Oleh:Dr Wajidi M.Ag., Dosen IAIN Pontianak, Ketua Majlis Fatwa MUI Kalbar, Wakil Rais Syuriah PWNU Kalbar.
↧
Sunnah Tasyri'iyyah dan Sunnah Non-Tasyri'iyyah dan implikasi Penerapannya (Bagian 1)
↧
Bahaya HTI: Meluruskan Materi 'Bahaya Islam Nusantara' Dalam Makalah Ustad Miskari, Lc, M,Hum
- Poin pertama beliau menjelaskan secara singkat dan sederhana tentang lahirnya agama-agama yang ada di dunia saat ini. Mulai dari yang samawi sampai yang ardhi. Beliau juga membedakan tentang akar terbentuknya ajaran yang bersumber dari wahyu dan agama yang sumbernya pencarian nalar manusia. Agama dengan bentuk ardhi adalah agama yang di peroleh manusia setelah melakukan pengarungan spiritual yang panjang, akibatnya nama dan inspirasi doktrin sangat bersifat lokalitas dalam agama ardhi ini. Sedangkan agama samawi adalah agama yang sama sekali bersih dari ekspresi manusia, ia adalah agama yang berlandaskan wahyu dan tidak ada keterkaitan dengan lokalitas. Maka dari itu, tak pantas kiranya menyematkan termin Nusantara di belakang termin Islam. karna Islam bukan agama yang terkungkung dalam satu lokalitas atau terbentuk dalam sebuah lokalitas tertentu.
- Beliau memaparkan bahwa beberapa contoh hal-hal yang dianggap berbahaya jika sampai Islam Nusantara ini tetap merebak. Salah satunya akan ada legitimasi terhadap di bolehkannnya sholat menggunakan bahasa Indonesia, membaca tulis al-Quran dengan menggunakan bahasa daerah dan sebagainya. Maka hal ini tidak dapat di benarkan sepenuhnya dan berbahaya. Menurut beliau, ini adalah aspek fiqh yang tidak dapat berubah meskipun adanya benturan dengan zaman, dengan bahasa yang di gunakan adalah kata Tsawabit. Dalam poin ini juga beliau mengatakan, kalau yang di maksud Islam Nusantara tidak melanggar ajaran Syariat yang sifatnya Tsawabit tadi, seperti terjadinya simbiosis antara budaya setempat dengan nilai-nilai Islam, maka hal ini dapat di benarkan. Selama simbiosis tadi adalah mutualisme, namun jika simbiosisnya adalah parasitisme (merugikan salah satu dari yang lain) dalam hal ini budaya memberanguskan Nilai islam, maka hal seperti ini tidak dapat di benarkan. Beliau menggunakan Istilah Dhonniyah untuk menggambarkan hal-hal yang dianggap oleh fiqh sebagai sesuatu yang tidak tetap. Poin ini sekaligus menjadi konklusi dari akhir presentasinya.
“Sementara yang ketiga, yaitu ajaran syari’at, masih harus dipilah antara yang tsawabith/qath’iyyat dan ijtihadiyyat. Hukum-hukum qath’iyyat seperti kewajiban shalat lima kali sehari semalam, kewajiban puasa, keharaman berzina, tata cara ritual haji, belum dan tidak akan mengalami perubahan (statis) walaupun waktu dan tempatnya berubah. Shalatnya orang Eropa tidak berbeda dengan salatnya orang Afrika. Puasa, dari dahulu hingga Kiamat dan di negeri manapun, dimulai semenjak Subuh dan berakhir saat kumandang azan Maghrib. Penjelasan Al-Quran dan As-Sunah dalam hukum qath’iyyat ini cukup rinci, detil, dan sempurna demi menutup peluang kreasi akal. Akal pada umumnya tidak menjangkau alasan mengapa, misalnya, berlari bolak-balik tujuh kali antara Shafa dan Marwa saat haji. Oleh karena itu akal dituntut tunduk dan pasrah dalam hukum-hukum qath’iyyat tersebut”3
- Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Pontianak, Mengabdi di Pondok Pesantren Al-Jihad Pontianak serta aktif di PMII Komisariat IAIN Pontianak.
- Lihat makalah Islam Nusantara “Islam, NU dan Nusantara” oleh Prof. Ishom Yusqi. Hal : 2 Tidak di terbitkan.
- Makalah Islam Nusantara “makna istilah Islam Nusantara”. Oleh KH. Afifuddin Muhajir. Hal : 1. Tidak di terbitkan
↧
↧
Maulid Menyambut Sang Insanul Kamil
Muslimedianews.com ~Ihsanul kamil atau akhlaq paripurna atau budi pekerti mulia sebagaimana dicontohkan dan digambarkan dalam perilaku Rasulullah SAW. Kana Rasulullah..uswatun Khasanah.” Sungguhh pada diri Rasulullah SAW terdapat perilaku yang mulia dan terpuji.
Islam diakui sebagai agama yang istimewa karena hal ini oleh Allah sendiri telah dinyatakan sebagai agama paripurna dan membentuk insane-insan yang mulia. Inilah dinnul Islam yang lurus , agung , sempurna, abadi dan universal. Tentu saja agama yang sempurna ini hanya mampu dibawa oleh seorang utusan yang mulia dan sempurna pula. Utusan yang mengemban agama Tuhan yang terakhir ini adalah nabi terakhir, Sayidunna Muhammad SAW.
Kekaguman kepada Rasulullah SAW tidak hanya diakui oleh orang Islam sendiri, namun dunia Barat juga mengakuinya, sebagaimana mereka tulis dalam buku-buku mereka. Adalah sarjana Barat Michael H Hart salah satu ilmuwan barat yang mengakui dan mengagumi Rasulullah SAW, ia tulis dalam bukunya “The 100 a Ranking of The Most Influential Person in History,” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul,”Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah,” dia menempatkan nama Nabi Muhammad SAW pada rangking pertama. Dia menjatuhkan pilihan kepada Nabi Muhammad SAW pada urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh tentu mengejutkan para pembacanya dan menjadi tanda Tanya sebagian yang lain.
“Tapi saya berpegang pada keyakinan saya , dia (Nabi Muhammad SAW-red) satu-satunya manusia dalam sejarah yang meraih sukses luar biasa , baik ditilik dari sisi agama ataupun lingkup duniawi,” demikian alasan Michael H Hart sang penulis buku.
Kelahiran Sang Nabi
Banyak kejadian yang luar biasa sebagai tanda kenabian yang terjadi saat Nabi Muhammad SAW dilahirkan.
Malam sunyi senyap, bintang-bintang terang bertaburan di langit angkasa. Tiba-tiba empat belas tembok tinggi Istana Kisra (Maharaja Parsi) runtuh, api sesembahan orang-orang Majusi mendadak padam, dan gereja-gereja di sekitar telaga “Sawah” roboh, setelah dilanda gempa dahsyat. Saat itulah lahir bayi mungil nan tampan dari rahim Siti Aminah. Lepas dari kelahiran, Siti Aminah lalu memberi kabar gembira tetang kelahiran anaknya pada sang kakek yakni Abdul Muthalib. Bayi laki-laki itu adalah buah perkawinan antara Siti Aminah dan Abdullah bin Abdul Muthalib.
Kelahiran anak laki-laki bagi bangsa Arab merupakan kebanggaan tersendiri. Abdul Muthalib pada hari itu bergembira ria. Hari itu, Senin pagi, 9 Rabiul Awal (22 April 571 M) yang bertepatan dengan tahun pertama peristiwa pasukan gajah Raja Abrahah meyerang kota Mekkah.
Lalu dengan diliputi senyum sumringah dan diliputi kegembiraan yang luarbiasa Abdul Muthalib membawa cucunya ke Ka’bah. Abdul Muthalib berdoa kepada Allah dan bersyukur kepadanya dan ia menamakannya Muhammad. Karena Nama ini tidak populer dan belum dikenal oleh bangsa Arab.
Orang yang pertama kali menyusuinya adalah sang ibu, Siti Aminah dan Tsuaibah. Tsuaibah adalah budak, Abu Lahab yang saatu tengah menyusui anaknya yang bernama Masruh.
Memang sudah menjadi kebiasaan orang arab yang hidup di kota adalah mencari para ibu yang menyusui agar bisa menyusui anak-anak.Tujuan mereka adalah menjauhkan anak-anak dari penyakit-penyakit peradaban dan sekaligus memperkuat fisik anak-anak serta agar mereka sejak kecil bisa mempelajari bahasa Arab. Muhammad SAW tidak hanya disusui oleh Tsuaibah, namun oleh Abul Muthalib, sang paman, ia disusui juga oleh seorang wanita dari bani Sa’d bin Bakr yaitu Halimah binti Abi Dzuaib, istri dari Al Haris bin Abdil Uzza.
Banyak kejadian aneh saat menyusui putra Siti Aminah itu. Saat Halimah bersama suami dan anaknya yang masih menyusu pergi dari kampung dalam rombongan bani Sa’d mencari anak-anak susuan di musim panas dan kering kerontang.
Halimah berkata,”Aku keluar dengan mengendarai keledai putihku. Kami membawa onta kami yang sudah tua. Demi Alloh, onta tersebut tidak mengalirkan air susu setetespun. Semalaman kami tidak bisa tidur karena bayi kami menangis terus menerus karena kelaparan. Air susuku tidak dapat mengenyangkannya dan onta kami pun tidak dapat memberikan air susunya. Kami hanya mengharapkan pertolongan,”pikir Halimah seorang diri.
Halimah lalu keluar dengan mengendarai keledai putih hingga sang keledai kelelahan dan merasa kepayahan. Setelah sampai di Mekkah, Halimah lalu menacari anak-anak sususan. Setiap dari rombongan bani Sa’d itui lalu mencari anak-anak susuan setiap dari wanita-wanita itu tidak ada yang mau menyusui Rasulullah SAW, dikarena ia anak yatim. Sebab mereka mnyusui anak-anak atau bayi yang baru lahir karena mengharapkann kebaikan dari bapak anak-anak yang disusukannya.
