Muslmedianews.com ~
Oleh: Fadh Ahmad Arifan*
Bukan hanya filsafat yang masih mengalami resistensi di sebagian kalangan umat Islam, tasawuf pun demikian. Meski inti ajarannya penyucian hati dan membimbing bagaimana manusia agar bahagia setiap saat, tetap saja kita akan temukan sebagian Gerakan Islam di Indonesia yang tidak suka akan Tasawuf. Artikel kali ini menelusuri bagaimana Pandangan Persis dan Muhammadiyah terhadap Tasawuf. Betulkah kedua gerakan berorientasi “purifikasi” ini anti 100% atau hanya bagian tertentu dari ajaran Tasawuf yang tak mereka sukai.
A. Muhammadiyah
Barangkali sudah terlanjur melekat sebuah stigma bahwa Muhammadiyah adalah Ormas anti Tasawuf. Orang luar Muhammadiyah beranggapan seperti itu karena sampai detik ini di dalam tubuh Muhammadiyah tidak ada lembaga khusus yang menaungi Tarekat Tasawuf seperti halnya bisa kita lihat di Nahdlatul Ulama (NU).
Akan tetapi bila dicermati lebih lanjut, sebetulnya Ormas yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini tidaklah 100% anti terhadap Tasawuf. Sejauh penelusuran saya, ditemukan fakta-fakta sebagai berikut:
1. Sebagaimana kita ketahui, Buya Hamka menulis buku Tasawuf Modern. Kata “modern” perlu ditambahkan agar aspek batin dan ‘irfani dalam Tasawuf itu bisa diterima oleh masyarakat umum. Selain Tasawuf Modern, Buya Hamka juga menulis buku-buku bertema Tasawuf, diantaranya: Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Renungan Tasawuf, Lembaga Budi dan Falsafah hidup.
2. Di Kampus-kampus berlabel Muhammadiyah, saat semester awal pun masih diajarkan mata kuliah akhlak Tasawuf.
3. Terdapat warga Muhammadiyah yang merindukan hal-hal yang bernuansa urban sufism. Ditandai dengan tingginya permintaan baik secara personal maupun atas nama Amal Usaha Muhammadiyah terhadap training-training yang mengeksplorasi pengalaman spiritual. Misalnya ESQ, Pelatihan sholat Kusyu’ dan lain-lain.
4. Hingga Kini Majelis Tarjih belum menerbitkan sikap, panduan atau fatwa terkait Tasawuf.
Dalam 5 tahun belakangan, di dalam Majelis tarjih muncul wacana Ijtihad berbasis pendekatan Irfani. Pendekatan irfani yang diterapkan adalah pendekatan pemahaman yang bersumber pada ilham/intuisi dan Teks. Dengan irfani, kita lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah).
B. Persatuan Islam (Persis)
Persis dan Muhammadiyah sama-sama Ormas yang misinya memberantas Takhayul, Bid’ah dan Khurafat. Sepanjang sejarahnya, Persis dan Muhammadiyah saling bahu membahu dalam memperbaiki kondisi umat Islam di Indonesia. Tak heran bisa di dalam Ensiklopedi Muhammadiyah terdapat 2 entri tentang profil Persis dan A. Hassan. Ini menandakan ada kontribusi Persis dalam lembaran sejarah Muhammadiyah.
Berbicara Tasawuf, sikap Persis bisa diketahui melalui fatwa-fatwa A. Hassan dan Putranya yaitu Abdul Qadir Hassan. Pertama, pembagian Hakekat, Ma’rifat dan Syariat. Istilah-istilah ini tidak dikenal di zaman Nabi dan Tabi’in. Istilah ini baru muncul saat munculnya Tarekat. Persis berpandangan agama Islam itu bersih dari doktrin seperti ini (A. Hassan, Soal-jawab jilid 1-2, Bangil, 1996). Kedua, Hukum masuk Tarekat. Tarekat yang ada tidak luput dari unsur-unsur bid’ah. Seperti dzikir-dzikirnya atau berdoanya diatur caranya serta dilakukan pada waktu yang mereka tentukan, padahal tidak ada tuntunannya dari Nabi Muhammad. A. Hassan menghimbau agar umat Islam mengikuti metode Nabi daripada Tarekat Tasawuf (A. Hassan, Soal-jawab jilid 3-4, Bangil, 1996).
Terdapat pula amalan tarekat tertentu yang mengharuskan Dzikir dengan menari, harus loyal/taat kepada Mursyid dan ngalap berkah ke Makam sang Mursyid. Amalan seperti ini tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad saw. Abdul Qadir Hassan menyatakan Tarekat itu buatan manusia, bukan dari Agama. Meski sebagian di antara Tarekat-tarekat itu ada yang bertujuan baik tetapi caranya tidak baik, karena menyalahi Agama. Apakah patut dikatakan baik, orang yang menuntut sesuau yang baik dengan cara tidak baik? (Abd Qadir Hassan, Kata berjawab jilid 1-5, 2004).
