Quantcast
Channel: Muslimedia News - Media Islam | Voice of Muslim
Viewing all 6981 articles
Browse latest View live

Diantara Wasiat Syaikh Abu Hasan al-Syadzily

$
0
0
Muslimedianews.com ~ Diantara nasihat-nasihat Syaikh Syadzili dalam sebuah kitab “Washiyatu Abi Hasan As-Syadzili” adalah :

خير العلوم ما أصلحك
“Sebaik-baiknya Ilmu adalah yang meluruskan dirimu (yang membuat perilaku dan sifat-sifatmu menjadi baik)”

خير العمل ما صحبه الإخلاص
“Sebaik-baiknya Amal perbuatan adalah yang disertai (didasari) dengan keikhlasan”

خير إخوانك من واساك، وخير منه من كفاك
“Sebaik-baiknya saudaramu adalah yang bisa membantumu (berbuat kebaikan) dan yang terbaik dari itu adalah yang bisa membekalimu (dengan ilmu dan ahlak yang baik)”


خير من صاحبته ذو العلم والحلم
“Sebaik-baiknya teman yang (harus) engkau temani adalah teman yang memiliki ilmu (yang bermanfaat) dan (juga) yang memiliki sifat Hilim (baik, dan penyabar)”

خير من شاورت ذو النهى والعقل، وأولو التجارب والحزم
“Sebaik-baiknya orang yang bisa engkau ajak musyawarah adalah orang yang memiliki pemikiran dan yang memiliki akal (ilmu), dan yang ahli percobaan (memiliki banyak pengalaman) dan pemikiranya dapat dipercaya.”

خير الاجتهاد ما قارنه التوفيق
“Sebaik-baiknya Ijtihad adalah yang disertai dengan taufiq (tindakan yang bersumber dari hidayah)

خير الناس من أخرج الحرص من قلبه، وخالف هواه في طاعة ربه
Sebaik-baiknya Manusia adalah yang bisa mengeluarkan sifat dengki dari hatinya dan bisa menundukan hawa nafsunya untuk berbuat Ta’at kepada Allah.

Wallahu A’lam./ source

Asal Usul dan Sejarah Munculnya Ilmu Gramatika Bahasa Arab (Nahwu)

$
0
0
Muslimedianews.com ~ Ilmu Gramatika bahasa Arab tidak asing di kalangan para pelajar, apalagi di kalangan pesantren di Indonesia. Bahkan ilmu ini di buat literatur awal materi pelajaran di hampir seluruh peantren, karena memang ilmu ini termasuk vital dan pondasi ntuk memahami ilmu – ilmu yang lain hususnya kitab suci al qur’an. Tetapi anehnya sejarah ilmu ini seakan menjadi misteri baginya, bahkan banyak yang tidak terbesit sama sekali di benaknya atau acuh tak acuh untuk membuka atau membedah misteri sejarah tersebut. Sungguh sangat di sayangkan sebenarnya.

Banyak sumber yang berbeda–beda mengenai asal usul “Bahasa Arab”. Ada yang mengatakan nama Arab adalah nama suatu golongan atau suku yang terkenal dari keturunannya nabi Ismail AS dan Ya’rub bin Qahthan yang kesehariannya menggunakan bahasa Arab, ada pula yang mengatakan bahwa Arab itu terbagi dua : Aribah yang berbicara menggunakan lisan dan bahasanya Ya’rub dan Musta’ribah yang berbicara menggunakan lisan dan bahasanya nabi Ismail AS (bahasa Arab yang di gunakan sampai sekarang ), ada juga yang mengatakan Allah SWT menciptakan Adam AS dengan sebaik–baiknya ciptaan, dia berbicara menggunakan bahasa Arab ketika di turunkan ke bumi, lalu di rubah lisan dan perkataannya oleh-Nya ke bahasa Suryani, Qibti, Hindi, Ibrani, Yunani dll, setiap satu dari bahasa tersebut di tulis olehnya di gumpalan tanah di hias dan di abadikan sebaik mungkin. Ketika bumi terkena bencana banjir besar hilanglah tulisan – tulisan itu bersama aliran air, nabi Ismail AS lah yang menemukan tulisan yang berbaha Arab, dan pendapat ini seakan memperkuat pendapat ke dua dan inilah yang di buat pegangan dan yang otentik menurut penulis.

Dari zaman dahulu kala (jaman nabi Ismail) sampai zaman jahiliyah (sebelum adanya islam) bahasa Arab sebagai satu – satunya sarana dialog bagi mereka, semuanya di ucapkannya dari hati nuraninya sendiri atau sudah menjadi kebiasaan bagi mereka. Yang akhir mengambil dari yang awal, yang kecil mengambil dari yang tua sampai seterusnya. Meskipun terdiri dari berbagai kabilah, seperti: Hijaz, Banu Tamim, Toyyi’, Aliyyah dan sebagainya, tetapi semua tidak menjadi kendala dan tidak merubah kebudayaan mereka, hingga munculnya agama Islam.


Islam adalah agama rahmatan lil alamin, jangkauannya adalah seantero dunia. Pertama munculnya islam dari Makkah, tempat di utusnya nabi Muhammad SAW dan turunnya al qur’an. Setelah islam mencapai kejayaannya mulai campurlah orang Arab dengan selain Arab seperti Persi, Rum, dan selainnya, hal itulah yang menyebabkan perubahannya kebudayaan orang Arab, yang salah satunya adalah tercampurnya pengucapan lisan Arab dengan lisan lainnya, sehingga sedikit demi sedikit keotentikan pengucapan bahasa Arab mulai terkikis, dan hal itu semakin nyata dan meluas di masa khalifah sayyidina Ali KW.

Amirul Mu’minin sudah mengetahui semua hal itu, di samping itu Imam Abul Aswad Ad Duali yang ketika itu menjabat sebagai qodli Basrah yang sudah mempunyai inisiatif sebelumnya melapor kepadanya tentang hal perubahan pengucapan bahasa, dia berkata : “wahai Amirul Mu’minin, bahasa Arab telah hilang ketika orang Arab bercampur dengan Ajam (selain Arab), dan di kawatirkan semakin berjalannya waktu hanguslah bahasa arab”. Karena dia memang menyaksikan langsung perubahannya masyarakat sekitarnya.

Salah satu bukti dari beberapa banyak bukti yang mendorong dirinya untuk melapor adalah anak perempuannya sendiri, ketika itu sedang di atab rumah bersamanya, memandang langit sambil berkata kepada Abahnya ucapan yang seharusnya taajub bermakna kagum, oleh putrinya berkata istifham atau sebuah pertanyaan, yang berartikan: “sesuatu apa yang paling indah di langit?” di jawab oleh Abahnya : “bintangnya” “aku tidak bertanya wahai abah tetapi kagum dengan keindahan langit” sahut putrinya, lalu dia berkata : “wahai putriku berkatalah menggunakan lafadz taajjub yang berarti : “sunggung indahnya langit"

Dan terlalu banyak realita perubahan di masyarakat yang sangat di sayangkan . Kemudian Amirul Mu’minin Ali KW memberi nasihat kepadanya (Abul Aswad Ad Duali) untuk membeli lampiran – lampiran dan bangkit mengabadikan kaidah – kaidah ilmu ini, lalu di diktekan kepadanya : Yang berarti : Kalam tidak mungkin keluar dari Isim, Fi’il dan Harf, dan Isim adalah yang keluar dari sesuatu yang di namai, dan Fi’il yang keluar dari perilaku yang di namai, dan Harf adalah yang keluar dari yang bermakna selain Isim dan Fi’il. Lalu beliau RA berkata : Ketahuilah wahai Abul Aswad bahwa sesuatu itu ada tiga macam : Dhahir (kelihatan), Dlomir (tidak kelihatan) dan sesuatu yang antara ada dan tidak, tulislah kaidah – kaidah bahasa dan berjalanlah seperti ini (dari perkataan beliau RA inilah asal mula di namakan ilmu NAHWU ).

Berkata Abul Aswad : kemudian aku kumpulkan semua itu dan aku tambahkan isinya lalu aku setorkan lagi kepadanya . Kemudian muncul generasi setelahnya yang mengambil darinya seperti : Maimun Al Aqwan, lalu muncul lagi setelahnya seperti: Imam Ibnu Ala’, kemudian Imam Khalil, Imam Sibawaih, kemudian terfokuskan menjadi dua : Basrah dan Kufah , dan terus di abadikan generasi - generasi setelahnya hingga sampai sekarang.

Oleh : Moeslich El Malibary
Mahasiswa Imam Syafi'i Yaman..

Jadwal Safari Dakwah Buya Yahya di Pontianak

$
0
0
Muslimedianews.com ~ Safari Dakwah Buya Yahya di Kota Pontianak akan berlangsung pada tanggal 22 dan23 Mei 2015, dengan rincian sebagai berikut:

1. KHUTBAH JUM'AT
Jum'at, 22 Mei 2015 Pukul 11.30
Di Masjid Al Hikmah Jln. DR. Wahidin/Sepakat

2. SEMINAR UMUM MUSLIMAH

Bersama Buya Yahya & Ummi Fairuz
Jum'at, 22 Mei 2015 Pukul 15.30-17.30, dengan Tema " Potret Muslimah Kita" Di Aula Masjid Raya Mujahidin Jln. A.Yani (GRATIS & KHUSUS MUSLIMAH!)

3. TAUSIYAH UMUM ACARA HAFLATUL IMTIHAN
Sabtu, 23 Mei 2015 Pukul 09.00, di Pondok Pesantren Wali Songo Jln. Ampera Kota Baru

Safari Dakwah Buya Yahya dipersembahkan oleh Al Bahjah Kalimantan Barat, dan didukung oleh Al Hasaniyyah Kalbar, Majelis Jejak Nabi ‪#‎Pontianak‬, serta Yayasan Mujahiddin Kalimantan Barat

Media Partner : Radio Dakwah Al Hijrah 100.1FM Kubu Raya
Contact Person : 089693304668 / 085750678000

Mike Tyson alias Malik Abdul Aziz Syuting Film bersama Donnie Yen

$
0
0
Muslimedianews.com ~ Malik Abdul Aziz alias Mike Tyson, mengalami insiden nahas saat 'berkelahi'. Lawannya memang tak main-main, Donnie Yen, aktor laga paling fenomenal asal Hong Kong.

Perkelahian dua jagoan itu bagian dari syuting sebuah film, seperti dilansir lollipop.sg, Senin (18/5). Rupanya, Donnie Yen yang punya nama asli Yen Chi Tan terlalu bersemangat. Ketika asyik baku pukul untuk sebuah adegan, jari telunjuk Tyson patah.

"Padahal awalnya semua kru khawatir Donnie Yen bisa terluka kalau berkelahi dengan saya. Nyatanya saya yang sekarang cedera," kata Tyson yang dahulu bernama asliMichael Gerard Tyson sambil tertawa.


Dalam kesempatan terpisah, Donnie Yen menilai sang jawara tinju AS itu sangat profesional. Ketika tinjunya menghantam tangan kanan Tyson, Donnie tahu lawan mainnya itu terluka. Tapi Tyson berkukuh meneruskan syuting sampai selesai. Petinju yang kini berusia 48 tahun ini juga tidak mau dibantu pemeran pengganti.

"Baru setelah selesai syuting Tyson memeriksakan jarinya itu. Kata dokter jarinya retak," kata Donnie.

"Bekerja bersama Tyson sangat mengesankan. Dia sangat rendah hati dan bekerja profesional," imbunya.

Tyson dikenang sebagai salah satu jawara tinju paling hebat sedunia. Dia adalah petinju termuda sepanjang sejarah yang bisa meraih sabuk WBC, WBA, dan IBF sekaligus di kelas beart. Tyson pensiun pada 2006 setelah rangkaian skandal mencoreng karirnya yang cemerlang. Sedangkan Donnie Yen kini dikenal sebagai aktor laga dengan bayaran paling mahal. Beberapa filmnya yang populer di mancanegara, termasuk Indonesia, adalah IP Man, Iron Monkey, dan Legend of the Fist.

Tyson lahir di New York City, Amerika, 30 Juni 1966. Tyson memeluk Islam ketika masih dipenjara pada pertengahan tahun 1990. Secara resmi, tahun 1995, selepas dari penjara di Indiana, Tyson mengumumkan hijrah memeluk agama Islam yang telah dipelajarinya selama di dalam penjara, dengan nama baru Malik Abdul Aziz.


sumber merdeka

Mojtaba Zolnour: Al-Qur'an Izinkan Kita Menghancurkan Israel

$
0
0
Muslimedianews.com ~ Mojtaba Zolnour, Penasehat Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam di Iran mengatakan, bahwa Iran memiliki izin Tuhan untuk menghancurkan Israel. "Al-Quran melegalkan kita untuk menghancurkan Israel.", tuturnya sebagaimana dilansir kantor Fars, dikutip Youm7 (12/5)

Pada perundingan nuklir, Mojtaba mengatakan bahwa Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei optimis tentang hasil negosiasi, dia mengisyaratkan bahwa Ali Khamenei menempati garis merah untuk negosiasi.