Sebagian dari wanita kaum Sa’d itu mengatakan,”Yatim! Apa yang akan diperbuat ibu dan kakeknya?”
Sehingga semua angggota rombongan pun tidak ada yang menginginkannya. Setelah semua hampir siap berangkat pulang, Halimah tiba-tiba berkata pada sang suami yakni Al Haris bin Abdil Uzza, ”Demi Allah, saya tidak suka pulang di tengah sahabat-sahabatku dengan tidak membawa anak susuan.Saya akana membawa anak yatim tersebut dan akan saya ambil.“
Al Haris bin Abdil Uzza llau menjawab, “Boleh saja hal itu kamu lakukan. Semoga Allah memberikan barakah pada dirinya untuk kita.”
Selanjutnya Halimah mengatakan,” Aku pun mendatanginya dan mengambilnya. Tidak ada satupun yang mendorongku untuk membawa kecuali karena tidak ada bayi lagi selain dia (Muhammad SAW) yang saya dapati.”
Lepas semua sudah mendapat bayi susuan, rombongan pulang ke kampung halamanya dengan cepat.
Aneh, begitu sampai di rumah, kambing-kambing Al Haris bin Abdil Uzza yang tadinya tidak mengeluarkan susu, setelah ada bayi Muhammad SAW kambing-kambing utu dapat mengeluarkan susu. Tanah dan tempat tinggal mereka yang semula tandus dan kering kerontang berubah menjadi padang rumput yang menghijau dan tanaman-tanaman pun berbuah banyak. Kejadian itu berlangsung sampai 2 tahun lamanya.
Setelah berumur dua tahun, Muhammad SAW dibawa ke ibunya di Mekkah sementara Halimah dan Al Haris bin Abdil Uzza. Sebenarnya masih ingin memelihara dan mengasuh Muhammad SAW. Setelah berbincang dengan Siti Aminah, akhirnya Ibunda Muhammad SAW melepaskan kembali sang anak tampan itu untuk kembali diasuh oleh Halimah. Apalagi di Mekkah saat itu banyak terjangkiti penyakit berbahaya.
Demikianlah, Rasulullah SAW sampai berumur 5 tahun diasuh oleh Halimah hidup dan tinggal bersama di tengah-tengah bani Sa’d. Pada umur lima tahun itu pula Muhammad SAW dibelah dadanyna oleh Jibril saat ia bermain-main anak-anak lainnya.
Beliau dibawa Jibril pergi lalu dibaringkan, dibelah dadanya dan dikeluarkan hatinya. Dari hati beliau diambil segumpal darah hitam. Jibril berkata,” Ini lah bagian setan yang ada di dalam tubuhmu.”
Hati beliau lalu dicuci dengan zam-zam dalam sebuah baskom emas, lalu diletakan kembali ke tempat semula, lalau dada beliau ditutup kembali. Sementara itu, anak-anak yang bermain bersama beliau lari menemui ibu susunya memberitahukan bahwa Muhammad SAW dibunuh orang. Semua anggota keluarga mendatanginya dan mereka mendapati Muhammad SAW dalam keadaan pucat.
Setelah peristiwa tersebut, Halimah khawatir terhadap Muhammad SAW. Ia lalu mengembalikannya ke pada sang Ibu kandung saat Muhammad SAW berumur enam tahun. (Sumber referensi : Sejarah Hidup Muhammamad; Sirah Nabawiyah Syaikh Shafiyur Rahman Al Mubarakfury), Robbani Press).
Sedemikian tinggi kedudukan agung Rasulullah SAW sehingga orang non muslim seperti Michael H Hart pun sebagai sejarahwan besar kontemporer mengakui dan kita atas umat Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk mengikuti dan menjadikannya suri tauladan , karena inilah makna dari beriman kepada Nabi Muhammad SAW termasuk mengamalkan al Qur’an dan al Hadist menjadi bagian pokok dari tanggung jawab untuk mencontoh dan mengikuti ajaran beliau.
Adalah sunnah-sunnah beliau yang dahulu kita tinggalkan, mulailah kita hidupkan kembali termasuk upaya untuk mengikuti beliau. Kewajiban kita adalah mendahulukan sunnah-sunnah beliau di atas nalar pemikiran. Jangan sampai mempertentangkan dengan Allah SWT sebab tidak mungkin beliau menyimpang dari pada ajaran syariat Allah SWT. Selain itu beliau adalah Nabi terakhir sebagai utusan Allah kepada ummat manusia sepanjang masa.
Jika pada zaman ini ada yang mempertentangkan Sunnah insan kamil ini dengan Allah SWT atau dengan al Qur’an maka sudah barang tentu orang tersebut telah terseret dalam kesesatan aqidah. Sebab tidak mungkin dan mustahil seorang utusan seperti beliau berpertentangkan dengan Allah dan tidak mungkin pula syariat yang dibawanya menyimpang dari tuntunan Illahy.
Setiap kata yang terucap dari lisannya, perbuatan dan perangainya berada dalam bingkai syari’at dan tentunya itu semua datang dari Allah SWT yang telah mengutus beliau sebagai Nabi. Hal ini senada dengan penjelasan Allah dalam Al Qur’an, ”Dan tidakla Dia (Nabi Muhammad SAW) berbicara dengan hawa nafsu (keinginan dirinya semata), ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diturunkan (kepadanya).” (QS An-Najm; 3-14).
Maka semua akhlaq Rasulullah adalah yang terbaik, perkataannya adalah paling utama. Dengan mengikuti jejak Sang Insan Kamil ini dapat dipastikan kita akan mendapat kebahagiaan dunia akherat.
Ayat Al Qu’ran paling sarat memuji Nabi Muhammad SAW adalah ayat berbunyi wa innaka la’ala khuluqin ‘azhim, yang artinya sesungguhnya engkau (hai Muhammad ) memiliki akhlak yang sangat agung. Kata khuluq berarti akhlak secara linguistik mempunyai akar kata yang sama dengan khalq yang berarti cipataan. Bedanya kalau kalau khalq lebih bermakna cipataan Allah yang bersifat lahiriah dan fisikal, maka khuluq adalah ciptaan Allah yang bersifat batiniah.
Seorang sahabat pernah mengenang Nabi Muhammad SAW yang mulia dengan kalimat kana rasulullah ahsanan nasi khalqan wa khuluqan, bahwa Rasulullah SAW adalah manusia yang terbaik secara khalq dan khuluq. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW adalah manusia sempurna dalam segala aspek, baik lahiriah maupun batiniah.
Kesempurnaan lahiriah beliau sering kita dengar dari riwayat para sahabat yang melaporkan tentang sifat-sifat beliau. Hindun bin Abi Halah misalnya mendeskripsikan sifat-sifat lahiriah beliau bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang manusia yang sangat anggun, yang wajahnya bercahaya bagaikan bulan purnama di saat sempurnanya. Badannya tinggi sedang.
Postur tubuh Nabi tegap. Rambutnya ikal dan panjang tidak melebihi daun telinganya. Warna kulitnya terang. Dahinya luas. Alisnya memanjang halus, bersambung dan indah. Sepotong urat halus membelah kedua alisnya yang akan timbul saat marahnya. Hidungnya mancung sedikit membengkok, yang bagian atasnya berkilau cahaya. Janggutnya lebat, pipinya halus. Matanya hitam. Mulutnya sedang. Giginya putih tersusun rapi. Dadanya bidang dan berbulu ringan. Lehernya putih, bersih dan kemerah-merahan. Perutnya rata dengan dadanya.
Bila berjalan, jalannya cepat laksana orang yang turun dari atas. Bila menoleh, seluruh tubuhnya menoleh. Pandangannya lebih banyak ke arah bumi ketimbang langit, sering merenung. Beliau mengiringi sahabat-sahabatnya di saat berjalan, dan beliau jugalah yang memulai salam.
Deskripsi para sahabat Nabi tentang sifat-sifat manuisa agung seperti ini sangat banyak. Namun ada yang fokus dari al-Qur’an tentang gambaran sifat Nabi Muhammad SAW. Lalu apa yang menjadi fokus pandangan al-Qur’an terhadap Nabi? Jawabnya adalah khuluq-nya alias akhlaqnya. Apa arti akhlak?
Kata Imam al-Ghazali, akhlak adalah wajah batiniah manusia. Ia bisa indah dan juga bisa buruk. Akhlak yang indah disebut al khuluq al hasan; sementara akhlak yang buruk disebut al khuluq as-sayyi. Akhlak yang baik adalah akhlak yang mampu meletakan secara proporsional fakultas-fakultas yang ada di dalam jiwa manusia. Ia mampu meletakkan dan menggunakan secara adil fakultas-fakultas yang ada dalam dirinya: ‘aqliyah (rasio), ghadabiyah (emosi), syahwaniyyah (syahwat) dan wahmiyah (imajinasi).
Manusia yang berakhlak baik adalah yang tidak melampui batas dalam menggunakan empat fakultas di atas dan tidak mengabaikannya secara total. Ia akan sangat adil dan proposional di dalam menggunakan fakultas yang ada dalam dirinya.
Orang yang menyandang khuluq al-hasan adalah orang yang mampu meletakan secara proposional dalam membagi secara adil mana hak dunia dan hak akhiratnya. Orang yang menyandang sifat ini akan memantulkan suatu bentuk sangat indah lahiriah di dalam segala aspek kehidupan sehari-hari. Akhlak seperti inilah yang ditunjukan Rasulullah SAW kepada umatnya.
