugroho Notosusanto, sedikit pun keberadaan para kyai tidak disinggung sehingga mengingkari keberadaan PETA sebagai tentara berlatar Islam dengan lambang bendera bulan-bintang. Sehingga dalam kurikulum sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, tidak sedikit pun peranan tokoh-tokoh militer berlatar pesantren disinggung dalam proses kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai saat sekarang ini, kebijaksanaan Moch. Hatta yang memprioritaskan lulusan sekolah dalam rekruitmen dan kepangkatan serta profesionalisasi pegawai pemerintah dan militer, tetap dijadikan satu-satunya parameter. Pesantren telah dimarjinalkan sebagai lembaga pendidikan tradisional yang distigmatisasi sebagai lambang keterbelakangan. Padahal NU secara mayoritas mendidik kadernya melalui kurikulum pendidikan pesantren.Walau demikian, NU tidak risau dengan tantangan modernisasi, kini melalui Lembaga Ma’arif NU, membuka sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi sebagai jawaban untuk bersaing di era globalisasi.

Sekalipun aspirasi kalangan muslim tradisional terpinggirkan dari lingkaran kekuasaan politis, namun dukungan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap dilakukan oleh kalangan umat Islam tradisional, termasuk para pengamal tarikat. Hal itu setidaknya terlihat dari keterlibatan kalangan muslim tradisional dalam usaha penumpasan gerakan makar yang dilakukan DI/TII, PRRI/Permesta maupun PKI. Sepanjang sejarah tegaknya NKRI, belum pernah tercatat ada gerakan umat Islam tradisional yang melakukan gerakan makar. Bahkan saat ditetapkan Pancasila sebagai azas tunggal dalam bernegara dan bermasyarakat, kalangan muslim tradisional maju ke garda terdepan dan menyatakarn bahwa NKRI dengan falsafah Pancasila adalah bentuk final negara yang diidealkan umat Islam Indonesia, di mana hal tersebut dibuktikan dengan gerakan-gerakan riil menolak usaha-usaha liah muslim modernis dan fundamental yang berfaham Wahabi yang menghendaki diberlakukannya Syariat Islam ala Wahhabi di Indonesia. Sementara itu menurut Rais Am Jama’ah Ahlith Thariqah An-Nadhiyah (JATMAN) , Habib Luthfi bin Hasyim bin Yahaya (Pekalongan) mengajak kepada anggota, pengurus Jama’ah Ahlith Thariqah An-Nadhiyah untuk menjada NKRI,” Salah satu tugas penting adalah menjaga komitmen untuk senantiasa menjaga dan  menyelamatkan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegas Habib Luthfi.

Saat ini gerakan tarekat di Indonesia tergabung menjadi satu, di bawah Jama’ah Ahlith Thariqah An-Nadhiyah (JATMAN). Tantangan Jatman saat ini menurut KH Muthi Nurhadi adalah adanya tantangan thariqah yang ada di Indonesia dengan thariqah yang ada di Timur Tengah. “Di dalam satu thariqah saja bisa berbeda pendapat. Kalau di Nusantara  sekalipun berbeda masih bisa bekerja sama.Ini demi membangun Bangsa Indonesia,” KH Muthi Nurhadi pada saat berdialog dengan jajaran Kementrian Agama mengenai persiapan Musyawarah Nasional (Munas) yang adakan di Bulan Maret 2015 atau pertemuan Mursyid Thariqah di Balikpapan. Saat ini jama’ah Ahlith Thariqah yang bernaung di bawah Jatman ada 40 juta orang yang tersebar di 43 organisasi thariqah.Muthabaroh. Jatman kini juga sudah mempunyai 400 cabang lebih di seluruh Indonesia , bahkan membuka cabang Istimewa di Negara-negara sahabat seperti Malaysia, Singapura , Brunai Darussalam, Syiria, Yaman, Libanon, Turki dll   (***)


Penulis : Aji Setiawan,
Alumni/ Mantan Ketua Research and Development (R & D) Indonesian Islamic Students Movement, Islamic University of Indonesia Jogjakarta

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6981

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>