Dia mengatakan bahwa apa pun hasil dari negosiasi akan menjadi kepentingan rakyat Iran, dan atas dasar ini harus mengutamakan kepentingan nasional. Ia juga mengatakan bahwa jika negosiasi gagal, rakyat Iran akan menyadari ketiadaan komitmen Amerika dengan janji-janji mereka. (im)

75 Negara Ikuti Musabaqah Al-Qur'an Internasional di Iran

$
0
0
Teheran, Muslimedianews.com ~ Pembukaan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) Internasional di Ibukota Irahn, Teheran, dihadiri oleh Presiden Republik Islam Iran Hassan Rohani, sejumlah menteri, deputi parlemen Iran, duta besar dari negara-negara arab dan Islam, serta para penggiat Al-Qur'an dan peserta dari lebih 75 negara.

Sebagaimana dilaporkan kantor Berita Al-Qur'an Internasional (IKNA) dilansir Alalam.ir (15/5/2015).


Ketua Panitia Musaqabah Al-Qur'an Internasional ke-32 di Iran, Sheikh Ali Mohammadi, mengatakan kompetisi diadakan untuk variasi bacaan al-Qur'an dan penghafal al-Qur'an seluruhnya. Penutupan akan dilaksanakan pada Jum'1t 22 Mei. Kompetisi diikuti oleh 120 peserta dari 75 negara dengan 10 juri berasal dari luar negeri dan 12 juri dari Iran.

Mohammadi juga mengatakan bahwa Kamis (21) aka diselenggarakan seminar al-Buhuts al-Qur'aniyah (Pembahasan Al-Qur'an) ke-9  dan telah meneri 700 karya dari peneliti Iran dan negara-negara lainnya.

Sementara dilaporkan Tasnim Agency News, Hassan Rouhani dalam sesi pembukaan Musabaqah Al-Qur'an mengatakan bahwa salah satu faktor utama yang memberikan kontribusi terhadap persatuan dan kesatuan umat Islam adalah Al-Quran dan Tilawah kitab ilahi dengan bahasa wahyu ini, Islam berarti kasih sayang, persaudaraan, toleransi, kerjasama serta penolakan atas kekerasan dan ekstremisme. (im)

NU-ku, NU Anda, NU Kita: Sebuah Catatan untuk Muktamar ke-33 NU

$
0
0
Muslimedianews.comRekam Jejak “Sengketa Lahan” NU
DALAM acara ‘Secangkir Kopi Bersama Gus Dur’ yang disiarkan langsung oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI), Selasa 15 Maret 2000, secara terbuka, Gus Dur –yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Presiden– meminta maaf kepada eks-tahanan politik (tapol) dan korban “revolusi” dari kalangan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain permintaan maaf, Gus Dur juga berencana menghapus TAP MPRS XXV/1966.

Beberapa hari setelah itu, situs Asia Times menulis permaafan Gus Dur: “Aiming to correct the mistakes of the past, Indonesian President Abdurrahman Wahid last month apologized to all victims and survivors of the massacres and unlawful detention of alleged communists which began in the mid-1960s. He said the ban on communism would be lifted”.

Konsistensi Gus Dur dalam upaya rekonsiliasi dan pengurangan sikap paranoid terhadap PKI, ataupun Komunisme secara umum, juga tetap dilakukan pasca (di)lengser(kan) dari kursi kepresidenan. Ini ditunjukkan dengan, di antaranya: hadir dan menjadi pembicara dalam bedah buku Ribka Tjiptaning, Aku Bangga menjadi Anak PKI, pada 1 Oktober 2002. Di lain waktu, Gus Dur ikut meresmikan panti jompo yang bernama Waluyo Sejati Abadi, milik sebuah yayasan yang dipimpin oleh eks-tapol. Rencananya, panti tersebut akan digunakan untuk menampung mantan tahanan perempuan di masa rezim Orde Baru (Orba).[1]
Namun sialnya, organisasi yang membesarkannya dan dibesarkannya pula, malah menganulir permaafan tersebut. Bahkan, tak hanya penyangkalan secara pribadi dari orang-orang dalam Nahdlatul Ulama (NU), Pengurus Besar NU (PBNU) menerbitkan buku yang berisi “pledoi” atas pembersihan antek PKI yang dilakukan oleh Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) yang bekerjasama dengan ABRI. Melalui buku yang berjudul Benturan NU-PKI 1948-1965 (selanjutnya disebut Buku Putih NU-PKI) tersebut, PBNU menjelaskan[2] kepada publik, bahwa pembubaran PKI dan organ-organnya –yang kemudian dilakukan secara “inkonstitusional”–, setimpal dengan apa yang telah diperbuat oleh PKI: mengacak-acak pesantren, membunuh para kiai, santri dan juga tokoh NU dan Ansor.

Setelah kasus Buku Putih NU-PKI agak reda, polaritas dalam NU kembali muncul. Tepatnya pada pra pelaksanaan pileg dan pemilu 2014. Pada bulan menjelang pesta demokrasi tersebut, marak bermunculan spanduk yang bertuliskan “Tolak Iklan yang Menyeret NU ke Partai Politik”, “Jangan Nistakan Khittah NU 1926 dengan Menjual NU ke Partai Politik” dan kalimat-kalimat yang senada. Kelompok penggugat tersebut menamakan dirinya sebagai “Gerakan NU Kultural”.

Gerakan sporadis seperti ini malah terlihat seperti gugatan yang kesiangan. Karena ajakan, dukungan, bahkan provokasi dari oknum-oknum NU untuk memilih partai, dalam hal ini Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), telah ada sejak PKB berdiri. Lebih dari itu, beberapa ulama mu`assis (yang ikut mendirikan) PKB, bahkan berfatwa wajib untuk memilih PKB di pemilu 1999.

Kasus pertentangan pendapat NU yang selanjutnya terjadi pada pra Muktamar NU di Jombang. Ada suatu polemik yang sampai kini masih marak diperbincangkan. Polemik tersebut adalah kemunculan situs dan fanspage Facebook yang mengatasnamakan gerakannya dengan ‘NU Garis Lurus’. Sebagaimana yang tertera, “sekte” NU ini ingin meluruskan dan ingin mengoreksi apa yang selama ini terjadi dalam NU. Dan benar, dalam setiap pernyataannya, admin ‘NU Garis Lurus’ ini selalu mengandung provokasi untuk mempertanyakan sikap para tokoh NU, bahkan terkadang sampai menyebut mereka sesat.

Jauh sebelum akun anonim ini muncul, telah ada gerakan serupa yang juga mengusung nama ‘NU Garis Lurus’. Gerakan ini dimotori oleh KH. Luthfi Bashori melalui situs pribadinya, www.pejuangislam.com. Selain sama dalam nama, ideologi yang digagas juga tak jauh berbeda. Dari beberapa tulisan yang diposting dua gerakan tadi, terlihat jelas, bahwa mereka mengusung daulah Islamiyyah sebagai bentuk final negara Indonesia[3]. Selain KH. Luthfi Bashori, ada juga nama lain yang perlu dikedepankan di sini berdasarkan sepak terjangnya dalam memasyarakatkan konsep daulah Islamiyyah di kalangan dan di luar NU: KH. Najih Maimoen.

Karena dirasa gerakan yang dilakukan oleh akun ‘NU Garis Lurus’[4] dan dua ulama NU pada masa sebelumnya semakin meresahkan masyarakat awam, Nur Khalik Ridwan, salah satu intelektual NU, kemudian membuat tulisan tandingan yang berjudul “Masalah Pemurnian Aswaja NU Garis Lurus”. Dalam tulisannya yang cukup panjang tersebut, Nur Khalik Ridwan, selain menganalisis kemunculan akun ‘NU Garis Lurus’ yang bertepatan dengan pelaksanaan Muktamar, dia juga menegaskan, bahwa apa yang disampaikan oleh ‘NU Garis Lurus’, KH. Luthfi Bashori dan KH. Najih Maimoen –dalam tulisannya, ditambah Ust. Idrus Ramli–, berseberangan secara frontal dengan NU. Karena NU telah memproklamirkan “NKRI Harga Mati” dan Pancasila sebagai dasar negara.[5]

Melihat berbagai pertentangan internal NU di atas, memunculkan asumsi: NU tidak pernah terikat dalam satu kekuatan yang solid, yang berdiri di atas satu pijakan ideologi yang sama. Asumsi itu mungkin saja benar. Karena salah satu pertentangan internal NU hingga memunculkan friksi yang tajam, telah muncul pada tiga dasawarsa yang lalu, yaitu pada 1982-1984. NU pecah menjadi dua kubu: kubu Cipete yang dipimpin KH. Idham Chalid, dan kubu Situbondo yang terdiri dari pendukung KH. As’ad[6]. Kubu Situbondo yang notabene NU Tandingan, muncul dikarenakan tidak adanya kepercayaan lagi terhadap kepemimpinan KH. Idham Chalid yang membawa NU ke ranah politik. Sedangkan KH. Idham Chalid bersikeras tetap memimpin, karena menurutnya tidak ada ‘illah kuat yang menuntutnya lepas jabatan. Walaupun pada akhirnya, salah satunya dengan “politik khittah”, berhasil membuat KH. Idham Chalid mundur dari jabatannya.

Dari paparan beberapa kasus polaritas dan konfrontasi internal NU di atas, memunculkan pertanyaan,: “Mengapa NU bisa pecah menjadi ‘sekte-sekte’, yang bahkan berseberangan secara ekstrem? Bukankah kesemuanya diikat dalam satu pedoman Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART)?”. “Lebih jauh lagi, adakah perpecahan tersebut sebuah keniscayaan ataukah suatu hal yang harus ditiadakan -karena menghindarinya adalah hal yang mustahil- dari tubuh NU?”. Pertanyaan inilah yang harus dijawab, agar potensi perpecahan internal NU bisa dihindari atau malah diakomodasi.

Menyelisik Konfrontasi dalam NU
Sebenarnya, perbedaan pendapat bukanlah hal yang aneh dalam NU. Karena selain berpedoman pada salah satu mazhab fiqh yang berjumlah empat, PBNU juga membuat badan otonom Lajnah Bahtsul Masa`il Diniyah (selanjutnya ditulis LBMD)[7], yang tiap pesantren dan daerah mempunyai corak yang khas dalam mengkaji persoalan keagamaan. Dalam forum LBMD tersebut, tidak jarang suatu persoalan dinyatakan mauquf (diberhentikan) karena tidak mencapai mufakat.

Jika perbedaan adalah hal lumrah, namun mengapa sampai keluar fatwa sesat bahkan kafir kepada oknum atau kelompok yang berseberangan? Hal ini tentu berbeda dengan yang terjadi dalam forum bahtsul masa`il, yang cenderung meletakkan perkara yang berpolemik.

Sebelum menjawab pertanyaan ini, akan dibahas terlebih dahulu mengenai teks-teks yang menjadi dasar NU dalam berbagai kiprahnya. Sebagaimana yang tertera dalam AD/ART, ada empat dasar NU: pertama, dalam mukadimah, yang terbagi menjadi empat: (1) al-Qanun al-Asasiy, kitab karangan Syaikh Hasyim Asy’ari, (2) Ahlusunnah wal Jama’ah yang dalam bidang aqidah mengikuti mazhab Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi, (3) dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari Madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), (4) dan dalam bidang tasawuf mengikuti madzhab Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.; kedua, dalam pasal 4 yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas; ketiga, dalam pasal 6 yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945; dan keempat, dalam penutup yaitu Khittah. Dengan berpijak pada pedoman-pedoman itulah, berbagai persoalan diselesaikan, yang salah satunya melalui bahtsul masa`il. Akan tetapi, sebagaimana yang diutarakan sebelumnya, bahwa bahtsul masa`il pun terkadang tidak mampu memecahkan suatu persoalan yang sifatnya khilafiyah. 

Kemunculan perbedaan-perbedaan yang belum menemui kata sepakat ini memang tidak mengherankan. Dengan adanya berbagai macam mazhab –tentunya beserta metode istinbat al-hukm dan ashab mereka– sebagai pilihan dalam beragama dan bermasyarakat, membuat NU memiliki keuntungan dalam memilih, namun di sisi lain berpotensi meretakkan solidaritas nahdliyyin yang plural.

Setelah dipaparkan teks-teks yang menjadi pedoman NU, langkah selanjutnya adalah menganalisis penyebab munculnya perbedaan pendapat, yang tidak hanya sekedar berbeda, namun sampai klaim kebenaran muncul darinya. Seperti Islam yang memunculkan frasa “Islam Kaffah” atau “Islam Murni”, begitu juga dalam NU: “NU Garis Lurus”, “Aswaja an-Nahdliyyah”, dan “NU Protestan”. Karena kasus konfrontasi internal NU sangatlah banyak, maka penulis menganalisis penyebab munculnya pertentangan dengan melalui teks pedoman. Dengan kata lain, dari berpijak pada teks, nantinya akan ditemukan motif yang memicu munculnya pendapat. Karena jika menganalisis kasus yang sifatnya kasuistik dan partikular, akan membutuhkan ruang dan waktu yang lebih banyak.