Akhlak Nabi Muhammad SAW adalah cerminan al Qur’an. Bahkan beliau sendiri adalah Al Qur’an hidup yang hadir di tengah-tengah umat manusia. Membaca dan menghayati akhlak beliau berarti membaca dan menghayati isi kandungan Al Qur’an. Itulah kenapa Siti Aisyah berkata akhlaq Nabi adalah al-Qur’an.
Sebagai Rahmat.
“Selain sebagai kekasih Allah (habibullah), Rasulullah memiliki peran sebagai penyebar rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin). Kedudukan spesial Nabi dengan Allah banyak disebutkan dalam al-Qur’an.” KH Musthofa Aqil, Cirebon Jawa Barat.
Dalam kesempatan itu juga KH Musthofa Aqil mengajak untuk meneladani akhlak Nabi. “Nabi Muhammad SAW tidak saja sayang kepada manusia namun juga kepada hewan. Ini sebagai bukti, beliau sebagai rahmatan lil alamin, rahmat bagi alam semesta,” lanjut Kiai Musthofa.
Ia lalu mengisahkan seorang laki-laki lewat di sisi Nabi Muhammad SAW dengan membawa seekor kijang hasil tangkapannya. Lalu Allah SWT yang berkuasa atas semua makhluk-Nya, telah menjadikan kijang itu berbicara kepada Nabi Muhammad SAW. Selepas Kijang itu mengucapkan salam, lalu sang kijang melanjutkan percakapannya.
“Wahai Pesuruh Allah, sesungguhnya aku mempunyai beberapa anak yang masih menyusu, dan sekarang aku sudah ditangkap sedangkan anak-anakku kelaparan,” kata kijang itu meminta belas kasihan.
Rasulullah SAW yang mampu mengerti bahasa kijang itu lantas berdialog dengan si kijang. “Apakah yang engkau harapkan dariku?” tanya Rasulullah SAW.
“Tolong perintahkan orang ini melepaskan aku supaya aku dapat menyusui anak-anakku dan sesudah itu aku akan kembali kemari,” janji kijang itu dengan sangat memohon.
“Bagaimana kalau engkau tidak kembali lagi ke sini?” tutur Rasululah SAW.
“Kalau aku tidak kembali kemari, nanti Allah SWT akan melaknatku sebagaimana ia melaknat orang yang tidak mengucapkan shalawat bagi engkau apabila disebut nama engkau di sisinya,” janji kijang itu.
Lalu Nabi Muhammad SAW pun bersabda kepada orang itu untuk melepaskan kijang itu buat sementara waktu.
Tanpa banyak berpikir lagi si pemburu memenuhi permintaan Rasulullah Saw. Setelah dilepas oleh si pemburu, kijang itu lari kencang meloncat-loncat kegirangan di padang pasir sambil terus berkata,”Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Anda adalah utusan Allah.”
“Demikianlah betapa kasih sayang Rasulullah SAW kepada sang Kijang menunjukan bahwa beliau sayang kepada hewan, apalagi kepada manusia. Sungguh Rasulullah SAW memberikan rahmat kepada alam semesta dan isinya,” terang KH Musthofa ‘Aqil yang juga menantu KH Maemoen Zubair, Sarang Rembang mengungkap akhlaq Nabi SAW.
Hijrah
Hijrah adalah berasal dari kata Bahasa Arab darikata hajara, yang artinya memutuskan hubungan, pindah , meninggalkan sesuatu yang lalu pindah kepada tempat yang lain
Dalam arti umum, hijrah adalah meninggalkan tempat tinggal dan pindah ke tempat yang baru. Dalam Islam menjadi istilah yang populer , yakni berpindahnya kaum muslimin dari kota Mekkah ke tempat lain. Hijrah ini paling tidak tiga kali dilakukan oleh kaum muslimin. Tetapi Islam memberikan arti yang lebih luas mengenai hijrah ini, yaitu meninggalkan yang jelek dan berpindah ke hal yang baik demikian HAMKA bertamsil dalam Tasawuf Modern, (Gunung Agung;1976).
Seseorang yang meninggalkan suatu paham atau kepercayaan (katakanlah misalnya kepercayaan kebatinan). Kemudian ditinggalkannya dan lalu mengikuti faham lain (misalnya : agama Islam) dapat juga disebut sebagai orang ber-hijrah, yaitu hijrah dari suatu kesesatan menuju ke kebenaran. Seseorang yang biasanya berperilaku jelek, buruk, jahat tidak terpuji kemudian meninggalkan semua perilaku yang serba negatif tersebut dan menggantinya dengan perilaku yang baik , terpuji bermanfaat maka orang tersebut dapat jug adisebut sebagai orang yang berhijrah dari perilaku jelek dan berpindah menjadi berperilaku baik. Rasulullah SAW menjelaskan dalam lewat salah seorang sahabat yang bertanya kepada beliau, ”Hai Nabi Allah, hijrah yang manakah yang baik?” Rasulullah SAW menjawab, ”Apabila kamu meninggalkan sesuatu yang jelek.”
Hadist di atas memang hanya begitu. Ini dapat diartikan , bahwa hijrah yang paling baik itu setidaknya meninggalkan segala sesuatu yang buruk. Tentunya langkah berikutnya adalah,”berpindah kepada hal yang baik.” Namun bila hanya meninggalkan yang buruk saja lalu diam, cukup lah artinya walau kemudian tidak berpindah ke hal yang baik, bersikap diam tidak melakukan yang jelek itu pun sudah dinilai “baik” dalam arti minimal. Seperti kata pepatah: Dari pada berbuat jelek lebih baik diam.
Kata hijrah mempunyai ciri: berpindah. Sifat yang mendominasi adalah adanya peningkatan dari sifat negatif ke sifat yang positif. Jadi hijrah dilakukan untuk mengadakan perbaikan atau penyempurnaan bukan sebaliknya. Secara langsung maupun tidak Allah SWT menyarankan agar manusia jangan terpaku di suatu tempat saja karena bumi Allah ini sangat luas. Ini berarti kita disarankan memilih tempat yang menguntungkan bagi kita, kalau memang tempat yang kita huni tidak menyenangkan.
Firman Allah SWT tersebut disebut dalam QS Anissa ayat 97 dan 100. Serta dalam QS Az-Zummar ayat 10 yang artinya,”Sesungguhnyua orang-orang diwafatkan oleh Malaiakat dalam keadaan menganiaya dirinya sendiri (tidak mau hijrah) , maka Malaikat bertanya kepada mereka,”Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab ,”Kami adalah orang –orang yang tertindas di negeri ini.” Para malaikat berlata,’Bukankah bumi Allah itu luas, maka hijrahlah atau pindahlah ke mana pun di bumi ini.’ Orang –orang tersebut tempatnya adalah dalam jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An Nisa : 97).
Dalam agama Islam hijrah mempunyai pengertian tersendiri, karena kaum muslimin memang beberapa kali melakukan hijrah yaitu berpindah tempat tinggal atau tempat bermukim dalam rangka mencari kondisi yang lebih baik atau lebih menguntungkan dan menyenangkan. Khususnya pindah dari kota Mekkah ke tempat lain. Hijrah menurut ajaran Islam harus dilakukan karena mencari ridha Allah bukan untuk mencari sesuatu yang lain. Menurut Sabda Rasulullah SAW, barang siapa yang berhijrah dengan niat mencari wanita atau harta yang diinginkan tersebut.
Bunyi hadist ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab, dari Amirul Mukminin Abu Hafs Umar bin Khattab ra ia berkata,”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,’Bahwasannya smua amal perbuatan itu tergantung pada niatnya , dan bahwasaannya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya , dan barangsiapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya itu hanya memperoleh apa yang diniatkannya itu.”
Jadi jelas, bahwa perpindahannya dari suatu tempat ke tempat lain atau dengan kata lain berhijrah, diijinkan dalam Islam, dan insya Allah apa yang akan kita peroleh adalah apa yang diniatkan. Niat yang paling baik adalah mencari Ridha Allah SWT.
Hijrah Muslimin
Sejak masa permulaan Rasulullah SAW mengajarkan agama Islam, banyak mendapat tantangan dari kaum Quraisy penduduk Mekkah. Hanya belas orang saja yang mau menerima Islam. Karena itu penduduk Mekkah yang menolak ajaran dalam Islam mengadakan tekanan, ancaman, dan siksaan kepada orang-orang yang mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Sebab mereka dianggap telah melanggar atau merusak agama nenek moyang mereka.
Ancaman , tekanan dan siksaan penduduk Mekkah yang tidak menyukai agana Islam tersebut (kemudian kita sebut sebagai kaum kafir Quraisy) dirasakan sangat berat bagi belasan orang yang telah masuk Islam ke tempat lain. Karena itu mereka memohon ijin kepada Rasulullah SAW untuk hijrah ke tempat lain. Rasulullah SAW mengijinkan dan atas saran Abu Thalib lalu Rasulullah SAW menyuruh mereka pergi ke Habsyi (Abessinia, Ethiopia) di Afrika di mana rajanya adalah seorang Nasharani yang saleh bernama Negus (Najasyi).
Peristiwa ini terjadi pada masa permulaan Islam diajarkan Rasulullah SAW pada bulan Rajab tahun 12 sebelum Hijriah (615 M) atau pada tahun kelima setelah kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan yang berhijrah terdiri dari 12 orang pria dan 4 orang wanita. Mereka ini termasuk orang-orang yang mula-mula menerima ajaran Islam dan disebut sebagai muslim awal / pemula (assabiqunal awwalin)
Kebetulan saat itu di pelabuhan Syu’aibah di Teluk Syu’aibah sebelah selatan Jeddah berlabuh dua buah perahu dagang yang segera akan berangkat menuju ke pantai Afrika. Maka rombongan ikut menumpang perahu tersebut sampai ke Massawa, sebuah pelabuhan di pantai Afrika wilayah Habsyi (Ethiopia). Setelah mendarat di Massawa rombongan menuju ke kota Adulis (sekarang Zule) di negeri Habsyi (Abesinia atau Ethiopia), kira kira 50 km sebelah tenggara kota Massawa.