*Alumni S2 studi Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Malang
Oleh: Fadh Ahmad Arifan*
Bukan hanya filsafat yang masih mengalami resistensi di sebagian kalangan umat Islam, tasawuf pun demikian. Meski inti ajarannya penyucian hati dan membimbing bagaimana manusia agar bahagia setiap saat, tetap saja kita akan temukan sebagian Gerakan Islam di Indonesia yang tidak suka akan Tasawuf. Artikel kali ini menelusuri bagaimana Pandangan Persis dan Muhammadiyah terhadap Tasawuf. Betulkah kedua gerakan berorientasi “purifikasi” ini anti 100% atau hanya bagian tertentu dari ajaran Tasawuf yang tak mereka sukai.
A. Muhammadiyah
Barangkali sudah terlanjur melekat sebuah stigma bahwa Muhammadiyah adalah Ormas anti Tasawuf. Orang luar Muhammadiyah beranggapan seperti itu karena sampai detik ini di dalam tubuh Muhammadiyah tidak ada lembaga khusus yang menaungi Tarekat Tasawuf seperti halnya bisa kita lihat di Nahdlatul Ulama (NU).
Akan tetapi bila dicermati lebih lanjut, sebetulnya Ormas yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini tidaklah 100% anti terhadap Tasawuf. Sejauh penelusuran saya, ditemukan fakta-fakta sebagai berikut:
1. Sebagaimana kita ketahui, Buya Hamka menulis buku Tasawuf Modern. Kata “modern” perlu ditambahkan agar aspek batin dan ‘irfani dalam Tasawuf itu bisa diterima oleh masyarakat umum. Selain Tasawuf Modern, Buya Hamka juga menulis buku-buku bertema Tasawuf, diantaranya: Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Renungan Tasawuf, Lembaga Budi dan Falsafah hidup.
2. Di Kampus-kampus berlabel Muhammadiyah, saat semester awal pun masih diajarkan mata kuliah akhlak Tasawuf.
3. Terdapat warga Muhammadiyah yang merindukan hal-hal yang bernuansa urban sufism. Ditandai dengan tingginya permintaan baik secara personal maupun atas nama Amal Usaha Muhammadiyah terhadap training-training yang mengeksplorasi pengalaman spiritual. Misalnya ESQ, Pelatihan sholat Kusyu’ dan lain-lain.
4. Hingga Kini Majelis Tarjih belum menerbitkan sikap, panduan atau fatwa terkait Tasawuf.
Dalam 5 tahun belakangan, di dalam Majelis tarjih muncul wacana Ijtihad berbasis pendekatan Irfani. Pendekatan irfani yang diterapkan adalah pendekatan pemahaman yang bersumber pada ilham/intuisi dan Teks. Dengan irfani, kita lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah).
B. Persatuan Islam (Persis)
Persis dan Muhammadiyah sama-sama Ormas yang misinya memberantas Takhayul, Bid’ah dan Khurafat. Sepanjang sejarahnya, Persis dan Muhammadiyah saling bahu membahu dalam memperbaiki kondisi umat Islam di Indonesia. Tak heran bisa di dalam Ensiklopedi Muhammadiyah terdapat 2 entri tentang profil Persis dan A. Hassan. Ini menandakan ada kontribusi Persis dalam lembaran sejarah Muhammadiyah.
Berbicara Tasawuf, sikap Persis bisa diketahui melalui fatwa-fatwa A. Hassan dan Putranya yaitu Abdul Qadir Hassan. Pertama, pembagian Hakekat, Ma’rifat dan Syariat. Istilah-istilah ini tidak dikenal di zaman Nabi dan Tabi’in. Istilah ini baru muncul saat munculnya Tarekat. Persis berpandangan agama Islam itu bersih dari doktrin seperti ini (A. Hassan, Soal-jawab jilid 1-2, Bangil, 1996). Kedua, Hukum masuk Tarekat. Tarekat yang ada tidak luput dari unsur-unsur bid’ah. Seperti dzikir-dzikirnya atau berdoanya diatur caranya serta dilakukan pada waktu yang mereka tentukan, padahal tidak ada tuntunannya dari Nabi Muhammad. A. Hassan menghimbau agar umat Islam mengikuti metode Nabi daripada Tarekat Tasawuf (A. Hassan, Soal-jawab jilid 3-4, Bangil, 1996).
Terdapat pula amalan tarekat tertentu yang mengharuskan Dzikir dengan menari, harus loyal/taat kepada Mursyid dan ngalap berkah ke Makam sang Mursyid. Amalan seperti ini tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad saw. Abdul Qadir Hassan menyatakan Tarekat itu buatan manusia, bukan dari Agama. Meski sebagian di antara Tarekat-tarekat itu ada yang bertujuan baik tetapi caranya tidak baik, karena menyalahi Agama. Apakah patut dikatakan baik, orang yang menuntut sesuau yang baik dengan cara tidak baik? (Abd Qadir Hassan, Kata berjawab jilid 1-5, 2004).
*Alumni S2 studi Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Malang