Ketika mengkaji suatu teks, setiap penafsir, dengan latar belakang keilmuannya masing-masing, tidak mustahil akan memunculkan tafsiran yang berbeda. Dalam khazanah Islam, kita temukan al-Jahiz dengan kitabnya yang berjudul al-Bayan wa at-Tabyin. Dalam kitab tersebut, al-Jahiz mengkaji al-Qur`an dari gaya bahasanya. Berbeda dengan al-Jahiz, Muhammad Syahrur mengkaji al-Qur`an dengan ilmu teknik sipil dan matematika. Dari kedua ilmunya tersebut, Syahrur mencetuskan teori Hudud, yang kemudian dibukukan dengan judul Al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu’asirah. 

Perbedaan hasil interpretasi dapat ditemukan juga dalam NU. Salah satu perbedaan pendapat yang pernah hangat pada 2000-an adalah hukum bank. Di saat banyak ulama NU yang mengharamkan bank karena terdapat indikasi riba dalam bunga bank, KH. Sahal Mahfudh malah membuat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Huda di desanya, Kajen. Menurut beliau, “…teks Al-Qur’an maupun hadits sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai masalahnya”[8]. Konfrontasi lain terkait interpretasi teks terjadi ketika KH. Husein Muhammad membuat wacana kesetaraan gender. Tak ayal, setelah mengkritik kitab ‘Uqud al-Lujjain bersama Forum Kajian Kitab Kuning, yang kemudian dibukukan menjadi Kembang Setaman Perkawinan, KH. Husein menerima banyak hujatan dari tokoh dan ulama.

Selain latar belakang keilmuan, aspek kepentingan juga sangat berpengaruh pada hasil kajian. Di Indonesia, contoh yang paling terkenal adalah pemelintiran Pancasila oleh Pangkostrad Soeharto beserta anak buahnya untuk dijadikan dalih pembunuhan massal. Atas dasar sila pertama dan alasan lainnya, Soeharto kemudian membantai ratusan ribu rakyat yang dicurigai sebagai antek Komunis.

Dalam sejarah NU, dapat kita temukan penggunaan khittah sebagai legitimasi politik. Pada 1982-1984, terjadi pergolakan dalam tubuh NU, yaitu mengenai pertentangan kelompok yang pro kepada KH. Idham Chalid, yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua PBNU, dengan kelompok progresif yang di dalamnya terdapat Gus Dur. Kelompok progresif menginginkan agar NU memisahkan diri dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), karena posisi NU yang hanya dipakai bumper politisi PPP. Berbeda dengan kelompok progresif, kelompok pro KH. Idham Chalid berargumen, bahwa melalui politik lah, suara NU akan didengar oleh pemerintah. Kendati berjalan cukup alot, bahkan sampai muncul NU Tandingan, pada akhirnya, setelah manifesto ‘Kembali ke Khittah’ dikumandangkan dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, KH. Idham Chalid kemudian resmi turun jabatan.[9]

Peristiwa politisasi khittah ini muncul kembali pada 2004, ketika KH. Hasyim Muzadi dicalonkan menjadi Ketua Tanfidziyah NU dan sekaligus dinobatkan menjadi calon wakil presiden bersama Megawati Soekarno Putri. Pada waktu itu, Gus Dur mengancam akan membuat NU Tandingan jika KH. Hasyim Muzadi terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah. Seperti tahun 1984, Gus Dur juga menggunakan khittah[10] untuk menghentikan langkah politik KH. Hasyim Muzadi untuk pemilihan Ketua Tanfidziyah[11].

Walaupun terkesan oportunistik, namun alasan kepentingan terkadang juga harus dilakukan. Seperti rekonsiliasi dan permintaan maaf kepada eks-tapol dan korban revolusi 1965. Gus Dur tahu bahwa mengungkit peran serta NU[12] dalam pembersihan antek Komunis adalah perkara yang tabu. Akan tetapi, jika tidak dilakukan, maka selamanya akan ada rasa rikuh atau bahkan benci kepada eks-tapol dan keluarganya.

Hal terakhir yang menjadi motif munculnya perbedaan pendapat dalam NU adalah kondisi sosio-politik. Motif ini dapat dilihat dari pendapat yang dikemukakan oleh KH. Najih Maimoen. Menurut beliau, carut marutnya negeri ini dikarenakan tidak menerapkan daulah Islamiyyah sebagai sistem pemerintahan. Tambahnya, daulah Islamiyyah sistem yang ideal untuk negara yang mayoritas muslim, karena Nabi pun telah mencontohkannya pada masa lampau.[13] Kendati kemudian muncul pro dan kontra, namun pendapat KH. Najih tersebut adalah hasil usaha interpretasinya terhadap teks pedoman NU.

gambar: hidayatullah.com
NU-ku vis a vis NU Anda
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa perbedaan pendapat yang bahkan sampai timbul konfrontasi adalah hal yang biasa dalam NU. Hal ini membuktikan tidak terdapat interpretasi tunggal terhadap teks-teks yang menjadi pedoman NU. Karena tidak ada interpretasi tunggal –dus tak terdapat pula klasifikasi teks pedoman dan klasifikasi ikhtilaf: prinsipil dan non prinsipil–, sudah seharusnya tidak terdapat pula klaim-klaim seperti “NU Garis Lurus” atau “Aswaja an-Nahdliyyah”. Berpijak pada klaim-klaim inilah, penulis memunculkan frasa adopsi dari frasa Gus Dur: NU-ku, NU Anda, NU Kita.[14]

NU-ku adalah istilah yang disematkan kepada oknum atau kelompok yang menginterpretasi NU dengan segala atributnya: asas, ideologi, pedoman. Sedangkan NU Anda adalah istilah yang disematkan kepada oknum atau kelompok yang interpretasinya terhadap NU berseberangan dengan ‘NU-ku’. Adapun NU Kita adalah sederet rancangan masa depan NU. ‘NU’ yang dimaksud di sini bukanlah ‘NU’ yang bersifat parsial dan sektarian sebagaimana ‘NU-ku’ dan ‘NU Anda’. ‘NU Kita’ muncul karena perhatian dan rasa prihatin atas masa depan NU. Karena demikian, ‘NU Kita’ adalah formulasi antara ‘NU-ku’ dan ‘NU Anda’ dengan mengesampingkan atau dengan melakukan negosiasi atas perbedaan yang muncul dari dua ‘sekte’ tadi.

Dari keragaman interpretasi ini, penulis menyangkal pendapat Asrorun Ni’am[15] yang mengatakan bahwa di dalam NU tidak dimungkinkan adanya konfrontasi ekstrem, karena ideologinya tertutup. Tambahnya, adanya al-Qanun al-Asasiy dan Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai pedoman NU, adalah landasan final dan tidak dapat diganggu gugat, bahkan untuk “sekedar” direinterpretasi. Menurutnya, kedua pedoman tersebut berbeda dengan Pancasila sebagai ideologi terbuka bagi bangsa Indonesia. Karena Pancasila adalah intisari kebudayaan dan identitas bangsa. Sedangkan NU bukan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku dan budaya, namun suatu jam’iyyah yang diusung untuk satu visi, dengan satu corak yaitu moderatisme.

Pendapat Asrorun Ni’am ini secara nyata menafikan adanya keragaman pemikiran dalam NU. Pandangan seperti ini berbahaya, karena akan memunculkan klaim-klaim “sektarian” seperti yang tertulis sebelumnya. Selain itu, jika Ni’am berpendapat bahwa NU berideologi tertutup, maka argumen ini menyalahi sejarah kelahiran NU, yang selain dilatari oleh gerakan Wahabisme di Arab Saudi, namun juga sebagai wadah ulama yang berpegang teguh pada faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang di dalamnya terdapat berbagai macam mazhab.

Sanggahan penulis selanjutnya adalah tertutupnya pintu interpretasi naskah pedoman NU, dalam hal ini al-Qanun al-Asasiy dan Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. Sangat aneh jika seseorang melarang menginterpretasi teks dengan tujuan kontekstualisasi –bagaimana pun artinya menurut masing-masing interpreter–. Maka, berbeda dengan Asrorun Ni’am yang mengatakan bahwa kedua pedoman tadi adalah korpus tertutup, maka penulis berkeyakinan bahwa dua teks tadi adalah teks terbuka yang dapat ditafsiri dari segala dimensi. Ini dibuktikan dengan beragamnya pemikiran mengenai ideologi yang ingin dimasukkan di dalamnya: fundamentalisme, sekularisme bahkan liberalisme.

Klasifikasi “sekte” NU ini juga menyanggah pendapat Ali Masykur Musa (selanjutnya ditulis AMM). Dalam bukunya yang berjudul Membumikan Islam Nusantara, AMM membuat generalisasi karakteristik organisasi sosial seperti NU, Muhammadiyah dan lainnya, dalam sifat toleran[16]. Padahal, dalam kenyataannya, organisasi-organisasi tersebut tak pernah bisa lepas dari konservatisme. Sebaliknya pula, organisasi yang mempunyai stigma konservatif, dalam perjalanannya pula tak dapat menghindar dari toleranisme, bahkan bisa jadi liberalisme. Ini bisa dibuktikan dari penelitian Syafiq Hasyim, yang membuktikan adanya konservatisme dalam tubuh NU[17]. Penelitian ini dikuatkan pula dengan adanya takfir –dengan bahasa yang tersirat– dari pengurus kepada sejumlah tokoh NU[18]. Sedangkan organisasi yang mendapat stigma konservatif, namun terdapat “sempalan” yang toleran adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), yang pada akhir tahun 2012, mendeklarasikan “sempalannya” yang bernama KAMMI Kultural[19].

Mencermati perjalanan NU yang tidak lepas dari “sektarianisme”, tidak mustahil jika kemudian ditemui konfrontasi antara satu tokoh dengan tokoh lainnya, sebagai imbas dari hasil ijtihad mereka atas pedoman NU. Misalnya label menyimpang dan sesat yang dialamatkan kepada Gus Dur dan Sinta Nuriyah oleh Ust. Idrus Ramli, sebagai tanggapan atas gerakan-gerakan mereka yang kontroversial: kebolehan nikah beda agama, pengharaman poligami dan gerakan lainnya[20].


Selain mengkritik generalisasi karakteristik NU, klasifikasi “sektarian” ini juga mengkritik representasi NU kepada individu, sekalipun posisinya sebagai Rais Akbar, alih-alih ketua umum PBNU. Salah satu tokoh NU yang sering dijadikan representasi NU adalah Gus Dur. Dalam tulisannya yang berjudul “Bergesernya Moderatisme NU”[21], A. Rubaidi, selain menyayangkan perubahan haluan NU menjadi ekstrem kanan dan kiri, dia –dan banyak orang, tulisnya– juga dengan tersurat menjadikan Gus Dur sebagai “…representasi paling utuh dari model ke-Islam-an NU”.

Dari tulisan A. Rubaidi tersebut, nampak ia terjebak dalam dua kesalahan sekaligus: generalisasi karakteristik NU[22] dan menjadikan Gus Dur sebagai representasi paling utuh NU. Representasi yang demikian amat berbahaya, karena dapat dijadikan legitimasi untuk mendapatkan justifikasi dari nahdliyyin.

Sebenarnya, adanya “sektarianisme” NU ini tidak dimaksudkan untuk memecah belah solidaritas nahdliyyin. Akan tetapi agar menjadi pengingat bagi nahdliyyin bahwa tidak ada interpretasi tunggal maupun penguasa tunggal dalam NU. Karena sebagai jam’iyah yang menjunjung tinggi tasamuh (toleransi), sudah seharusnya mampu meredam klaim-klaim sektarian yang dapat meretakkan ukhuwwah nahdliyyah–meminjam istilah Nur Khalik Ridwan–.

NU Kita: Sebuah Epilog
Kendati sudah ada iktikad untuk tasamuh antar sesama nahdliyyin, hal itu belum menyelesaikan masalah pluralitas pendapat NU yang seringkali berujung pada konfrontasi dan klaim sektarian. Masalah yang tersisa adalah rancangan masa depan NU. Akan dibawa ke mana NU? Warna ideologi seperti apa yang (harus) ada dalam NU? Dan sederet pertanyaan lain yang bersumber dari keprihatinan akan nasib NU. Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul karena NU belum memiliki teks pedoman standar yang di dalamnya berisi garis-garis prinsipil yang tidak boleh dilanggar oleh nahdliyyin. Garis-garis ini berbeda dengan teks-teks yang telah menjadi pedoman NU, yang memungkinkan adanya interpretasi baru.