Negeri ini diperintah oleh seorang Raja Nashrani, Negus (Najasyi), tetapi karena mengetahui bahwa ajaran Muhammad (Islam) tidak jauh berbeda dengan ajaran Isa Al Masih , maka beliau memberikan perlindungan kepada kaum muslimin yang hijrah dari Mekkah tersebut. Kaum kafirt Quraisy mendengar keberangkatan rombongan 16 orang tersebut mengejar ke pelabuhan Syu’aibah , namun rombongan kaum muslimin telah berangkat, sehingga tidak bertemu.
Beberapa orang di antara mereka yang mengungsi ini , ada yang pulang kembali ke Mekkah setelah bermukim beberapa bulan tetapi ada yang setahun lebih. Sebagian dari mereka ini kelak juga ada yang kembali ikut mengungsi dalam peristiwa hijrah kedua. Tiga tahun kemudian, setelah rombongan kaum muhajirin tiba di Adulis (zule) di Habsyi dan ternyata mereka kerasan karena memperoleh perlindungan yang adil, menyusulah rombongan kedua pada tahun 617 M atau 9 tahun sebelum Hijriah atau tahun ke 8 sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan hijrah kedua ini jumlahnya terdiri 83 orang pria dan 18 orang wanita. Rombongan ini mencerminkan telah menyebarnya ajaran Islam di berbagai kalangan marga di lingkungan suku Quraisy.
Perpindahan hijrah kedua ini rupa-rupanya terdengar oleh kaum Quraisy, sehingga mereka khawatir kalau-kalau umat Islam di tempat barunya nanti akan menjadi lebih kuat dan ajaran islam akan semakin menyebar. Maka untuk mencegah jangan terjadi peningkatan kekuatan kaum muslimin dan penyebaran Islam, kaum kafir Qurais mengutus dua orang pejabatnya yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah dan dikawal Ammarah bin Walid untuk menghadap Raja Najasyi dengan berbagai macam hadiah yang sangat berharga.
Hijrah yang ketiga kaum muslimin adalah yang paling besar dan paling penting karena dikuti oleh seluruh kaum muslimin Mekkah beserta Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Hijrah ketiga ini membawa perubahan besar bagi kehidupan kaum muslimin dan Islam sendiri. Sebab setelah hijrah dari Mekkah ke Yatasrib, kaum muslimin dapat hidup bebas daari tekanan dan ancaman kaum kafir Quraisy dan dapat mempraktikan kehidupan yang Islami, damai dan tentram secara leluasa di Madinah. Di samping itu Rasulullah SAW bersama para sahabat mempunyai kesempatan untuk menyusun strategi dakwah yang lebih canggih rapi dan lengkap dan dakwah Islam memang memancar dari Madinah dan gencar ke seluruh penjuru dunia dari tepi Timur sampai Barat.
Hijrah ketiga ini kemudian dijadikan permulaan perhitungan tahun dalam kalender Islam karenya tahun itu dalam Islam disebut Tahun Hijriah. Sebab tidak serta merta penggunaan hijrah itu sebagai awal perhitungan kalender Islam, karena setelah 17 tahun hijrah terjadi kaum muslimin baru menggunakannya sebagai permulaan kalender Islam. Itu pun setelah melalui perdebatan yang panjang , sebab sebagian kaum muslimin menghendaki agar perhitungan tahun kalender Islam dimulai dari lahirnya Rasulullah SAW atau saat kenabian Nabi Muhammad SAW bahkan ada yang menginginkan agar dihitung sejak kewafatan Rasulullah SAW.
Periode Madinah ini mengedepankan “ukhuwwah wathaniyyah”, persaudaraan lintas agama, periode ini berlangsung sekitar 10 tahun lamanya dimulai sejak hijrah (perpindahan) Muhammad SAW beserta seluruh umat Islam dari Mekkah ke kota Yatsrib (Madinah). Periode Madinah ini memberikan kesempatan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun tatanan masyarakat sipil di bawah naungan Piagam Madinah. Dalam piagam yang memuat 47 pasal itu, sungguh pun dibuat oleh mayoritas umat Islam, sama sekali tidak menyebut asas Islam atau pun dasar al-Qur’an serta al-Hadist.
Substansi piagam Madinah merupakan refleksi atas rekonsiliasi antar etnis dan agama guna membangun pranata sosial-masyarakat yang damai, aman dan sentausa, bebas dari intimidasi, anti penindasan, anti sekterianisme, anti diskriminasi dan anti proteksianisme. Karena itu, wajah Islam semakin fungsional tidak sekedar normatif dan formalitas.
Sosok Islam yang fungsional inilah yang dirindukan oleh masyarakat Yatsrib (golongan Ansor) yang dilanda konflik internal antar warga dan etnis. Kedatangan Muhammad SAW yang berkepribadian luhur dan humanis dan pengikutnya (Muhajirin) sudah barang tentu disambut baik oleh masyarakat Yatsrib (Madinah) yang saat itu masyarakatnya terbilang majemuk (golongan Islam, Yahudi, Nasrani, Paganis serta golongan kafir atau kaum musyrikin). Penghargaan masyarakat Yatsrib kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya sambutan hangat semata, namun juga kepercayaan masyarakat Yatsrib kepada Muhammad SAW untuk memimpin masyarakat yang pluralistik tersebut.
Peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah tersebar dengan cepat. Para sahabat yang telah terlebih dahulu di Madinah tak kuasa menahan rindu kepada pemimpin mereka yang tercinta, Nabi Muhammad SAW.Setiap hari mereka menanti kedatangan Nabi SAW di tapal batas kota Madinah. Akhirnya saat yang dinanti-nanti telah tiba. Rasulullah bersama Abu Bakar As-Shiddiq memasuki kota Madinah dengan selamat.
Seketika wajah kota Madinah berubah total, menjadi bermandikan cahaya lantaran hadirnya sosok yang mulia dan agung, sang pembawa budi pekerti yang luhur yakni Rasulullah SAW.
Kegembiraan warga Madinah tak dapat dilukiskan dengan kata-kata . Mereka menangis bahagia menyaksikan sang Kekasih yang selama ini dirindukan, telah nampak di depan mata. Gejolak rindu yang telah lama terpendam dalam dada tak kuasa lagi terbendung.Mata menangis bahagia, haru penuh rasa cinta menembus sukma.
Anak-anak dan para perempuan yang sudah menjadi penduduk Madinah (kaum Anshor) tampil menabuh rebana sembari melantunkan syair Shalawat Badar sebagai sambutan atas kehadiran sang pembawa risalah Islam pari purna yakni Nabi SAW:
“Thala’al badru ‘alaina
Min tsaniyatil wada’
Wajabsy syukru ‘alaina
Mada’a lillahi da’….
(Telah terbit purnama bersinar dari Bukit Wada’ . Wajiblah kita bersyukur tibanya penyeru ke jalan Allah….)
Banyak gubahan syair saat menyambut kedatangan Rasulullah SAW di hadapan para sahabat banyak dikarang oleh para ulama. Upacara ceremonial maulid Nabi SAW ini banyak dinyanyikan saat Mahalul Qiyam (Shalawat Berdiri) mulai dari Maulid Simthud Durar, Burdah, Barjanji, Ad Dibai, Azhabi, sampai Ad Dhiaul Lami’ semua mengugah dan mengundang kita untuk menghadirkan sosok sang manusia teragung dan mulia Habibuna murrobuna al Musthofa wal wafa Nabiyuna alhady Muhammad SAW.”Marhaban Ahlan wa sahlan….
Yaa Nabiy salaam ‘alaika
Yaa rosuul salaam ‘alaika
Wahai Nabi, salam sejahtera bagimu, wahai Rasul salam sejahtera bagimu
Yaa habiib salaam ‘alaika
Sholawaatullaah ‘alaika
Wahai kekasih salam sejahtera bagimu, Sholawat Allah bagi~mu.
Abrozallaahul musyaffa’
Shoohibul qodril muroffa’
Telah tiba dengan kehendak Allah Sang Pemberi Syafa’at, Pemilik derajat yang dimuliakan
Famalaan~nuurun~nawaahii
‘Amma kullal kauni ajma’
Maka limpahan cahaya memenuhi segala penjuru, meliputi seluruh alam semesta
Nukkisat ashnaamu syirkin
Wa binaas-syirki tashodda’
Maka berjatuhanlah patung patung berhala di ka’bah, dan bangunan kemusyrikan pun roboh
Wa danaa waqtul hidaayah
Wa himaal kufri taza’za’
Dan telah dekatlah waktu hidayah maka benteng kekufuran berguncang, saat saat petunjuk,
Marhaban ahlan wa sahlan
Bika yâ dzal qodril arfa’
Salam sjahteralah dan selamat datang padamu, wahai
Sang pemilik derajat yg mulia.
