Bandung, Muslimedianews.com ~ Ketua Bidang Pengkajian dan Penerbitan (BPP) YPM Salman Institut Teknologi Bandung (ITB), Budhiana Kartawijaya menilai, saat ini semangat ke-agamaan kaum muda Islam mengalami pergeseran yang cukup menonjol. Dari hasil pengamatannya baik sebagai Redaksi di Harian Pikiran Rakyat maupun keterlibatannya di Yayasan Salman, ITB, ia melihat, di Bandung banyak kelompok muda dengan semangat ke-Islaman yang kuat, melakukan gerakan sosial, tetapi bentuknya tidak formal seperti era 10 tahun lalu.
“Kelompok kelompok muda Islam ini tidak bergantung pada funding, pada dana negara. Mereka bergerak atas kesadaran value, nilai-nilai personal mereka dalam menyingkapi problematika kehidupan. Mereka memahami Islam dari realitas, secara induktif, bukan deduktif kemudian baru mencari rujukannya ke Islam. Dan belajar ke-Islamannya pun tidak seperti pola generasi dulu,” terangnya kepada Suara-Muslim.com, Kamis, 4 Juni 2015.
Menurut Budhiana, pemuda-pemudi muslim ini tampaknya ingin menjadi pelaku aktif di tengah-tengah kehidupan mereka sendiri dan tak mau didekte oleh model gerakan dakwah model lama yang formal, dicerahami, dan hanya menjadi objek dakwah.
“Mereka memilikih kegiatan aksi langsung. Dengan itu mereka merasa menjadi subjek yang mengambil peranan. Jiwa filantropinya tinggi. Saya sebagai pengelola masjid merasakan hal itu. Karena itu kita harus melihat gejala ini sebagai perkembangan,” sambungnya.
Gejala ini menurut Budhiana juga memperlihatkan bahwa generasi muda Islam subjek itu sudah tidak lagi mau memakai pola gerakan Islam-formal. Indikasi dari ketidakpercayaan pada Islam-Formal misalnya, dibuktikan melalui kajian riset hariannya di Harian Umum Pikiran Rakyat yang secara khusus memantau trending-topic media sosial.
“Misalnya di media sosial terdapat trending topic tentang isu pencabutan dana negara untuk Majelis Ulama Indonesia. Sekalipun Pak Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin sudah mengklarifikasi tidak ada pencabutan, tetapi anak-anak muda pemain media sosial ini setuju dengan dicabutnya dana untuk MUI karena mereka merasakan adanya kekecewaan terhadap lembaga formal keagamaan,” jelasnya.
Muslim basis value
Terkait dengan model gerakan yang sifatnya voluntarisme memiliki kelemahan karena tidak bisa memberi solusi problem struktural, menurut Budhiana itu diakui karena memang tidak strategis untuk mengubah struktur.
“Itu karena mereka tidak menyasar pada goal untuk mengubah nasib. Tapi mereka bergerak atas nama value, nilai. Namun, menurut saya, di sana ada harapan, dengan lekatnya value dalam diri mereka, saat kemudian hari mereka menjadi pemimpin ada harapan mentransformasikan value ke arah yang lebih luas, berjejaring, dan menjadi kekuatan penting bagi bangsa,” jelas inisiator gerakan civic-Islam ini.
Budhiana melihat semangat value dengan titik tekan pergerakan pada kewargaan ini selaras dengan semangat Civic-Islam. “Dan gerakan civic-Islam yang dimulai, kemudian tumbuh berkembang di Bandung ini, jika nanti berjejaring luas dengan gerakan luar Bandung akan menjadi bagian perubahan bagi bangsa Indonesia,” ujarnya penuh harap. (Ferli H)
“Kelompok kelompok muda Islam ini tidak bergantung pada funding, pada dana negara. Mereka bergerak atas kesadaran value, nilai-nilai personal mereka dalam menyingkapi problematika kehidupan. Mereka memahami Islam dari realitas, secara induktif, bukan deduktif kemudian baru mencari rujukannya ke Islam. Dan belajar ke-Islamannya pun tidak seperti pola generasi dulu,” terangnya kepada Suara-Muslim.com, Kamis, 4 Juni 2015.
Menurut Budhiana, pemuda-pemudi muslim ini tampaknya ingin menjadi pelaku aktif di tengah-tengah kehidupan mereka sendiri dan tak mau didekte oleh model gerakan dakwah model lama yang formal, dicerahami, dan hanya menjadi objek dakwah.
“Mereka memilikih kegiatan aksi langsung. Dengan itu mereka merasa menjadi subjek yang mengambil peranan. Jiwa filantropinya tinggi. Saya sebagai pengelola masjid merasakan hal itu. Karena itu kita harus melihat gejala ini sebagai perkembangan,” sambungnya.
Gejala ini menurut Budhiana juga memperlihatkan bahwa generasi muda Islam subjek itu sudah tidak lagi mau memakai pola gerakan Islam-formal. Indikasi dari ketidakpercayaan pada Islam-Formal misalnya, dibuktikan melalui kajian riset hariannya di Harian Umum Pikiran Rakyat yang secara khusus memantau trending-topic media sosial.
“Misalnya di media sosial terdapat trending topic tentang isu pencabutan dana negara untuk Majelis Ulama Indonesia. Sekalipun Pak Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin sudah mengklarifikasi tidak ada pencabutan, tetapi anak-anak muda pemain media sosial ini setuju dengan dicabutnya dana untuk MUI karena mereka merasakan adanya kekecewaan terhadap lembaga formal keagamaan,” jelasnya.
Muslim basis value
Terkait dengan model gerakan yang sifatnya voluntarisme memiliki kelemahan karena tidak bisa memberi solusi problem struktural, menurut Budhiana itu diakui karena memang tidak strategis untuk mengubah struktur.
“Itu karena mereka tidak menyasar pada goal untuk mengubah nasib. Tapi mereka bergerak atas nama value, nilai. Namun, menurut saya, di sana ada harapan, dengan lekatnya value dalam diri mereka, saat kemudian hari mereka menjadi pemimpin ada harapan mentransformasikan value ke arah yang lebih luas, berjejaring, dan menjadi kekuatan penting bagi bangsa,” jelas inisiator gerakan civic-Islam ini.
Budhiana melihat semangat value dengan titik tekan pergerakan pada kewargaan ini selaras dengan semangat Civic-Islam. “Dan gerakan civic-Islam yang dimulai, kemudian tumbuh berkembang di Bandung ini, jika nanti berjejaring luas dengan gerakan luar Bandung akan menjadi bagian perubahan bagi bangsa Indonesia,” ujarnya penuh harap. (Ferli H)
Redaktur : Ibnu L' Rabassa