Setidaknya ada dua buku yang membahas masa depan NU dari sudut pandang yang berbeda. Ada yang lebih menekankan pada Khittah, Demoralisasi Khittah NU dan Pembaruan, ditulis oleh Ahmad Nurhasim dan Nur Khalik Ridwan; ada pula yang lebih memperhatikan neoliberalisme, NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad, yang juga ditulis oleh Nur Khalik Ridwan.

Sayangnya, dua buku tersebut masih belum mampu menjawab pertanyaan yang penulis ajukan. Ahmad Nurhasim dan Nur Khalik Ridwan masih sinis terhadap suara banom NU dan beberapa tokoh yang ingin merestrukturasi Khittah[23]. Menurut penulis, restrukturasi Khittah perlu dilakukan bukan dalam rangka menghapus Khittah sebagai pedoman NU, namun untuk menegaskan lini apa saja yang ingin diperjuangkan oleh NU. Karena jika tidak direstrukturasi, nahdliyyin akan memakainya sebagai legitimasi dan “pelarian”. Bahkan dalam waktu tertentu, khittah bisa menjadi bumerang bagi NU[24].

“Kekurangan” buku yang kedua adalah “hanya” menyoroti agenda neoliberalisme, baik dalam skala mikro maupun makro. Hasil kajian tersebut kemudian dipakai untuk perumusan program kerja NU dalam pemberdayaan nahdliyyin, baik dalam pendidikan, ekonomi maupun dimensi lain. Karena “hanya” terpaku pada massa akar rumput NU, maka pengabaian terhadap pertentangan internal adalah hal yang mungkin terjadi. Buku lain Nur Khalik Ridwan ini menjadi semacam lembaran-lembaran kekecewaan NU dalam perjalanannya di panggung sejarah, baik sebagai organisasi sosial keagamaan maupun sebagai partai politik. Karena kekecewaan yang beruntun itulah, Nur Khalik Ridwan kemudian mendedah setiap permasalahan, dan mencari solusinya.[25] Namun, sekali lagi, Nur Khalik Ridwan belum menyentuh pertentangan internal NU yang sering terjadi. Atas dasar itulah, sebagai anggota NU, penulis mengajukan beberapa tawaran.
Bahwa perselisihan dan pertentangan pendapat dalam NU adalah sebuah keniscayaan, maka sudah seharusnya tidak ada klaim-klaim sektarian yang melabeli. Karena merupakan keniscayaan, maka mengakomodasi perbedaan-perbedaan itu lebih tepat dilakukan, daripada memberangusnya untuk mendapatkan interpretasi tunggal.

Selain itu, diperlukan pula garis-garis haluan NU yang berisi perkara usuliy, atau prinsipil. Adanya garis-garis ini tidak dimaksudkan untuk menghadang munculnya perbedaan, alih-alih meniadakannya, namun lebih dimaksudkan untuk mengikat nahdliyyin dalam satu tali yang jelas, bukan samar sebagaimana sekarang. Contoh kesamaran ini adalah klaim-klaim dari kelompok pendukung Gus Dur dan tokoh lain yang “amat moderat”, maupun dari kelompok yang menghujatnya; juga kelompok yang mengusung daulah islamiyyah maupun kelompok yang menentangnya. Pertentangan kelompok ini, sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, berangkat dari keragaman metode interpretasi teks pedoman NU. Jika saja NU membuat garis-garis prinsipil yang tegas, niscaya klaim tersebut tidak terjadi.

Tawaran terakhir adalah menghilangkan simbol atau oknum yang dijadikan sebagai representasi NU. Bahwa massa mayoritas NU adalah moderat itu tidak dapat dimungkiri. Namun hal ini tidak lantas menafikan massa NU lain yang cenderung konservatif. Lain daripada itu, NU juga harus menegasikan oknum yang menjadi representasinya, kendati dia adalah Rais Akbar ataupun ketua umum PBNU. Tiadanya representasi ini, selain mengamankan NU dari politisasi legitimasi, juga akan bijak ketika menyikapi pendapat tokoh NU yang kontroversial.***
Penulis : Irza A. Syaddad
Santri NU yang sedang belajar di Riyadh-Arab Saudi.
Kepustakaan:
Buku dan Majalah
Barton, Greg, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKiS, 2002.
Bruinessen, Martin van, NU: Tradisi, Relas-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994.
Faudah, Faraj, Al-Haqiqah al-Gaibah, Kairo: Dar al-Fikr, 1988.
Hasyim, Syafiq, “Kebangkitan Sayap Konservatif” dalam Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili (ed.), Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
Ida, Laode, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, Jakarta: Erlangga, 2004.
___________, “Perebutan Kekuasaan Kaum Sarungan”, dalam Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili (ed.), Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
Mahfudh, Sahal, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LKiS, 2004.
Maimoen, Muhammad Najih, Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU, Rembang: Toko Kitab Al-Anwar 1, 2012.
Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012.
Musa, Ali Masykur, Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam terhadap Isu-isu Aktual, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014.
Nurhasim, Ahmad dan Nur Khalik Ridwan, Demoralisasi Khittah NU dan Pembaruan, Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004.
Rachman, Budhy Munawar, Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Grasindo, 2010.
Ridwan, Nur Khalik, NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad, Yogyakarta: LKiS, 2008.
Wahid, Abdurrahman, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
Zahro, Ahmad, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa`il 1926-1999, Yogyakarta: LKiS, 2004.

Internet
Al-Fayyadl, Muhammad, “Memahami Kembali Peran NU pada Detik-detik September-Oktober 1965”, diakses dari http://islambergerak.com/2014/11/memahami-kembali-peran-nu-pada-detik-detik-september-oktober-1965/, pada 8 April 2015.
Anshori, Aan, “Masihkah Meragukan Maaf Gus Dur?”, diakses dari http://santrigusdur.com/2015/ 02/masihkah-meragukan-maaf-gus-dur/ pada 8 April 2015.
“Perjalanan Kami” di http://www.kammikultural.org/p/sejarah.html. Diakses pada 5 Maret 2015.
Ridwan, Nur Khalik, “Masalah Pemurnian Aswaja NU Garis Lurus” diakses dari http://santrigusdur.com/ 2015/04/masalah-pemurnian-aswaja-nu-garis-lurus/, pada 8 April 2015.
Rubaidi, A., “Bergesernya Moderatisme NU”, di http://www.gusdur.net/opini/Detail /?id=237/hl=id/Bergesernya_Moderatisme_NU. Diakses pada 14 Mei 2015.
Syaddad, Irza A., “PKB, NU dan Khittah yang Ambigu”, http://indoprogress.com/2014 /03/pkb-nu-dan-khittah-yang-ambigu/. Diakses pada 14 Mei 2015.

Forum Dialog
Dialog antara Dr. Asrorun Ni’am dengan kader NU yang dilaksanakan di kantor pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 23 Januari 2015.
Idrus Ramli acara “Ngaji Bareng” yang digelar di Institut Ilmu Keislaman Zainul Hasan (INZAH) Genggong, Kraksaan, Probolinggo pada 10 Oktober 2014.

——————
[1] Aan Anshori, “Masihkah Meragukan Maaf Gus Dur?”, diakses dari http://santrigusdur.com/2015/ 02/masihkah-meragukan-maaf-gus-dur/ pada 8 April 2015.
[2] Beruntungnya, PBNU melampirkan Resolusi Mengutuk Gestapu dalam Buku Putih NU-PKI. Dengan demikian, pelacakan motif pembersihan PKI oleh NU dapat dilakukan dengan mudah. Baca Muhammad Al-Fayyadl, “Memahami Kembali Peran NU pada Detik-detik September-Oktober 1965”, diakses dari http://islambergerak.com/2014/11/memahami-kembali-peran-nu-pada-detik-detik-september-oktober-1965/, pada 8 April 2015.
[3] Kendati demikian, KH. Luthfi Bashori membuat disclaimer yang intinya berisi penolakan jika bola ide yang digelindingkan oleh “NU Garis Lurus” menjadi semakin liar, dia tidak bertanggungjawab. Karena situsnya tidak membuka fanspage resmi di Facebook.
[4] Dalam perkembangannya, popularitas KH. Luthfi Bashori dan KH. Najih Maimoen kembali terangkat semenjak fanspage anonim “NU Garis Lurus” mempopulerkan ideologi mereka.
[5] Nur Khalik Ridwan, “Masalah Pemurnian Aswaja NU Garis Lurus” diakses dari http://santrigusdur.com/ 2015/04/masalah-pemurnian-aswaja-nu-garis-lurus/, pada 8 April 2015.
[6] Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relas-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 124.
[7] Melalui Surat Keputusan (SK) nomor 30/A.I.05/5/1990, LBMD dikukuhkan sebagai lembaga permanen yang khusus menangani persoalan keagamaan. Baca Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa`il 1926-1999, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 3. Dalam perkembangannya, LBMD tidak hanya terfokus di pengurus pusat, namun menjadi tradisi yang sering dihelat oleh lembaga yang berafiliasi dengan NU.
[8] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. xxv.
[9] Laode Ida, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 111.
[10] Tapi anehnya, pada 1999, Gus Dur malah diusung sebagai calon presiden dari PKB, yang notabene lahir dari PBNU. Lalu, di mana khittah yang pernah Gus Dur gemborkan pada 1984?
[11] Laode Ida, “Perebutan Kekuasaan Kaum Sarungan”, dalam Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili (ed.), Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 50.
[12] Untuk mengetahui peran serta NU dalam penumpasan Komunis, salah satunya bisa melalui Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012.
[13] Meski demikian, secara pribadi, penulis berseberangan pendapat dengan KH. Najih Maimoen. Karena, sepanjang pembacaan penulis, tidak ada satupun riwayat yang menjelaskan kemunculan daulah Islamiyyah pasca meninggalnya Nabi. Malah, yang ada adalah riwayat mengenai kemunculan (kembali) tribalisme dalam sistem pemerintahan Islam. Misalnya dalam Musnad Ahmad, hadis 18. Selain dari Musnad Ahmad, dalam buku babon hadis lain juga ditemukan redaksi yang kurang lebih mengatakan: Quraisy adalah pemimpin (tidak dijelaskan secara spesifik, pemimipin dari sebuah kelompok yang diikat oleh agama atau negara). Di antaranya adalah hadis riwayat Tirmidzi nomor 2153. Selain itu, ditemukan pula hadis yang menunjukkan superioritas Quraisy daripada suku yang lain: Lakinn al-umara` wa antum al-wuzara` (Namun, kami –Quraisy– adalah para pemimpin, sedangkan kalian adalah para pembantu). Baca Sahih al-Bukhari, hadis 3394. Berdasarkan sangkalan Abu Bakar ini, terlihat masih adanya sisa-sisa tribalisme dalam dirinya. Padahal Allah, melalui Nabinya, jelas-jelas lebih memilih orang yang lebih bertakwa sebagai orang yang terbaik. Dus, kalaupun pemerintahan tidak cocok untuk orang yang saleh dalam agama, setidaknya diserahkan kepada orang yang cakap dalam berpolitik. Akan tetapi, sejarah berkata lain. Nubuat yang meluncur dari mulut Abu Bakar ini ternyata mampu berlangsung selama ratusan tahun, yaitu hingga imperium Abbasiyah jatuh di tangan orang-orang Usmani pada tahun 918 H. Dengan demikian, sistem pemerintahan yang dilakukan oleh kaum muslimin pada masa lalu, bukanlah al-khilafah al-‘Arabiyyah, melainkan ­al-khilafah al-Quraisyiyyah.
Sejarah yang sayup ini tentu akan menghancurkan bangunan euforia syura kelompok Islam. Karena ternyata, sahabat yang digadang-gadang mampu melaksanakan roda pemerintahan secara syura, malah terjebak dalam primordialisme suku mereka. Kalau diperpanjang, kita akan mendapati bahwa sistem pemerintahan yang digagas dalam bentuk kekhalifahan –baik ar-Rasyidun, maupun Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah–mencapai kegemilangan hanya pada masa Umar bin Khattab saja. Karena dalam dirinyalah sosok agamawan dan negarawan sekaligus (rajl ad-din wa ad-daulah ma’an). Sedangkan sebagian (besar) khalifah lainnya lebih cenderung pada kenikmatan dunia: mabuk, berfoya-foya, memperbanyak gundik; daripada menjalankan roda pemerintahan dengan baik, alih-alih bersikap asketis. Selengkapnya baca Faraj Faudah, Al-Haqiqah al-Gaibah, (Kairo: Dar al-Fikr, 1988).
[14] Baca Abdurrahman Wahid, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 66.
[15] Dialog antara Dr. Asrorun Ni’am dengan kader NU yang dilaksanakan di kantor pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 23 Januari 2015.
[16] Baca Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam terhadap Isu-isu Aktual, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014), hlm. 53-54, 272-273. Sejalan dengan AMM, beberapa intelektual lainnya pun melakukan generalisasi karakteristik NU. Dalam Biografi Gus Dur, Greg Barton membuktikan moderatisme NU dari penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi. Baca Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 228. Selain Greg Barton, Budhy Munawar Rachman juga menyatakan hal yang senada. Dalam bukunya yang berjudul Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, dia mengatakan bahwa gagasan moderasi atau Islam Moderat adalah paham dasar NU dan Muhammadiyah. Pernyataannya ini dibuktikan dengan adanya intelektual muda NU yang progresif, di antaranya Ahmad Suaedy, Rumadi dan Abdul Moqsith Ghazali. Baca Budhy Munawar Rachman, Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 14 dan 96.
[17] Syafiq Hasyim, “Kebangkitan Sayap Konservatif” dalam Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili (ed.), Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, hlm. 181-182
[18] Muhammad Najih Maimoen, Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU, (Rembang: Toko Kitab Al-Anwar 1, 2012).
[19] Baca “Perjalanan Kami” di http://www.kammikultural.org/p/sejarah.html. Diakses pada 5 Maret 2015.
[20] Pernyataan Ust. Idrus Ramli dalam acara “Ngaji Bareng” yang digelar di Institut Ilmu Keislaman Zainul Hasan (INZAH) Genggong, Kraksaan, Probolinggo pada 10 Oktober 2014.
[21] A. Rubaidi, “Bergesernya Moderatisme NU”, di http://www.gusdur.net/opini/Detail /?id=237/hl=id/Bergesernya_Moderatisme_NU. Diakses pada 14 Mei 2015.
[22] Walaupun dalam paragraf berikutnya Rubaidi mengakui adanya kelompok fundamentalisme dalam NU. Kendati demikian, tambahnya, faksi tersebut hanya menjadi pernak-pernik dan tidak pernah menjadi mainstream.
[23] Ahmad Nurhasim dan Nur Khalik Ridwan, Demoralisasi Khittah NU dan Pembaruan, (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004), hlm. 3.
[24] Baca selengkapnya di Irza A. Syaddad, “PKB, NU dan Khittah yang Ambigu”, http://indoprogress.com/2014/03/pkb-nu-dan-khittah-yang-ambigu/. Diakses pada 14 Mei 2015.
[25] Nur Khalik Ridwan, NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 3-6.