Ya imaamahlir risaalah
Man bihil aafaatu tudfa’
Wahai imam para rosul, yang dengannya (saw) bencana bencana tertolakkan,
MARHABAN YA MARHABAN YA NUURO ‘AINIY
MARHABAN JADDAL HUSAINI
MARHABAN MARHABAN
Anta fiil hasyri malaadzun
Laka kullul kholqi tafza’
Engkaulah satu satunya tmpat brlindung dihari Qiyamat,
padamulah sluruh ciptaan ketakutan (sangat merisaukan tak mencepatkan Syafa’at dari beliau saw)
Wa yunaaduuna taroo maa
Qod dahaa min hawlin afdho’
Kemudian mereka datang memanggil manggilmu, ketika menyaksikan dahsyatnya kesulitan dan rintangan,
THOLA’AL BADRU ‘ALAINAA
MIN TSANIYYATIL WADAA’
WAJABASY SYUKRU ‘ALAINAA
MAA DA’AA LILLAAHI DAA’
Falahaa anta Fatasjud
Wa tunaadasyfa’ tusyaffa’
Maka mereka itulah engkau (saw) bersujud,(kehadirat Tuhanmu), maka diserukan padamu (oleh tuhanmu) ”berilah Syafa’at, engkau telah diizinkan memberi Syafa’at”
Fa’alaikalloohu shollaa
Maa badaannuuru wa sya’sya’
Maka pada~mu limpahan sholawat dari Alloh, selama keabadian Yang Maha Bercahaya dan masih bersinar terang benderang…
Wa bika~rrohmaanu nas-al
Wa ilaahul ‘arsyi yasma’
Dan denganmu (menjadikanmu sebagai perantara) kami memohon pada Alloh Arrohman, maka pencipta Arsy mendengar do’a kami,
Ya ‘adhiimal manni yaa Robb
Syamlanaa bil musthofaa~jma’
Wahai Maha Pemberi Anugerah wahai Robb,
kumpulkanlah kepribadian kami dgn AlMusthofa (saw)
SHOLLALLAAHU ‘ALAA MUHAMMAD (MARHABAN)
SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM (MARHABAN)
Wa bihi Fandhur ilainaa
Wa’thinaa bih kulla mathma’
Dan dengan nya (saw) maka pandangilah kami dgn kasih sayang Mu, dan berilah kami dengannya (kami menjadikan perantara saw) segala yg kami inginkan,
wakfinaa kullal balaayaa
Wadfa’il aafaati warfa’
Dan hindarkanlah kami dari segala bencana, dan musnahkanlah segala kesulitan, dan angkatlah sejauh jauhnya…
Wasqinaa yaa Robb aghitsnaa (ya Alloh)
Bihayaan hatthooli yahma’ (ya Alloh)
dan siramilah kami (dengan Rahmat~Mu) wahai ROBB
tolonglah kami dgn kehidupan yg dicurahi Lebatnya Hujan Rahmat Mu…
ROBBI FAGHFIRLIY DZUNUUBIY (Ya Alloh)
BI BARKATIL HAADIY MUSYAFFA’ (Ya Alloh)
Wakhtimil ‘umro bihusnaa (Ya Alloh)
Wahsinil’uqbaa wa marja’ (Ya Alloh)
dan akhirilah usia kami dgn Husnul Khotimah, dan. perbaikilah keadaan yang akan datang dan saat kami kembali kepada Mu..
SHOLLALLAH ‘ALA MUHAMMAD
SHOLLALLAH ‘ALAIHI WASALLAM
Wa shollatullohi Taghsyaa
Man lahul husnu tajamma’
dan terlimpah sholawat Alloh bagi yg terkumpul Padanya (saw) segala kebaikan,
Ahmadat thohro wa Aalih
Wash shohaabah massanaasya’
Ahmad (saw) yg suci dan keluarganya, serta Para shohabatnya dengan Sholawat yang selalu bercahaya terang benderang.
Kehadiran Rasulullah SAW serasa ada di depan mata. Rasulullah SAW pun menyambutnya dengan penuh haru dan gembira sebagaimana wujud kegembiraan warga Anshor. Sepanjang hidupnya beliau tidak pernah melarang tetabuhan dan senandung syair yang dipersembahkan warga Madinah dalam menyambut beliau tersebut.
Bahkan beberapa waktu kemudian, ketika beliau tiba dari perang Tabuk, warga Madinah (kaum Anshor) kembali menyambut beliau dengan tetabuhan rebana dan syair shalawat Badr tersebut di atas.
Rasa senang dan gembira warga Madinah akhirnya menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh Madinah dalam menyambut kehadiran Rasulullah SAW, mereka wujudkan dengan senandung syair dan iringan tetabuhan rebana. Dan itu menjadi sunnah—lantaran Rasulullah SAW tidak melarangnya dengan cara mendiamkannya, artinya Rasulullah SAW menyetujui perbuatan yang dilakukan para sahabat dalam menyambutnya.
Dalam sebuah hadist riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad diceritakan , ketika Rasulullah SAW tiba dari sebuah peperangan, seorang budak wanita berkulit hitam legam datang menemui beliau membawa rebana sambil berkata,”Duhai Rasulullah SAW, aku telah bernazar, jika Allah mengembalikan dirimu dalam keadaan selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di hadapanmu.”
Rasulullah SAW kemudian menjawab,”Jika engkau telah bernazar, tunaikanlah nazarmu. Jika tidak, jangan.”
Wanita itupun kemudian menunaikan nazarnya. Ia kemudian menabuh rebana sambil bernyanyi gembira penuh kerinduan di hadapan Rasulullah SAW cukup lama.
Satu demi satu , sahabat utama Rasuullah SAW seperti Abu Bakar As-Shiddiq, Utsman bin Afan dan Ali bin Abu Thalib datang menemui Nabi Muhammad SAW. Tapi, perempuan Anshor itu tetap menabuh rebana dan bernyanyi, sementara sang Nabi SAW tetap mendengarkan dan menikmati lantunan senandung syair dan iringan rebana.
Ketika Umar bin Khattab tiba, perempuan tersebut berhenti dan menyembunyikan rebana dengan mendudukinya. Rupa-rupanya perempuan itu takut dengan sahabat Umar bin Khattab yang dikenal keras dan tegas.
Setelah keempat Khulafaur Rasyidin itu berkumpul di hadapan Rasulullah SAW lu, beliau pun berkata , ”Hai Umar, sesungguhnya setan saja takut kepadamu. Ketika aku duduk, perempuan itu menabuh rebana. Ketika Abu Bakar masuk, ia tetap menabuh rebana. Ketika Ali masuk, ia tetap bernyanyi dan menabuh rebana demikian pun ketika Ustman masuk. Akan tetapi, ketika engkau masuk, hai Umar, wanita itu segera menghentikan dan menyembunyikan rebananya.” (HR Tirmidzi).
Dengan demikian, peristiwa di atas menandakan bahwa Rasulullah SAW tidak melarang kesenian rebana tersebut.Melantunkan syair semasa Rasulullah SAW masih hidup juga pernah dilakukan oleh sayiddina Abbas bin Abdul Muthalib seusai perang Tabuk dan Rasulullah SAW mendiamkannya, artinya beliau tidak melarangnya.
Masyarakat baru tersebut (state) kemudian dideklarasikan dengan nama Madinah al Munawwarah (kota yang disinari/dicerahkan) dengan mengambil ibukota Madinah. Sungguhpun jumlah penduduk dan wilayah yang sedikit namun kokohnya bangunan masyrakat warga Madinah, akhirnya mampu mewarnai konstalasi politik global bangsa-bangsa dunia. Kekokohan masyarakat tersebut dikuatkan dengan kesadaran persaudaraan dan persatuan antar warga yang sangat tinggi sehingga terajut “ukhuwwah imaniyah” atau persaudaraan antar- iman yang meliputi lintas agama dan kepercayaan; di samping juga ukhuwwah wathaniyyah, persaudaraan antar etnis.
Kedamaian dan kemakmran masyarakat Madinah akhirnya menjadi daya tarik tersendiri bagai kawasan lain di Arab. Tidak berapa lama, masyarakat kota Mekkah yang dulu anti-Muhamad SAW dan pengikutnya takluk kepada Madinah tanpa pertumpahan darah. Setelah itu itu satu persatu semenanjung Arabia tertarik dan bergabung di bawah payung pemerintah Madinah. Sampai akhirnya , tatkala Nabi Muhammad SAW wafat, seluruh Semenanjung Arabia sudah menyatu dalam satu pemerintahan. Bahkan di akhir masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, beberapa kawasan di Syam (Syiria), Persia dan Mesir tertarik untuk bergabung bersama pemerintahan Madinah, karena ketiga negara tersebut sudah jenuh ditindas oleh Kaisar Romawi dan Kisro Persia.
Masyarakat mutamaddin sebagai konotasi masyarakat sipil (warga) term bentuk ta’rib (pengaraban) dari masyarakat warga (civil society) merupakan proses tansformasi sosial budaya, sosial politik dan sosial ekonomi pada masyarakat Madinah. Ini merupakan proses transformasi masyarakat sebagai mana yang terjadi di bangsa –bangsa Eropa modern (Civil Society).
Misi Islam, kemudian ditutup pada peistiwa Haji Wada’ satu-satunya ibadah haji yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tepatnya pada tahun 10 Hijriah, Rasulullah SAW niatnya untuk melaksanakan haji pada tahun itu. Begitu terdengar, berbondong-bondong ummat Islam datang ke Madinah hendak mengikuti beliau. Empat hari menjelang habisnya bulan Dzulqo’dah selepas shalat Dzuhur, beliau mulai berangkat dan mulai menunaikan ibadah haji sampai memasuki bulan Dzulhijjah (Haji Qiran).
Tanggal 8 Dzulhijjah, tepatnya hari tarwiyah Rasulullah SAW dalam perjalanan Haji Wada’ pergi ke Mina. Beliau shalat Dzuhur, Ashar , Magrib dan Isya di sana. Setelah beberapa saat hingga matahari terbit, beliau melaksanakan perjalanan hingga Arofah, dimana tenda-tenda sudah di sana. Setelah matahari tergelincir, beliau menunggang unta Al Qashwa hingga tiba di tengah Padang Arafah. Di sana telah berkumpul sekitar 140.000 jamaah haji , dan beliau menyampaikan pidato yang berisi wasiat penting kepada ummat.