sumber indoprogress.com

Bahasa Arab dan Islam Nusantara

$
0
0
Muslimedianews.com~ Islam bukan Arab, tetapi Islam tidak bisa dilepas dari bahasa Arab. Bagi sebagian kita yang dalam kondisi On Fire mengkaji Islam Nusantara, hendaknya ini dipikirkan secara serius, mengingat saat ini sebagian dari kita antipati terhadap bahasa Arab. Sikap A-priori terhadap yang berbau Arab sebenarnya imbas daripada sikap kaum Wahabi dan sejenis yang kurang memahami teknik berdakwah secara santun. Dakwah yang mereka usung cenderung keras dan melabrak rambu2 budaya masyarakat lokal dengan cacian. Semua yang tidak sesuai dengan budaya Arab dianggap Kafir, Ahli Bid’ah, Musyrik dan lain sebagainya.

Tidak hanya itu, kata Salafy yang dulu dipakai sebagai jargon pondok-pondok tradisional di Indonesia, saat ini maknanya menjadi bias. Banyak yang beranggapan, kata salafy cenderung berafiliasi pada Wahabi, padahal nyatanya tidak, sekali lagi tidak. Miris memang, lalu harus bagaimana? Satu2nya jalan adalah dengan menambah wawasan lewat mediasi belajar. Belajar kepada guru yang jelas, jangan belajar pada google atau kepada ustadz-ustadz instan yang bermodal sorban dan kemampuan beretorika.

Mengenai bahasa Arab, kita tidak bisa melepaskan Islam dari Bahasa Arab. Karena sendi-sendi agama Islam bermuara pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang kedua2nya berbahasa Arab. Al-Qur’an berbahasa Arab merupakan ketentuan Allah dan itu hak Parerogatif-Nya yang tidak bisa diganggu gugat. Saya pun mengakui, pemakaian bahasa Arab di sana memang erat kaitannya dengan aspek budaya Bangsa Arab, karena memang Islam secara normatif lahir dan berkembang di Arab. Dalam kajian Antropologi Budaya, antara bahasa dan budaya merupakan pertautan yang tidak bisa dipisahkan.

Namun, setelah Islam menjadi agama besar dan menyebar ke seluruh penjuru dunia, maka budaya Arab pun sedikit demi sedikit luntur. Hal ini disebabkan karena umat Islam di berbagai wilayah mempunyai tradisi sendiri-sendiri, sehingga mau tidak mau harus ada sebuah paradigma baru agar Islam benar-benar bisa diterima sebagai agama yang mengusung Rahmatan lil Alamiin. Untuk itu, di sini peran Ijtihad diperlukan. Alhasil, lewat Ijtihad ini al-Qur’an dan al-Sunnah dirasa oleh umat Islam sebagai pijakan yang menembus ruang dan waktu.

Islam Nusantara, bukan berarti kita merubah bahasa Arab di dalam shalat ke bahasa Lokal. Bukan pula membaca al-Qur’an yang berbahasa Arab ke versi bahasa Indonesia. Islam Nusantara sejauh yang saya pahami adalah Islam yang menyelaraskan antara kebudayaan lokal dengan ajaran Islam sehingga tidak terkesan kontradiktif. Islam tidak anti budaya lokal, karena Islam bukan hanya agama bagi bangsa Arab. Prinsip Islam Nusantara adalah Almuhafadzah alaa al-Qadiim al-Shaleh wal al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah (Mempertahankan tradisi lama yang baik, dan mengadobsi tradisi baru yang lebih baik). Semoga bermanfaat!

Oleh : Mohammad Khoiron
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama DKI Jakarta

via Kompasiana

Keindahan Shalawat Tarhim dan Peristiwa Isra' Mira'

$
0
0
Muslimedianews.com ~ "Semua Penghuni Langit Sholat Dibelakangmu dan Engkau Menjadi Imam", kalimat ini merupakan petikan dari bait syair (puisi) karya Syaikh Mahmud al Khusairi yang berisi puji-pujian dan shalawat untuk Rosulullah Muhammad SAW.

Bait syair puji-pujian tersebut dikenal dengan shalawat Tarhim, dan masyhur dilantunkan dimasjid-masjid menjelang shalat maktubah (shalat 5 waktu), khususnya shalat Shubuh.

Bait Shalawat Tarhim ini juga mengisahkan tentang perjalanan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW, bahwa Nabi Muhammad SAW telah diperjalankan oleh Allah SWT dan bahwa semua menghuni langit telah shalat di belakang Nabi Muhammad SAW.

Setiap orang pasti memiliki kenangan dengan shalawat ini yang melekat didalam hati diwaktu kecilnya, terutama mereka yang ada di kampung-kampung. Dipagi buta menjelang subuh, iramanya begitu mendayu-dayu menyayat hati, demikian juga menjelang maghrib. Berikut teksnya dengan terjamah oleh KH Munawir Abdul Fattah (Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta) :

الصلاة والسلام عليك
يا امام المجاهدين يا رسول الله
 Ash-shalâtu was-salâmu 'alâyk
Yâ imâmal mujâhidîn yâ Rasûlallâh
"Sholawat dan salam kepadamu
duhai pemimpin para pejuang (mujahidin), duhai Rasulullah..."


الصلاة والسلام عليك
يا نا صرالهدى يا خير خلق الله
Ash-shalâtu was-salâmu 'alâyk
Yâ nâshiral hudâ yâ khayra khalqillâh
"Sholawat dan salam kepadamu
duhai penuntun petunjuk Ilahi, duhai makhlauk Allah yang terbaik"


الصلاة والسلام عليك
يا ناصر الحق يا رسول الله
Ash-shalâtu was-salâmu 'alâyk
Yâ nâshiral haqqi yâ Rasûlallâh
"Sholawat dan salam kepadamu
duhai penolang kebenaran, duhai utusan Allah (duhai Rasulullah)..."


الصلاة والسلام عليك
يامن اسرى بك المهيمن ليلا نلت ما نلت والانام نيام
Ash-shalâtu was-salâmu 'alâyk
Yâ Man asrâ bikal muhayminu laylan nilta mâ nilta wal-anâmu niyâmu
"Sholawat dan salam kepadamu
duhai yang memperjalankanmu dimalam hari, Dialah Yang Maha Melindungi, engkau memperoleh apa yang kau peroleh sementara manusia tidur,


وتقدمت للصلاة فصلى كل من في السماء وانت الامام
والي المنتهى رفعت كريما
وسمعت النداء عليك السلام
Wa taqaddamta lish-shalâti fashallâ kulu man fis-samâi wa antal imâmu
Wa ilal muntahâ rufi'ta karîman
Wa ilal muntahâ rufi'ta karîman wa sai'tan nidâ 'alaykas salâm
"Semua penghuni langit sholat dibelakangmu dan engkau menjadi Imam,
engkau diberangkatkan ke sidratul Muntahaa karena kemulyaanmu,
dan engkau mendengar ucapan salam atasmu"


يا كريم الاخلاق يا رسول الله
صلي الله عليك وعلي اليك واصحابك اجمعين
Yâ karîmal akhlâq yâ Rasûlallâh
Shallallâhu 'alayka wa 'alâ âlika wa ashhâbika ajma'în
"Duhai .. yang paling mulya akhlaknya, duhai Rasulullah...
Sholawat Allah semoga tercurah atasmu, atas keluargamu dan atas sahabatmu seluruhnya"

sumber madinatuliman.com

Status Hukum Wanita Yang Hilang Keperawannya

$
0
0
Muslimedianews.com ~ Assalamu’alaikum wr. wb. Redaksi bahtsul masail yang saya hormati.  Saya ingin menanyakan tentang status seorang perempuan yang belum pernah menikah, tetapi sudah tidak perawan lagi karena waktu pacaran dengan seseorang melakukan hubungan badan sehingga menyebabkan hilangnya keperawanannya. Begitu juga bagaimana kalau seorang perempuan yang hilang keperawananya bukan karena melakukan hubungan badan, seperti akibat mastrubasi dengan tangannya sendiri? Dikatakan perawan tetapi sudah tidak perawan lagi, dikatakan janda tetapi belum pernah menikah. Lantas, bagaimana status hukumnya? Atas pejelasannya saya ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb. (Ahmad/Banten)   

 
JAWABAN :
Wassalamu’alaikum wr. wb

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Keperawanan adalah sesuatu yang paling berharga bagi seorang perempuan. Karenanya, menjaga keperawanan adalah keniscayaan, dan tak bisa ditawar lagi. Bahkan dalam salah satu sabdanya Rasulullah saw menganjurkan untuk menikah dengan perempuan yang masih perawan.

عَلَيْكُمْ بِالأَبْكَارِ فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيرِ
“Hendaklah kalian menikah dengan gadis karena mereka lebih segar baunya, lebih banyak anaknya (subur), dan lebih rela dengan yang sedikit” (H.R. Baihaqi).   

Lantas siapakah perempuan yang dikategorikan sebagai perawan? Perempuan perawan adalah perempuan yang keperawanannya atau selaput daranya masih utuh. Hal ini sebagaimana disinggung oleh Imam al-Haramain al-Juwaini dalam kitab Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Menurutnya, keperawanan itu menggambarkan atau mengandaikan tentang selaput dara atau hymen. Lantas apakah yang menyebabkan keperawanan itu bisa hilang?

Setidaknya ada dua kategori hal-hal yang bisa menyebabkan keperawanan itu hilang. Kategori pertama hilangnya keperawanan karena hubungan badan. Hubungan badan dalam konteks ini meliputi hubungan badan yang halal, yang haram, atau yang syubhat (wathi syubhah). Dalam hal ini perempuan yang melakukan hubungan badan, baik hubungan badan yang halal atau yang tidak halal maka statusnya adalah bukan perawan (tsayyib).  

وَالْبِكَارَةُ عِبَارَةٌ عَنِ جِلْدَةِ الْعُذْرَةِ فَإِنْ زَالَتْ بِجِمَاعِ حَلَالٍ أَوْ حَرَامٍ أَوْ وَطْءِ شُبْهَةٍ صَارَتْ ثَيِّبًا
“Keperawanan adalah menggambarkan tentang selaput dara (hymen). Jika keperawanan seorang perempuan hilang sebab hubungan badan yang halal atau haram atau wathi` syubhat maka ia menjadi tidak perawan” (Imam al-Haramain al-Juwaini, Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab, tahqiq, Abdul Azhim Mahmud ad-Dib, Bairut-Dar al-Minhaj, cet ke-1, 1428 H/2007 M, juz, 12, h. 43)  
      
Ketegori kedua, hilangnya keperawanan di luar hubungan badan. Misalnya seorang perempuan bisa hilang keperawanannya karena melakukan lompatan, memasukan jari-jemarinya ke dalam kemaluannya, atau bisa juga karena terlalu lama melajang. Lantas, apakah perempuan yang hilang keperwanannya bukan karena disebabkan melakukan hubungan badan masih bisa dikategorikan sebagai perawan?

Dalam kasus ini Imam al-Haraiman al-Juwaini menghadirkan dua pendapat. Pendapat pertama, ia masuk dalam kategori tidak perawan karena hilangnya keperawananya. Sedang pendapat kedua mengatakan bahwa ia masih masuk kategori sebagai perawan karena faktanya ia tidak pengalaman berhubungan dengan laki-laki.  

 وَلَوْ زَالَتْ بِقَفْزَةٍ أَوْ وَثْبَةٍ أوْ بِأَصْبَعٍ أَوْ بِطُولِ التَّعْنِيسِ وَالتَّعَزُّبِ فَفِيهَا وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّهَا ثَيِّبٌ لِزَوَالِ الْبِكَارَةِ وَالثَّانِي أَنَّهَا بِكْرٌ لِأَنَّ الْبِكَارَةَ عِبَارَةٌ عَنْ عَدَمِ الْمُمَارَسَةِ وَاخْتِبَارِ الرِّجَالِ وَذَلِكَ لْمْ يَحْصُلْ
“Dan seandainya keperawanan itu hilang karena melompat-lompat, terkena jari-jemari, lama tidak mau menikah (perawan tua) atau melajang maka dalam kasus ini ada dua pendapat. Pertama, ia dikategorikan sebagai janda karena hilangnya keperawanan. Kedua, ia tetapi dianggap sebagai perawan karena keperawanan itu mengandaikan ketiadaan pengalamannya dalam berhubungan dengan laki-laki, sedangkan hal ini (pengalaman berhubungan dengan laki-laki) tidak ada. (Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab, juz, 12, h. 43)

Perbedaan antara perempuan yang masih perawan dan perempuan yang sudah tidak perawan ini tentunya berimplikasi status yang melekat pada keduanya. Misalnya, dalam hal menikah perempuan yang sudah tidak perawan lebih berhak atas dirinya di banding walinya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda;

الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا
“Perempuan yang sudah tidak perawan lebih berhak dengan dirinya dibanding walinya, dan perempuan yang masih perawan dimintai ijinnya, sedang ijinnya adalah diamnya” (H.R. Muslim)

Muhyiddin Syarf an-Nawawi menjelaskan bahwa kata “ahaqqu” (lebih berhak) dalam hadits tersebut mengandaikan adanya persekutuan dalam hak. Artinya, baik pihak perempuan atau walinya sama-sama memilik hak. Perempuan memiliki hak atas dirinya dalam menentukan pasangan hidupnya, sedang wali memiliki hak untuk menikahkannya. Namun hak si perempuan tersebut lebih diutamakan atau diunggulkan daripada walinya.

Akibatnya apabila terjadi perselisihan dalam memilih pasangan hidup, maka pilihan si perempuan didahulukan. Misalnya, pihak wali menginginkan untuk menikahkan anaknya yang sudah tidak perawan lagi dengan laki-laki sekufu, tetapi si perempuan tidak mau, maka dalam hal ini ia tidak boleh dipaksa. Atau sebaliknya, si perempuan sudah memilih pasangan hidupnya yang sekufu tetapi walinya tidak mau menikahkannya, maka dalam hal ini wali boleh dipaksa untuk menikahkannya, dan apabila tidak mau maka hakim yang menikahkannya. 

وَاعْلَمْ أَنَّ لَفْظَةَ أَحَقُّ هُنَا لِلْمُشَارَكَةِ مَعْنَاهُ أَنَّ لَهَا فِي نَفْسِهَا فِي النِّكَاحِ حَقًّا وَلِوَلِيِّهَا حَقًّا وَحَقُّهَا أَوْكَدُ مِنْ حَقِّهِ فَإِنَّهُ لَوْ أَرَادَ تَزْوِيجَهَا كُفْؤًا وَامْتَنَعَتْ لَمْ تُجْبَرْ وَلَوْ أَرَادَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَ كُفْؤًا فَامْتَنَعَ الْوَلِيُّ أُجْبِرَ فَإِنْ أَصَرَّ زَوَّجَهَا الْقَاضِي فَدَلَّ عَلَى تَأْكِيدِ حَقِّهَا وَرُجْحَانِهِ
“Ketahuilah bahwa kata ahaqqu (lebih berhak) yang terdapat dalam hadits ini adalah untuk menunjukkan adanya persekutuan, artinya bahwa perempuan yang sudah tidak perawan memiliki hak atas dirinya dalam menikah, begitu juga walinya memiliki hak (untuk menikahkannya). Akan tetapi hak perempuan tersebut lebih kuat daripada haknya walinya. Karenanya, jika ingin wali menikahkannya dengan lelaki yang sekufu tetapi ia menolak maka ia tidak boleh dipaksa. Sedang apabila ia ingin menikah dengan lelaki (pilihannya) yang sekufu, tetapi walinya tidak mau menikahkannya maka walinya boleh dipaksa. Oleh sebab itu jika walinya tetap keukeh tidak mau menikahkannya maka hakim yang menikahkan. Hal ini menujukkan kuat dan unggulnya hak perempuan yang sudah tidak perawan” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Daru Ihya`i Turats al-‘Arabi, cet ke-2, 1392 H, juz, 9, h. 204)   

Demikian penjelasan yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa diapahami dengan baik. Sarran kami, sudah seharusnya para remaja puteri untuk selalu berhati-hati dalam pergaulan dan menjaga kehormatannya. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu’alaikum wr. wb

Oleh : Ustadz Mahbub Ma’afi Ramdlan
via nu.or.id

Masyaallah ! Mayat Membaca Al-Qur'an Didalam Kuburan

$
0
0
Muslimedianews.com ~ Pada zaman Nabi saw ada mayat dari golongan waliyullah membaca Al-Qur’an di dalam kuburannya sendiri. Hal itu diterangkan di dalam kitab “Syarhu ash-Shudur bi Syarhi Hali al-Mawta wal Qubur”, karya Al-Muhaddits al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi, halaman 170-171, cetakan “Darul Fikr”, Beirut – Libanon  dengan keterangan sebagai berikut:
Artinya:

“Imam Tirmidzi telah mentakhrij hadits dan menghasankannya. Begitupula halnya dengan Imam Hakim dan Imam Baihaqi. Hadits tersebut dari Ibnu Abbas RA, beliau berkata: Sebagian sahabat Nabi saw pernah mendirikan sebuah kemah di atas kuburan. Mereka tidak menyangka bahwa tanah itu adalah kuburan. Tiba-tiba di dalam kuburan itu terdengar ada orang sedang membaca surat “Al-Mulk” hingga selesai. Kemudian, sahabat mendatangi Nabi saw dan memberitahukannya kepada beliau. Lalu beliau bersabda: Surat Al-Mulk itu adalah Munjiyah (penyelamat) dan Mani’ah (penghalang), yang dapat menyelamatkannya dari siksa kubur”.


Di dalam kitab “Ar-Ruh” Abul Qasim as-Sa'di berkata: Ini merupakan pembenaran dari Nabi saw bahwa seorang mayit juga membaca Al-Qur’an di dalam kuburnya. Sementara itu Abdullah juga pernah memberitahukannya tentang hal itu dan Rasulullah saw pun membenarkannya.

Imam Kamaluddin bin az-Zamlakani berkata di dalam kitab “Al-‘Amal al-Maqbul fi Ziyarah ar-Rasul”: Hadits ini secra jelas menunjukkan bahwa seorang mayat membaca surat Al-Mulk di dalam kuburnya. Di dalam riwayat ini disebutkan tentang pemuliaan Allah kepada sebagian wali-walinya dengan membaca surat “Al-Mulk” dan menjalankan shalat di dalam kuburnya. Karena, ketika hidupnya dulu mereka pernah berdo’a memohon kepada Allah akan hal itu. Jika Allah swt telah memuliakan para wali-Nya dengan menetapkan mereka berbuat ta’at dan beribadah di alam kubur, maka sudah barangtentu para Nabi lebih berhak untuk mendapatkan ketetapan itu.

Berkata Al-Hafizh Zainuddin Ibnu Rajab di dalam kitab “Ahwal al-Qubur”: Allah telah memuliakan sebagian penghuni alam barzakh dengan berbuat amal shaleh di dalamnya, meskipun mereka dengan hal itu tidak mendapatkan pahala, karena amalnya telah terputus oleh kematian. Namun, amalnya itu masih tetap berlaku baginya. Dengan itu, dia dapat bersenang-senang dalam berdzikir kepada Allah dan berbuat ketaatan kepada-Nya, sebagaimana yang dirasakan oleh para malaikat dan penghuni surge di surga; meskipun dengan hal itu mereka tidak mendapatkan pahala. Karena, dzikir dan ketaatan itu sendiri merupakan ketaatan yang lebih besar daripada seluruh kenikmatan dan keledzatan penghuni dunia. Betapa nikmatnya orang-orang yang telah memperoleh nikmat bisa melakukan seperti itu denga berdzikr dan taat kepada-Nya.


Abul Hasan bin al-Barra’ meriwayatkan di dalam kitab “Ar-Rawdhah”, dari Abdullah bin Muhammad bin Manshur, telah menceritakan kepada saya Ibrahim al-Haffar, dia berkata: Saya menggali kuburan . kemudian nampak batu-bata. Lalu, saya mencium bau minyak misik ketika batu-bata itu terbuka. Saat itu juga seorang Syeikh sedang duduk di dalam kuburannya sedang membaca Al-Qur’an.

Ibnu Rajab berkata: Telah menceritakan kepada saya Al-Muhaaits (Pakar Hadits) Abul Hajjaj Yusuf bin Muhammad as-Surramarri, telah menceritakan guru kami Abul Hasan Ali bin al-Husain as-Samiri, seorang khatib di Samira’, seorang muslim yang shaleh memperlihatkan suatu tempat dari beberapa kuburan yang tidak pernah sepi. Lalu dia berkata: Dari tempat ini kita masih akan terus mendengar bacaan surat Al-Mulk.

Oleh : KH. Thobary Syadzily,
via thobary.com

Sebuah Perdebatan Ahlussunnah versus Mu'tazilah

$
0
0
Muslimedianes.com ~ Wajibkah Bagi Allah Mengutus Rasul?
 

Sebuah Perdebatan Antara Ahlussunnah Dengan Mu'tazilah

Dalam hal ini, Pimpinan Ribath & Fakultas Imam Syafi'i, Hadramaut - Yaman yaitu Syeikh Muhammad Bin Ali Ba'athiyah menyebutkan dalam Kitabnya Mujazul Kalam Penjelasan Nadzam Aqidatul Awam halaman 88-89 ketika mengomentari bait berikut ini :

أرسل أنبيا ذوي فطانة * بالصدق والتبليغ والأمانة
"Allah telah mengutus para Nabi yang mempunyai Kecerdasan (Al-Fathonah), Kejujuran (Ash-Shidqu), Menyampaikan (At-Tabligh) & Dapat dipercaya (Al-Amanah).

Dalam pembahasan Mengutus Rasul ada 3 pendapat yang bersebrangan yaitu :
1. Ahlussunnah Wal Jama'ah (Asya'iroh & Maturidiyah) : Mengatakan Jaiz (boleh) secara hukum akal.
2. Mu'tazilah & Filsuf berpendapat :  Wajib bagi Allah mengutus seorang Rasul.
3. Sumniyah & Barohimah : Mustahil Pengutusan Seorang Rasul.

Setiap dari mereka mempunyai alasan tersendiri tentang pendapat mereka.


Para Filsuf berargumen wajibnya mengutus Rasul itu karena Tabiat/kebiasaan Alam. Sebab dengan Adanya Allah itu mewajibkan adanya Alam semesta, sedangkan semesta ini harus ada yang berbuat baik dan membenahi kerusakan. Hal ini didasari pada anggapan mereka (Kaum Filsuf) bahwasannya semesta ini Qadim (sudah ada sejak zaman dahulu tanpa diawali dengan permulaan/penciptaan), dan tidaklah datang dari Allah melainkan orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka Kafir karena keyakinan ini (mengaggap semesta alam itu Qadim).

Bagi mereka yang menyatakan Mustahil bagi Allah mengutus Para Rasul dengan Argumen : Pengutusan Rasul itu tidak dibutuhkan menurur Akal, sebab sebuah perbuatan itu kalo dianggap baik oleh Akal maka bisa dilakukan, tapi jika menurut Akal perbuatan tersebut jelek maka harus ditinggalkan, sehingga tidak perlu bagi Tuhan untuk mengutus seorang Rasul.

Sedangkan Mu'tazilah dengan pendapat mereka yang menyatakan wajibnya mengutus Para Rasul itu dikarenakan Kaidah Mereka tentang "Ash-Sholah Wal Ashlah" (Suatu kebaikan & sesuatu yang lebih baik), yaitu Allah wajib berbuat baik dan yang terbaik untuk hamba-hambaNya. Akan tetapi Teori mereka tentang "Ash-Sholah Wal Ashlah" sudah dipatahkan oleh Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari dalam dialognya dengan Pimpunan Mu'tazilah yaitu Al-Jubba'i ketika Imam Al-Asy'ari bertanya kepadanya.