“Wahai sekalian manusia, dengarlah perkataanku! Aku tidak tahu pasti, boleh jadi aku tidak akan ketemu kalian lagi setelah tahun ini dalam keadaan seperti ini. Sesungguhnya darah dan harta kalian suci atas kalian, seperti kesucian hari ini, bulan ini dan di negeri kalian ini. Bertaqwalah kepada Allah dan hati-hati terhadap masalah wanita, karena kalian memperistri mereka yang menjadikan mereka halal bagi kalian juga karena amanat dan dengan kalimah Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian , sebagaimana kalian memiliki hak atas mereka. Hak kalian adalah istri kalian tidak boleh mengizinkan orang yang tidak disenangi masuk ke rumah kalian kecuali seizin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai mereka. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin makanan dan pakaian mereka sebaik-baiknya.
Aku telah meninggalkan di tengah mereka sesuatu yang sesuatu yang sekali-kali kalian tidak akan tersesat sesudahnya selagi kalian tetap berpegang teguh kepadanya, yaitu kitab Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Sembahlah Allah, dirikanlah shalat lima waktu, laksanakan puasa Ramadhan, bayarlah zakat dengan sukarela, tunaikanlah haji dan taatilah ulil amri kalian, niscaya kalian masuk sorga.
Tentu kalian bertanya-tanya tentang diriku. Lalu apa yang kalian pertanyakan?
Mereka menjawab,”Kami bersaksi bahwa engkau telah bertabligh melaksanakan kewajiban dan nasehat.”
Lalu bersabda sambil mengacungkan telunjuknya ke langit dan mengarahkannya kepada hadirin,”Ya Allah, persaksikanlah!” (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, 2/265).Orang yang menirukan sabda beliau Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaaf.
Setelah Rasulullah SAW menyampaikan pidato, turunlah QS Al Maidah ayat 3, yang menyatakan bahwa pada hari itu telah sempurnalah nubuwwah (misi kenabian) Muhammad SAW yang merupakan satu rahmat kenikmatan yang tiada tara bagi kaum muslimin berupa agama Islam, yang nyata-nyata telah mendapat Ridha dari Allah SWT Yang Maha Pengasih.
Pidato khutbah selesai. Bilal kemudian mengumandangkan adzan, disusul dengan iqomah dan shalat Dzuhur qashar dan jama’ secara berjama’ah diimami Rasulullah SAW dan diikuti oleh para jama’ah. Begitu selesai shalat Dzuhur, Bilal iqamah lagi untuk melaksanakan jama’ah shalat Ashar. Selesai shalat, dengan menunggang Al Qashwa, beliau menuju tempat wukuf. Di situ beliau menghabiskan wukuf sampai matahari terbenam.
Keremangan senja lambat laun menghilang. Dengan mengendong Usamah, beliau melanjutkan perjalanan menuju Mina. Di sana shalat Maghrib dan Isya dengan satu adzan dan dua iqamah tanpa ada shalat apa pun di antara keduanya, kemudian beliau berbaring sampai fajar menyingsing.
Setelah adzan dan iqamah , beliau lalu menunaikan shralat Subuh dan kemudian beliau naik Al Qashwa menuju Masy’aril Haram. Dengan menghadap qiblat beliau berdoa, bertahlil dan bertakbir meng-Esa kan Allah SWT.
Dari Muzdalifah beliau pergi menuju Mina sebelum matahari terbit dengan membonceng Al Fadhl bin Abbas hingga tiba di Mahsyar. Kemudian jumrah Aqabah, dan beliau melempar jumlah jumrah tersebut dengan 7 butir kerikil, sambil bertakbir pada setiap kali melempar.
Selanjutnya, beliau menuju ke tempat penyembelihan Kurban dan menyembelih 63 ekor unta, selanjutnya memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk melanjutkan penyembelihan sebanyak 37 ekor unta sehingga genap 100 ekor.
Di situ beliau memerintahkan untuk mengambil sebagian daging masing-masing unta, kemudian dimasak dan beliau ikut menikmati masakan itu berikut kuahnya.
Pada waktu Dhuha, di atas punggung bighal, beliau menyampaikan pidato yang ditirukan Sayidinna Ali bin Abi Thalib dengan suara nyaring, yang isinya banyak mengulang isi pidato yang disampaikan sebelumnya. Namun demikian, banyak hal penting yang beliau tambahkan, antara lain:
“Kalian pada waktunya akan menghadap Allah SWT. Dia akan menanyakan amal kalian.Ingatlah jangan kalian kembali sesaat sepeninggalku hingga sebagian kalian memenggal leher sebagian lainnya. Ketahuilah, janganlah seseorang menganiaya diri sendiri (dengan berbuat dosa) , menganiaya anak dan anak menganiaya orang tuanya.Ketahuilah, sesungguhnya syetan sudah putus asa untuk dapat disembah di negeri kalian selamanya. Akan tetapi dia akan ditaati dengan amal-amal yang kaitannya dengan amal-amal kalian remehkan dan dia pun ridha kepadanya.”
Pada hari Tasyriq, beliau di Mina untuk melaksanakan ibadah haji lainnya sembari mengajarkan syariat perihal dzikir kepada Allah, menegakan sunnah-sunnah, mengenyahkan tanda-tanda syirik, amalan syirik dan pengaruhnya. Pada hari tasyriq, beliau menyampaikan pidato yang isinya sama dengan hari-hari sebelumnya.
Anas bin Malik meriwayatkan, pada Hari Senin, ketika kaum muslimin sedang melaksanakan shalat Subuh –sementara sahabat Abu Bakar RA sedang mengimami mereka—Nabi SAW tidak menemui mereka, tetapi hanya menyingkap tabir kamar Aisyah dan memperhatikan mereka yang berada di shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum.
Abu Bakar mundur hendak berdiri di shaf, karena dia mengira Rasululah SAW hendak keluar untuk shalat. Selanjutnya Anas menuturkan bahwa kaum muslimin hampir terganggu di dalam shalat mereka, karena bergembira dengan keadaan Rasulullah SAW.
Namun, beliau memberikan isyarat dengan tangan beliau agar mereka menyelesaikan shalat. Kemudian, beliau masuk kamar dan menurunkan tabir. Setelah itu, Rasulullah SAW tidak mendapatkan waktu shalat lagi.Ketika waktu Dhuha hampir habis, Nabi SAW memanggil Fatimah, lalu membisikan sesuatu kepadanya, dan Fatimah pun menangis. Kemudian memanggilnya lagi dan membisikan sesuatu, lalu Fatimah tersenyum.
Aisyah berkata, setelah itu, kami bertanya kepada Fatimah tentang hal tersebut.
Fatmah Ra menjawab, ”Nabi SAW membisikiku bahwa beliau akan wafat, lalu aku menangis. Kemudian, beliau membisiku lagi dan mengabarkan aku adalah orang pertama di antara keluarga beliau yang akan menyusul beliau.” (Shahihul Bukhari, II: 638).
Nabi SAW juga mengabarkan kepada Fatimah bahwa dia adalah kaum wanita semesta alam.Fatimah melihat penderitaan berat yang dirasakan oleh Rasulullah SAW sehingga dia berkata,”Alangkah berat penderitaan ayah!” tetapi beliau menjawab,”Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita lagi.”
Beliau memanggil Hasan dan Husain, lalu mencium keduanya, dan berpesan agar bersikap baik kepada keduanya. Beliau juga memanggil istri-istri beliau, lalu beliau memberi nasehat dan peringatan kepada mereka.
Sakit beliau semakin parah, dan pengaruh racun yang pernah beliau makan (dari daging yang disuguhkan oleh wanita Yahudi) ketika di Khaibar muncul, sampai-sampai beliau berkata,”Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit karena makanan yang kumakan ketika di Khaibar. Sekarang saatnya aku merasakan terputusnya urat nadiku karena racun tersebut.”
Beliau juga memberi nasehat kepada orang-orang ,”(perhatikanlah) shalat; dan budak-budak yang kalian miliki!” Beliau menyampaikan wasiat ini hingga beberapa kali.
Tanda-tanda datangnya ajal mulai tampak. Aisyah menyandarkan tubuh Rasulullah ke pangkuannya.Aisyah lalu berkata,” Sesunguhnya di antara nikmat Allah yang dikaruniakan kepadaku adalah bahwa Rasulullah SAW wafat di rumahku, pada hari giliranku, dan di pangkuanku, serta Allah menyatukan antara ludahku dan ludah beliau saat beliau wafat. Ketika aku sedang memangku Rasulullah SAW, Abdurahman dan Abu Bakar masuk dan di tangannya ada siwak. Aku melihat Rasulullah SAW memandanginya, sehingga aku mengerti bahwa beliau menginginkan siwak. Aku bertanya ,’Kuambilkan siwak itu untukmu?’
Beliau memberi isyarat “ya” dengan kepala, lalu kuambilkan siwak itu untuk beliau. Rupanya siwak itu terasa keras bagi beliau, lalu kukatakan,’kulunakkan siwak itu untukmu?’ Beliau memberi isyarat”ya” lalu kulunakkan siwak itu. Setelah itu aku menyikat gigi beliau dengan sebaik-baiknya siwak itu. Sementara itu, di hadapan beliau ada bejana berisi air. Beliau memasukan kedua tangannya ke dalam air itu, lalu mengusapkannya ke wajah seraya berkata,’La ilaha illallah, sesungguhnya kematian itu ada sekarat nya.” (Shahih Bukhari II, 640).
Seusai bersiwak, beliau mengangkat kedua tangan beliau yang mulia, atau jari-jarinya mengarahkan pandangannya ke langit-langit, dan kedua bibirnya bergerak-gerak. Aisyah mendengarkan apa yang beliau katakan itu, beliau berkata,”Ya Allah ampunilah aku; Rahmatillah aku; dan pertemukan aku dengan Kekasih yang Maha Tinggi. Ya Allah, Kekasih Yang Maha Tinggi.” (Ad Darimi, Misykatul Mashabih, II: 547)
Beliau mengulang kalimat terakhir tersebut sampai tiga kali, lalu tangan beliau lunglai dan beliau kembali kepada Kekasih Yang Maha Tinggi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Peristiwa ini terjadi ketika waktu Dhuha sedang memanas, yaitu pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H. Ketika itu beliau berusia 63 lebih empat hari.
Apa makna yang paling mendalam dari peristiwa Haji Wada’ tersebut? Prof. Dr. Said Agil Siradj, Ketua PBNU Pusat Jakarta menyatakan dalam peristiwa akbar tersebut, Nabi menyampaikan Khutbah Wada’ (perpisahan) pada puncak ibadah haji, saat wukuf di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 10 H (16 Februari 631 M). Sementara beliau wafat dan dimakamkan di Madinah 3 hari setelah khutbah haji Wada’. Diantara isi khutbah itu adalah “Ayyuhan-naas, inna dimaakum wa amwalakum wa a’radlakum haramun alaikum, ka-hurmati yaumikum hadza, fi syahrikum hadza, fi badikum hadza,” wahai manusia, sungguh darah, harta dan kehormatan kalian sangat dimuliakan, sebagaimana mulianya hari ini (Arafah), bulan ini (Dzulhijjah) dan negeri ini (Mekkah).
Dari teks khutbah haji wada’ di atas, mengindikasikan bahwa kesempurnaan keislaman seseorang haruslah disertai upaya penghormatan atas jiwa dan menghindarkan segala bentuk kekerasan dan intimidasi, penghormatan atas hak milik (property) serta profesi seseorang. Ringkasnya dalam konteks saat ini adalah penghormatan atas nilai-nilai hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dalam ajaran Islam, dimana nilai-nilai pluralisme dan HAM tersebut menjadi pilar sangat penting bagi masyarakat sipil dalam konteks mengisi kehidupan bangsa dan negara.
Dengan demikian, pekerjaan menuju dan sekaligus membangun masyarakat mutamaddin bukanlah sesuatu yang mudah, sebab sekitar 14 abad yang lampau Nabi Muhammad SAW juga mengalami masa tantangan dan hambatan. Bahkan prosesi abad pencerahan di benua Eropa sebagai proses pemberdayaan masyarakat sipil (warga) atau civil society juga mengalami jalan panjang yang berliku. Dalam konteks di Indonesia sejak sekitar 70 tahun kemerdekaan RI, proses transformasi sosial budaya mengalami tiga masa kemandekan sistem pendidikan politik, sosial dan budaya yang berlarut-larut.
Bangunan kosmotalisme masyarakat mutamaddin akan terwujud bila pertama, proses transformasi budaya, masyarakatnya harus sudah memiliki komitmen yang tinggi atas pembersatuan yang hakiki. Langkah kedua, untuk menuju transformasi sosial politik haruslah semakin diberdayakan pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat.Ketiga harus disadarinya bahwa kemajemukan adalah keharusan sejarah, 4 pilar demokrasi Indonesia mulai dari Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika adalah sesuatu yang final meningkat seluruh komponen Bangsa Indonesia
Ini sesuai dengan firman Tuhan, ”fa-bima rahmatin minallahi linta la-hum, walau kunta fadh-dhan ghalidlal qalbi lan fadl-dluu min-haulik, fa’fu ‘an-hum wastaghfir la-hum wa syaawir-hum fil amri, fa-idza ‘azamta fa-tawakal ‘alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin” (QS Ali Imran 159), artinya “maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya, kamu bersikap arogan lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Cinta Nabi SAW
Salah satu hadits yang terkenal mengungkapkan betapa penting kecintaan kaum muslimin pada Rasulullah SAW. Sabda beliau, “Tidak sempurna iman seorang di antara kamu sebelum ia lebih mencintai aku daripada mencintai ibu-bapaknya, anaknya, dan semua manusia” (HR Bukhari).
Memang, mencintai Rasulullah SAW merupakan salah satu bukti keimanan seorang muslim. Sebaliknya, iman pulalah yang membuat para sahabat sangat setia mendampingi beliau, baik dalam susah maupun senang, dalam damai maupun perang. Kecintaan itu bukan hanya di lidah, melainkan terwujud dengan perbuatan nyata.
Betapa cinta sahabat kepada Rasulullah SAW, tergambar ketika Rasulullah SAW bersama Abu Bakar ash-Shiddiq beristirahat di Gua Tsur dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi. Kala itu Rasulullah SAW tertidur berbantalkan paha Abu Bakar. Tiba-tiba Abu Bakar merasa kesakitan karena kakinya digigit kalajengking. Tapi, dia berusaha sekiat tenaga menahan sakit, hingga mencucurkan air mata, jangan sampai pahanya bergerak—khawatir Rasulullah SAW terbangun.
Salah seorang sahabat, Zaid bin Datsima, tak gentar menghadapi ancaman kaum kafir karena begitu luar biasa kecintaannya kepada Rasulullah SAW. Ketika itu, ia sempat disandera oleh kaum musyrik Makkah dan akan dibunuh. ”Hari ini, tidakkah engkau berharap Muhammad akan bersama dengan kita sehingga kami dapat memotong kepalanya, dan engkau dapat kembali kepada keluargamu?” kata Abu Sufyan kepadanya.
“Demi Allah, aku tidak berharap sekarang ini Muhammad berada di sini, di mana satu duri pun dapat menyakitinya – jika hal itu menjadi syarat agar aku dapat kembali ke keluargaku,” jawab Zaid tegas. “Wah, aku belum pernah melihat seorang pun yang begitu sayang kepada orang lain seperti para sahabat Muhammad menyayangi Muhammad,” sahut Abu Sofyan.
Kisah kecintaan sahabat kepada Rasulullah SAW banyak diungkapkan dalam sejarah. Salah satunya ditunjukan oleh Umar bin Khatthab. ”Ya, Rasulullah. Aku mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali jiwaku,” kata Umar. Mendengar itu, Rasulullah SAW menjawab, ”Tak seorang pun di antara kalian beriman, sampai aku lebih mereka cintai daripada jiwamu.”
”Demi Dzat yang menurunkan kitab suci Al-Quran kepadamu, aku mencintaimu melebihi kecintaanku kepada jiwaku sendiri,” sahut Umar spontan. Maka Rasulullah SAW pun menukas, ”Wahai Umar, kini kamu telah mendapatkan iman itu” (HR Bukhari).
Hari Kiamat
Penghormatan dan pemuliaan terhadap Rasulullah SAW memang merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah, “Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan-Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang (QS Al Fath : 8-9).
Sebuah ayat menekankan pentingnya kecintaan terhadap Allah SWT dan Rasulullah SAW, ”Katakanlah (wahai Muhammad), jika ayah-ayahmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta kekayaanmu, perdagangan yang kamu kekhawatirkan kerugiannya, dan rumah yang kamu senangi, lebih kalian cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang-orang fasik” (QS At-Taubah: 24).
Kecintaan kaum muslimin kepada Rasulullah SAW juga merupakan faktor penting bagi keselamatannya di hari kiamat kelak. Hal itu terungkap ketika suatu hari seorang sahabat bertanya kepada rasulullah SAW, ”Kapankah datangnya hari kiamat?” Maka jawab Rasulullah SAW, ”Apa yang sudah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Jawab sahabat itu, “Saya tidak mempersiapkannya dengan banyak shalat, puasa, dan sedekah, tapi dengan mencintaimu dalam hati.” Lalu, sabda Rasulullah SAW, ”Insya Allah, engkau akan bersama orang yang engkau cintai itu.”
Menurut Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Shafwan, dan Abu Dzar, Rasulullah SAW telah bersabda mengenai seseorang yang dengan tulus mencintainya, ”Seseorang akan berada di Yaumil Mahsyar bersama orang yang dicintainya.” Mendengar itu, para sahabat sangat berbahagia karena mereka sangat mencintai beliau.
Suatu hari seorang sahabat hadir dalam suatu majelis bersama Rasulullah SAW, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku saya mencintaimu lebih dari mencintai nyawa, harta dan keluargaku. Jika berada di rumah, aku selalu memikirkanmu. Aku selalu tak bersabar untuk dapat berjumpa denganmu. Bagaimana jadinya jika aku tidak menjumpaimu lagi, karena engkau pasti akan wafat, demikian juga aku. Kemudian engkau akan mencapai derajat Anbiya, sedangkan aku tidak?”
Mendengar itu Rasulullah terdiam. Tak lama kemudian datanglah Malaikat Jibril menyampaikan wahyu, ”Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Mereka adalah sebaik-baik sahabat, dan itulah karunia Allah Yang Maha Mengetahui” (QS An-Nisa : 69-70).
Kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW inilah pula yang menggerakkan mereka menyebarkan berdakwah ke seluruh penjuru dunia.
Kecintaan luar biasa kepada Rasulullah SAW itu tergambar pada diri seorang perempuan—beberapa saat usai Perang Uhud. Dia baru saja kehilangan ayah, kakak laki-laki dan suaminya yang gugur sebagai syuhada. Ia bukannya meratapi mereka, tapi menanyakan nasib rasulullah SAW, ”Apa yang terjadi pada diri Rasulullah, semoga Allah memberkati dan melimpahkan kedamaian kepadanya.”
”Nabi baik-baik saja sebagaimana engkau mengharapkannya,” jawab para sahabat. Lalu kata perempuan itu lagi, “Tunjukanlah dia kepadaku hingga aku dapat memandangnya.” Kemudian para sahabat menunjukan posisi Rasulullah SAW. “Sungguh, kini semua deritaku tak ada artinya. Sebab, engkau selamat,” kata perempuan itu kepada Rasulullah SAW.