Al-Asy'ari : Apa pendapatmu tentang 3 bersaudara, yang pertama wafat dalam usia dewasa dalam keadaan taat, yang kedua wafat ketika dewasa dalam keadaan bermaksiat dan yang ketiga wafat saat masih kecil?

Al-Jubba'i : Yang pertama dapat balasan Surga, yang kedua dapat balasan Neraka dan yng ketiga tidak di Surga dan tidak pula di Neraka.

Al-Asy'ari : Jika yang ketiga berkata : "Wahai Tuhanku, engkau telah mewafatkanku dalam usia anak-anak, andai engkau perpanjang usiaku niscaya aku akan taat atas perintahmu sehingga aku bisa masuk surga".
Lantas, apa yang akan dijawab oleh Tuhan?

Al-Jubba'i : Tuhan akan berkata : "Sesungguhnya aku tahu jika engkau hidup sampai dewasa niscaya engkau akan bermaksiat kepadaku sehingga engkau akan masuk Neraka, maka yang terbaik (Al-Ashlah) bagimu adalah wafat dalam usia anak-anak".

Al-Asy'ari : Bagaimana jika orang yang kedua berkata : "Wahai Tuhan, kenapa engkau tidak wafatkan aku ketika aku masih kecil sehingga aku tidak maduk Neraka? Begitu juga semua Ahli Neraka?
Apa yang akan dikatakan oleh Tuhan?

Maka Al-Jubba'i terbungkam dengan pertanyaan terakhir yang diajukan oleh Al-Asy'ari, sekaligus dialog ini mematahkan Teori Mu'tazilah akan kewajiban Tuhan berbuat Sholah (kebaikan) & Ashlah (yang lebih baik) kepada HambaNya.

Penulis : Imam Abdullah El-Rashied.

Kapankah Kita Wajib Puasa Ramadlan?

$
0
0
Muslimedianews.com ~ Sebelum jauh menjawab pertanyaan di atas sejenak kita akan membahas tentang pengertian puasa baik secara Etimology maupun Terminology.

Puasa Ramadhan
Puasa secara Etimology diartikan sebagai "Menahan", menahan diri dari apa saja seperti menahan diri untuk tidak tidur, tidak makan, tidak bicara dan lain-lain. Sedangkan secara Terminology, Puasa diartikan sebagai berikut : "Menahan diri dari hal-hal tertentu, dengan cara dan niat yang khusus".

Adapun kata Ramadhan sendiri adalah salah satu nama dari bulan ke 9 dalam penanggalan Hijriyah. Dinamakan Ramadhan karena saat orang-orang Arab menamai bulan-bulan mereka bertepatan dengan masa Romdho' yaitu cuaca yang sangat panas.

Setelah kita memahami arti Puasa baik secara Etimology maupun Terminology, sekarang kita akan menjawab pertanyaan tersebut di atas yaitu :

Kapankah Kita Wajib Berpuasa? 
Dalam hal ini, Al-Habib Ahmad Bin Umar Asy-Syathiri ketika mengomentari Pembahasan Puasa pada Kitab Safinatun Najah beliau menuturkan sebagai berikut :


Kita wajib melaksanakan Puasa Ramadhan jika menemukan 1 dari 8 pertanda berikut ini:

1. Sempurnanya Sya'ban 30 hari, dengan sempurnanya Sya'ban menjadi 30 hari maka secara otomatis akan memasuki Bulan Ramadhan.

2. Nampaknya Hilal bagi orang yang melihatnya walaupun dia itu Fasiq. Sedangkan yang dimaksud dengan Hilal adalah Rembulan pada tanggal 1, 2 dan 3 di bulan Hijriyah. Dan kewajiban Puasa ini teruntuk orang yang telah melihat Hilal.

3. Ditetapkannya Hilal oleh Qodhi (Pemerintah) berdasarkan Penglihatan (pengamatan) orang yang Adil Syahadah yaitu orang yang tidak melakukan dosa besar, tidak pula terus-menerus melakukan dosa kecil dan ketaatannya mengungguli dari kemaksiatannya. Akan tetapi dengan Syarat orang tersebut adalah : 1. Laki-laki, 2. Merdeka (bukan budak/hamba sahaya), 3. Tamyiz, 4. Mempunyai Muruah (menjaga harga diri), 5. Dalam keadaan sadar (bukan mimpi), 6. Bisa berbicara (tidak bisu), 7. Bisa mendengar (tidak tuli) dan 8. Bisa melihat (tidak buta). Maka tidak bisa diterima jika ada Laporan seseorang telah melihat Hilal sedangkan dia adalah termasuk dari salah satu kriteria berikut ini, yaitu : Fasiq, anak kecil (belum Tamyiz), Hamba Sahaya dan Perempuan.

4. Kabar akan ketetapan Hilal dari Adil Riwayah yang dipercaya, atau tidak dapat dipercaya akan tetapi ada kecendrungan dalam hati untuk membenarkannya. Sedangkan yang dimaksud Adil Riwayah di sini adalah orang yang memenuhi kriteria Adil Syahadah tapi dikurangi 2 syarat yaitu merdeka dan laki-laki.

5. Prasangka masuknya Ramadhan dengan Ijtihad (berupaya mengetahui Ramadhan) bagi orang yang masih belum mendapatkan kepastian tentang kabar Masuknya Waktu Ramadhan seperti orang yang dipenjara atau tersesat di hutan dan sebagainya. Akan tetapi dengan ketentuan, bilamana pada kenyataannya ternyata tidak melenceng dari Ramadhan, maka dia tidak wajib mengqodho'nya. Bedahalnya bagi orang yang berpuasa ternyata masuk sebelum waktunya, maka dia wajib mengqodho'. Sedangkan jika puasanya ternyata melewati masa Ramadhan, maka hal itu sudah dianggap Qodho'.

6. Melihat pertanda-pertanda yang menunjukkan masuknya Bulan Ramadhan di Negri yang dapat dipercaya seperti : Lampu-lampu hias yang digantung di menara Masjid atau mendengar Tabuhan Rebbana yang biasa digunakn sebagai Tradisi menyanbut Ramadhan.

7. Kabar yang Mutawatir (dari banyak orang) akan nampaknya Hilal di tempat terbitnya walaupun dari orang kafir.

8. Bagi orang yang mengetahui masuknya Bulan Ramadhan dengan cara perhitungan Ilmu Falak dan Astrology. Dalam Penghitungan Ilmu Falak biasanya bersandarkan pada derajat ketinggian Bulan dari permukaan Bumi, sedangkan dalam Ilmu Astrologi dengan melihat terbitnya Bintang tertentu di awal bulan, seperti Geminy dll.

Disadur dari Kitab Nail Ar-Raja' hal. 270-273 cetakan Dar Al-Minhaj karya Sayyid Ahmad Bin Umar Asy-Syathiri Al-Hadromi Asy-Syafi'i (W. 1360 H).
Penulis : Imam Abdullah El-Rashied.
Tarim, 1 Sya'ban 1436 H / 19 Mei 2015

Sambut Ramadlan Dengan Puasa Dibulan Sya'ban

$
0
0
Muslimedianews.com ~ Bulan Rajab tinggal sesaat lagi akan berahir dan bulan Sya’ban akan segera hadir. Jika Sya’ban telah hadir itu artinya bulan suci Ramadhan tidak lama lagi akan tiba.

Sebagai muslim yang kaffah tentu kita wajib bersyukur atas akan datangnya bulan suci itu. Persiapan menyambut bulan suci itupun harus selalu kita lakukan. Sejak bulan Raja kita sudah mulai membiasakan doa agar kita senantiasa diberi keberkahan dibulan Rajab dan Sya’ban dan dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan.

Sya’ban adalah salah satu bulan yang mulia. Bulan ini adalah pintu menuju bulan Ramadhan. Siapa yang berupaya membiasakan diri bersungguh-sungguh dalam beribadah di bulan ini, ia akan akan menuai kesuksesan di bulan Ramadhan.

Dinamakan Sya’ban, karena pada bulan itu terpancar bercabang-cabang kebaikan yang banyak (yatasya’abu minhu khairun katsir). Menurut pendapat lain, Sya’ban berasal dari kata “Syi’b”, yaitu jalan di sebuah gunung atau jalan kebaikan.

Dalam bulan ini terdapat banyak kejadian dan peristiwa yang sangat perlu diperhatikan oleh kaum muslimin. Dan pada bulan ini juga ada beberapa amalan yang biasa dilakukan oleh para Salafuna sholih untuk mempersiapkan dan melatih diri dengan memperbanyak ibadah dalam rangka menyambut bulan Ramadhan. Diantara amalan tersebut adalah :

Puasa
Puasa di bulan Sya’ban itu termasuk disunnahkan karena untuk melatih agar nanti ketika Ramadhan tiba sudah terbiasa dengan puasa. Selain itu bulan ini juga banyak dilalaikan oleh manusia sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa hadits. Namun kita tidak perlu mengkhususkan hari tertentu dari bulan Sya’ban untuk berpuasa karena tidak ada hadits yang benar secara khusus menentukan hari tertentu untuk puasa.Yang ada adalah riwayat yang menjelaskan anjuran puasa bulan Sya’ban secara umum.

Oleh : Buya Yahya
Pengasuh LPD Al-Bahjah – Cirebon
sumber: buyayahya.org via moslemforall

Menag Akan Festivalkan Baca Quran Langgam Nusantara

$
0
0
Jakarta, Muslimedianews.com ~ Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan bahwa gagasan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa pada peringatan Isra Miraj di Istana Negara, Jumat malam, 15 Mei 2015, berasal dari dia. Saat itu Muhammad Yasser Arafat melantunkan Surah An-Najm ayat 1-15 dengan cengkok atau langgam Jawa.

Acara yang dihadiri Presiden Joko Widodo, sejumlah pejabat, dan duta besar negara Islam itu menuai kontroversi. Ahmad Annuri, pakar pengajaran Al-Quran dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, menuduh pemerintah melakukan liberalisasi agama Islam.

"Tujuan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di Tanah Air," kata Lukman dalam cuitannya. Dia menyimak semua kritikan dan menghargai yang memberi apresiasi.

Lukman memang peduli dengan hal ini. Pada Rabu, 6 Mei 2015, dia menghadiri acara ulang tahun ke-18 Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Dia mengatakan Indonesia memiliki ciri khas Islam Nusantara, misalnya seni membaca Al-Quran dengan qiraah Sunda, Jawa, Madura, dan atau langgam khas dalam negeri lainnya.

Bila didapatkan qari (pelantun Al-Quran) yang bisa membaca dengan langgam Melayu, Bugis, Medan, atau dengan langgam apa pun, ucap dia, itu merupakan ciri Nusantara kita. “Saya pikir itu akan sangat memperkaya khazanah qiraah kita, dan suatu saat menarik juga kita festivalkan dalam acara-acara tertentu," tutur Lukman saat itu.

Kementerian Agama selama ini memiliki beberapa qari yang menguasai ilmu membaca Al-Quran (tajwid) dan bisa melantunkan ayat-ayat dengan langgam Jawa, Sunda, Madura, dan Aceh. Langgam Al-Quran ala Indonesia itu, kata dia, merupakan bentuk pengembangan budaya untuk mencintai Al-Quran lewat seni.

Upaya itu juga sejalan dengan pengkajian dan penerapan pesan Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. "Tentu saja dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah ilmu tajwid," ucap putra mantan Menteri Agama Saifuddin Zuhri itu.

Menurut Lukman, kemampuan kita menggali khazanah Islam Nusantara akan membuat Indonesia menjadi model dalam mempromosikan Islam berkarakter yang menghargai keberagaman agama, budaya, bahasa, dan etnik.

"Di saat banyak negara berpenduduk muslim lainnya dilanda berbagai konflik yang bernuansa agama, Islam Nusantara bisa menjadi oase baru bagi dunia Islam dan masyarakat dunia pada umumnya," ujarnya.

Sejauh ini, terdapat tujuh tipe bacaan Al-Quran atau lebih dikenal dengan Qiraah Sabah di dunia Islam. Tujuh langgam itu berkembang pada masa awal Islam berkembang atau sejak masa sahabat hidup bersama Nabi Muhammad SAW.

Ketujuh qiraah biasanya dibedakan berdasarkan lajnah (dialek), tafkhim (pensyahduan bacaan), tarqiq (pelembutan), imla (pengejaan), madd (panjang nada), qasr (pendek nada), tasydid (penebalan nada), dan takhfif (penipisan nada).

Salah satu contoh, sebagian orang Arab mengucapkan vocal "e" sebagai ganti dari "a", seperti ayat "wadh-dhuhaa" yang dibaca oleh sebagian orang dengan "wadh-dhuhee".

sumber antara via tempo

Sikap Ulama terhadap Nas al-Qur'an dan Hadits yang Masih Samar

$
0
0
Muslimedianews.com ~ Didalam al-Qur'an maupun Hadits ada yang jelas maksudnya dan ada pula yang samar maksudnya. Dalam hal menyikapi nas al-Qur'an maupun Hadits yang samar maksudnya, ulama salaf maupun khalaf memberikan panduan,

و كل نص أوهم التشبيها ### أوله أو فوض و رم تنزيها
“Dan setiap nash yang dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang penyerupaan Allah dengan makhluk, maka lakukanlah ta’wil atau tafwid dan hendaklah engkau bertujuan memahabersihkan Allah dari sesuatu yang tidak pantas bagi-Nya”.

{ Bait No. 40 dari Kitab Ilmu Tauhid "Hasyiyah Al-Imam A-Baijuri 'ala Jawharah At-Tauhid" karya Imam Ali Jum'ah, halaman 156, cetakan "Darussalam", Mesir.}

PENJELASAN BAIT NO. 40:

Dalam menyikapi setiap nash dari Al-Qur’an dan Hadits yang dikuatirkan dapat menimbulkan kesalahpaaman tentang penyerupaan Allah dengan makhluk, maka para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah berijtihad melakukan ta’wil. Hanya saja ulama salaf (1-300 H.) dengan “Madzhab as-Salaf (مذهب السلف) atau “Thariq as-Salaf (طريق السلف)”-nya berijtihad melakukan “Ta’wil Ijmali (Ta’wil Global)”, yaitu dengan cara menggunakan lafadz nash secara dzohirnya lafadz namun tidak mengi’tiqadkan Allah serupa dengan makhluk. Kemudian, tujuan yang dimaksud oleh nash tersebut diserahkan langsung kepada Allah SWT semata (tafwid). Contoh:

الرحمن على العرش استوى
Ulama Salaf mengatakan: Istiwa’ tidak kami ketahui maksudnya.

Sedangkan, ulama khalaf dengan “Madzhab al-Khalaf (مذهب الخلف) atau “Thariq al-Khalaf (طريق الخلف)”-nya berijtihad melakukan “Ta’wil Tafshili”, yaitu dengan cara menjelaskan makna yang dimaksud oleh nash Al-Qur’an dan Hadits yang samar tersebut, sehingga jelas maksudnya dan tidak menyerupakan Allah dengan makhluk. Dengan demikian, umat Islam akan selamat dari kesalahpahaman dalam rmemahami nash tersebut. Contoh:

الرحمن على العرش استوى

Ulama Khalaf mengatakan: Yang dimaksud dengan firman Allah ta’ala itu adalah “Al-Istila’ (artinya: Menguasai)” dan “Al-Mulku (artinya: Merajai)”.

Jalan ta'wil ini sesuai dengan Firman Allah dalam Surat Ali 'Imran {3}: 7 sebagai berikut:

هُوَ ٱلَّذِيۤ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَاءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ ٱللَّهُ وَٱلرَّاسِخُونَ فِي ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ ٱلأَلْبَابِ
"Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[184]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal."

Dengan demikian, jalan yang ditempuh oleh ulama salaf dan ulama khalaf ini kedua-duanya benar. Namun, yang paling unggul adalah jalan yang ditempuh oleh ulama khalaf, dikarenakan perkembangan pemikiran umat Islam semakin ke depannya semakin kritis. sehingga dikuatirkan nantinya umat Islam akan salah memahami nash tersebut yang masih samar maksudnya, seandainya tidak dita’wil dengan “Ta’wil Tafshili”.






Oleh : KH. Thobary Syadzily Al-Bantani

Jihad atau Mau Memperbanyak Janda dan Anak Yatim ?

$
0
0
Muslimedianews.com ~ Tidak sedikit dari kalangan orang Islam, khususnya anak-anak muda yang baru memiliki semangat keberislaman terjebak pada pemahaman Islam yang salah. Mengaji pun tidak jelas rimbanya tiba-tiba teriakan jihad menjadi lebih utama dilisannya daripada menghilangkan kejahilannya.

Fenomena "dikit-dikit jihad" ini nampaknya mendapatkan sindirian dari Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, Rais 'Am Jam'iyyah Ahlit Thariqah al-Mu'tabarah al-Nahdliyyah melalui akun jejaring sosial facebooknya. (18/5).

Ulama Sufi tersebut berpandangan bahwa syari'at Islam di Indonesia sudah diterapkan mulai dari urusan haji, zakat hingga penetapa hari raya.

"Di Indonesia syariat Islam sudah berjalan, haji di urus, zakat difasilitasi amil (Baznas dll), pernikahan ada KUA, perselisihan ada Pengadilan Agama, hari raya ada sidang isbat dipimpin langsung Menag, dan masih banyak lainnya.", tuturnya.

Habib Luthfi juga menghimbau kepada umat Islam agar tidak ngawur dengan "sedikit-dikit teriak jihad". Ia mempertanyakan jihad yang diteriakan oleh sebagian orang sebab faktanya menyengsarakan umat Islam dengan semakin banyaknya muslimah yang menjadi janda dan anak-anak yang menjadi yatim.


"Jadi jangan ngawur, sedikit-sedikit jihad. Jihad atau mau memperbanyak janda dan anak yatim?", pungkasnya.

red.Ibnu Manshur

Pokok-pokok Ilmu Tauhid (مبادئ علم التوحيد)

$
0
0
Muslimedianews.com ~ 1. Apa itu Ilmu Tauhid ?

Definisi Ilmu Tauhid (حده):

Ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat Allah dan para rasul-Nya, baik sifat-sifat yang wajib, mustahil maupun ja'iz, yang jumlah semuanya ada 50 sifat. Sifat yang wajib bagi Allah ada 20 sifat dan sifat yang mustahil ada 20 sifat serta sifat yang ja'iz ada 1 sifat.


Begitupula sifat yang wajib bagi para rasul ada 4 sifat (sidiq. tabligh, amanah, dan fathanah) dan sifat yang mustahil ada 4 sifat (kidzb / bohong, kitman / menyembunyikan, khianat, dan bodoh) serta sifat yang ja'iz ada 1 sifat. 50 sifat ini dinamakan "Aqidatul Khomsin / عقيدة الخمسين ". Artinya: Lima puluh Aqidah.

2. Objek atau Sasaran Ilmu Tauhid (موضوعه): Dzat Allah dan sifat-sifat Allah.

3. Pelopor atau Pencipta Ilmu Tauhid (واضعاه): Imam Abul Hasan Al-Asy'ari (260 H - 330 H / 873 M - 947 M ) dan Imam Abul Manshur Al-Mathuridi ( 238 - 333 H / 852 - 944 M ).

4. Hukum Mempelajari Ilmu Tauhid (حكمه): Wajib 'ain dengan dalil ijmali (global) dan wajib kifayah dengan dalil tafshili.

5. Nama Ilmu Tauhid (اسمه): Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Kalam dan Ilmu 'Aqa'id.

6. Hubungan Ilmu Tauhid dengan Ilmu-ilmu lain (نسبته): Asal untuk ilmu-ilmu agama dan cabang untuk ilmu selainnya.

7. Masalah-masalah Ilmu Tauhid (مسائله): Sifat-sifat wajib, mustahil, dan ja'iz bagi Allah swt dan para Rasul-Nya.

8. Pengambilan Ilmu Tauhid (استمداده): Diambil dari Al-Qur'an, Al-Hadits, dan akal yang sehat.

9. Faedah Ilmu Tauhid (فائدته): Supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia.

10. Puncak Mempelajari Ilmu Tauhid (غايته): Memperoleh kebahagian, baik di dunia maupun akherat dan mendapat ridha dari Allah swt serta mendapat tempat di surga.

Oleh : KH. Thobary Syadzily Al-Bantany, via thobary.com

Ulama Besar NU Membolehkan Baca Qur'an dengan Irama Apapun asal Jaga Kaidah

$
0
0
Muslimedianews.com ~ Bertebaranya komentar-komentar yang tidak dilandasi pengetahuan memadai mengenai qira'ah membuat ulama NU ikut memberikan tanggapannya.


Rais Syuriyah PBNU KH Masdar F Masudi, sebagaimana dilansir situs NU online (19/5) menyatakan tentang kebolehan melagukan Al-Quran dengan irama adat manapun. Pasalnya, setiap komunitas memiliki langgamnya masing-masing. Hanya saja yang perlu diperhatikan ialah kaidah pelafalan dan respek terhadap ayat-ayat suci itu sendiri.

“Setiap pembaca itu wajib menjaga makhrajnya, panjang, juga pendeknya. Tujuannya agar tidak merusak makna Quran itu sendiri. Kalau soal langgam, Al-Quran terbuka. Jawaz (boleh) dengan langgam Jawa, Sunda, atau langgam lainnya,” kata Kiai Masdar  di Jakarta, Selasa (19/5) sore.

Menanggapi pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa di Istana Negara pada Jumat (15/5) malam, Kiai Masdar menyatakan rasa syukurnya kalau langgam lokal itu menambah kesyahduan.

“Dan langgam itu berbeda antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya. Kalau iya begitu, setiap komunitas boleh membaca Al-Quran dengan langgam yang lazim di kalangan mereka. Bisa langgam Jawa, Sunda, atau langgam lainnya,” ujar Kiai Masdar.

Setiap bahasa pun sebenarnya mengandung nilai transendensi. Allah sendiri mengatakan, wa allama adamal asma’a kullaha. Allah mengajarkan nama-nama benda kepada Adam. “Artinya setiap bahasa mengandung nilai ilahiyah.”

Rais Syuriyah PBNU ini mengajak masyarakat tidak perlu membesar-besarkan persoalan ini. Tidak ada larangan membaca Al-Quran dengan langgam apapun selagi menjaga dua kaidah itu, tegas Kiai Masdar. (Alhafiz K)

sumber nu.or.id

Ulama Yaman Bersyukur Ada NU di Indonesia

$
0
0
Muslimedianews.com ~ Ulama asal Yaman DR (HC) Syekh Al-Habib Abu Bakar Al-Adni memuji model perjuangan Islam di Indonesia dan utamanya dalam mendidik kedewasaan masyarakat dalam pemahaman agama. Menurutnya, Islam di Indonesia secara umum sudah berada di jalur yang benar.

Ia juga memuji strategi dakwah organisasi semacam Nahdlatul Ulama dalam memperjuangkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia. Baginya, Islam sebagaimana yang berkembang di Indonesia inilah yang sebenarnya dibutuhkan di berbagai belahan dunia ini.

“Saya telah mendengar adanya organisasi Nahdlatul Ulama ini, karena gaungnya telah terdengar ke seantero dunia ini. Dan saya sangat bersyukur bahwa di Indonesia ini ada organisasi semacam NU ini yang senantiasa berkomitmen untuk berjihad mendakwahkan Islam yang moderat,” katanya.

Abu Bakar Al-Adni menyampaikan hal itu pada acara Kuliah Tamu yang diselenggarakan Pascasarjana Pendidikan Islam dan Hukum Islam Universitas Islam Malang (Unisma) pada Rabu (13/5).

Dalam pandangannya, posisi NU yang merdeka dari pengaruh pemerintah sangat strategis. Karena hal itu akan membuatnya lebih mampu dalam mengawal kinerja pemerintah dan mengayomi masyarakat.

Mandiri Pendidikan
Lebih jauh ia juga memuji realitas pendidikan Islam di Indonesia yang mana masyarakat diperkenankan untuk berperan dalam penyelenggaraan pendidikan. Ia mengaku kagum bahwa kenyataan di Indonesia NU telah menyelenggarakan dunia pendidikan yang dikelolanya sendiri. Hal ini, menurutnya, adalah nilai lebih Islam Indonesia dibandingkan dengan Timur tengah.

“Di Timur Tengah tidak ada pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh swasta seperti di Indonesia ini. Semuanya diselenggarakan pemerintah. Sehingga setiap tindakan dan pergerakannya diawasi dan dipengaruhi oleh pemerintah. Dalam hal ini adalah nilai lebih Indonesia daripada timur tengah.” Katanya di hadapan sekitar 50 peserta kuliah tamu ini.

Abu Bakar Al-Adni menilai, campur tangan bernuansa kepentingan politik pemerintah dalam urusan penddikan berbahaya karena menghilangkan kemerdekaan dalam hal keilmuan. “Seperti mereduksi makna jihad dan sebagainya. Munculnya gerakan-gerakan Islam ekstrem di Timur Tengah di satu sisi, dan Islam liberal di sisi lain adalah dampak dari hal ini,” urainya.

“Demikian juga berbagai pergolakan di berbagai negara di Timur Tengah termasuk negara kami Yaman juga adalah termasuk dampak dari campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan.” tambahnya. (Ahmad Nur Kholis/Mahbib)

sumber nu.or.id
Viewing all 6981 articles
Browse latest View live


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>