”Mereka yang mencintaiku dengan sangat mendalam adalah orang-orang yang menjemputku. Sebagian dari mereka bersedia mengorbankan keluarga dan kekayaannya untuk berjumpa denganku,” sabda Rasulullah SAW sebagaimana diceritakan oleh Abu Hurairah (HR Muslim, Bukhari, Abu Dzar).
Betapa kecintaan sahabat Bilal kepada Rasulullah SAW, terungkap menjelang ia meninggal. Bilal melarang isterinya bersedih hati, sebab, katanya, “Justru ini adalah kesempatan yang menyenangkan, karena besok aku akan berjumpa dengan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.” Wafatnya Rasulullah SAW merupakan kesedihan luar biasa bagi para sahabat dan pencintanya. Dikisahkan, ada seorang perempuan yang menangis di makam Rasulullah SAW sampai ia meninggal.
Demikianlah gambaran betapa luar biasa kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW. Untuk mengungkapkan rasa cinta itu, sewajarnyalah jika kaum muslimin meneladani akhlaq beliau, menerapkan sunnahnya, mengikuti kata-kata dan seluruh perbuatannya, menaati perintah dan menjauhi larangannya.
Itulah cinta sejati, sebagaimana perintah Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 31: “Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (*****)
Islam diakui sebagai agama yang istimewa karena hal ini oleh Allah sendiri telah dinyatakan sebagai agama paripurna dan membentuk insane-insan yang mulia. Inilah dinnul Islam yang lurus , agung , sempurna, abadi dan universal. Tentu saja agama yang sempurna ini hanya mampu dibawa oleh seorang utusan yang mulia dan sempurna pula. Utusan yang mengemban agama Tuhan yang terakhir ini adalah nabi terakhir, Sayidunna Muhammad SAW.
Kekaguman kepada Rasulullah SAW tidak hanya diakui oleh orang Islam sendiri, namun dunia Barat juga mengakuinya, sebagaimana mereka tulis dalam buku-buku mereka. Adalah sarjana Barat Michael H Hart salah satu ilmuwan barat yang mengakui dan mengagumi Rasulullah SAW, ia tulis dalam bukunya “The 100 a Ranking of The Most Influential Person in History,” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul,”Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah,” dia menempatkan nama Nabi Muhammad SAW pada rangking pertama. Dia menjatuhkan pilihan kepada Nabi Muhammad SAW pada urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh tentu mengejutkan para pembacanya dan menjadi tanda Tanya sebagian yang lain.
“Tapi saya berpegang pada keyakinan saya , dia (Nabi Muhammad SAW-red) satu-satunya manusia dalam sejarah yang meraih sukses luar biasa , baik ditilik dari sisi agama ataupun lingkup duniawi,” demikian alasan Michael H Hart sang penulis buku.
Kelahiran Sang Nabi
Banyak kejadian yang luar biasa sebagai tanda kenabian yang terjadi saat Nabi Muhammad SAW dilahirkan.
Kelahiran anak laki-laki bagi bangsa Arab merupakan kebanggaan tersendiri. Abdul Muthalib pada hari itu bergembira ria. Hari itu, Senin pagi, 9 Rabiul Awal (22 April 571 M) yang bertepatan dengan tahun pertama peristiwa pasukan gajah Raja Abrahah meyerang kota Mekkah.
Lalu dengan diliputi senyum sumringah dan diliputi kegembiraan yang luarbiasa Abdul Muthalib membawa cucunya ke Ka’bah. Abdul Muthalib berdoa kepada Allah dan bersyukur kepadanya dan ia menamakannya Muhammad. Karena Nama ini tidak populer dan belum dikenal oleh bangsa Arab.
Orang yang pertama kali menyusuinya adalah sang ibu, Siti Aminah dan Tsuaibah. Tsuaibah adalah budak, Abu Lahab yang saatu tengah menyusui anaknya yang bernama Masruh.
Memang sudah menjadi kebiasaan orang arab yang hidup di kota adalah mencari para ibu yang menyusui agar bisa menyusui anak-anak.Tujuan mereka adalah menjauhkan anak-anak dari penyakit-penyakit peradaban dan sekaligus memperkuat fisik anak-anak serta agar mereka sejak kecil bisa mempelajari bahasa Arab. Muhammad SAW tidak hanya disusui oleh Tsuaibah, namun oleh Abul Muthalib, sang paman, ia disusui juga oleh seorang wanita dari bani Sa’d bin Bakr yaitu Halimah binti Abi Dzuaib, istri dari Al Haris bin Abdil Uzza.
Banyak kejadian aneh saat menyusui putra Siti Aminah itu. Saat Halimah bersama suami dan anaknya yang masih menyusu pergi dari kampung dalam rombongan bani Sa’d mencari anak-anak susuan di musim panas dan kering kerontang.
Halimah berkata,”Aku keluar dengan mengendarai keledai putihku. Kami membawa onta kami yang sudah tua. Demi Alloh, onta tersebut tidak mengalirkan air susu setetespun. Semalaman kami tidak bisa tidur karena bayi kami menangis terus menerus karena kelaparan. Air susuku tidak dapat mengenyangkannya dan onta kami pun tidak dapat memberikan air susunya. Kami hanya mengharapkan pertolongan,”pikir Halimah seorang diri.
Halimah lalu keluar dengan mengendarai keledai putih hingga sang keledai kelelahan dan merasa kepayahan. Setelah sampai di Mekkah, Halimah lalu menacari anak-anak sususan. Setiap dari rombongan bani Sa’d itui lalu mencari anak-anak susuan setiap dari wanita-wanita itu tidak ada yang mau menyusui Rasulullah SAW, dikarena ia anak yatim. Sebab mereka mnyusui anak-anak atau bayi yang baru lahir karena mengharapkann kebaikan dari bapak anak-anak yang disusukannya.
Sebagian dari wanita kaum Sa’d itu mengatakan,”Yatim! Apa yang akan diperbuat ibu dan kakeknya?”
Sehingga semua angggota rombongan pun tidak ada yang menginginkannya. Setelah semua hampir siap berangkat pulang, Halimah tiba-tiba berkata pada sang suami yakni Al Haris bin Abdil Uzza, ”Demi Allah, saya tidak suka pulang di tengah sahabat-sahabatku dengan tidak membawa anak susuan.Saya akana membawa anak yatim tersebut dan akan saya ambil.“
Al Haris bin Abdil Uzza llau menjawab, “Boleh saja hal itu kamu lakukan. Semoga Allah memberikan barakah pada dirinya untuk kita.”
Selanjutnya Halimah mengatakan,” Aku pun mendatanginya dan mengambilnya. Tidak ada satupun yang mendorongku untuk membawa kecuali karena tidak ada bayi lagi selain dia (Muhammad SAW) yang saya dapati.”
Lepas semua sudah mendapat bayi susuan, rombongan pulang ke kampung halamanya dengan cepat.
Aneh, begitu sampai di rumah, kambing-kambing Al Haris bin Abdil Uzza yang tadinya tidak mengeluarkan susu, setelah ada bayi Muhammad SAW kambing-kambing utu dapat mengeluarkan susu. Tanah dan tempat tinggal mereka yang semula tandus dan kering kerontang berubah menjadi padang rumput yang menghijau dan tanaman-tanaman pun berbuah banyak. Kejadian itu berlangsung sampai 2 tahun lamanya.
Setelah berumur dua tahun, Muhammad SAW dibawa ke ibunya di Mekkah sementara Halimah dan Al Haris bin Abdil Uzza. Sebenarnya masih ingin memelihara dan mengasuh Muhammad SAW. Setelah berbincang dengan Siti Aminah, akhirnya Ibunda Muhammad SAW melepaskan kembali sang anak tampan itu untuk kembali diasuh oleh Halimah. Apalagi di Mekkah saat itu banyak terjangkiti penyakit berbahaya.
Demikianlah, Rasulullah SAW sampai berumur 5 tahun diasuh oleh Halimah hidup dan tinggal bersama di tengah-tengah bani Sa’d. Pada umur lima tahun itu pula Muhammad SAW dibelah dadanyna oleh Jibril saat ia bermain-main anak-anak lainnya.
Beliau dibawa Jibril pergi lalu dibaringkan, dibelah dadanya dan dikeluarkan hatinya. Dari hati beliau diambil segumpal darah hitam. Jibril berkata,” Ini lah bagian setan yang ada di dalam tubuhmu.”
Hati beliau lalu dicuci dengan zam-zam dalam sebuah baskom emas, lalu diletakan kembali ke tempat semula, lalau dada beliau ditutup kembali. Sementara itu, anak-anak yang bermain bersama beliau lari menemui ibu susunya memberitahukan bahwa Muhammad SAW dibunuh orang. Semua anggota keluarga mendatanginya dan mereka mendapati Muhammad SAW dalam keadaan pucat.
Setelah peristiwa tersebut, Halimah khawatir terhadap Muhammad SAW. Ia lalu mengembalikannya ke pada sang Ibu kandung saat Muhammad SAW berumur enam tahun. (Sumber referensi : Sejarah Hidup Muhammamad; Sirah Nabawiyah Syaikh Shafiyur Rahman Al Mubarakfury), Robbani Press).
Sedemikian tinggi kedudukan agung Rasulullah SAW sehingga orang non muslim seperti Michael H Hart pun sebagai sejarahwan besar kontemporer mengakui dan kita atas umat Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk mengikuti dan menjadikannya suri tauladan , karena inilah makna dari beriman kepada Nabi Muhammad SAW termasuk mengamalkan al Qur’an dan al Hadist menjadi bagian pokok dari tanggung jawab untuk mencontoh dan mengikuti ajaran beliau.
Adalah sunnah-sunnah beliau yang dahulu kita tinggalkan, mulailah kita hidupkan kembali termasuk upaya untuk mengikuti beliau. Kewajiban kita adalah mendahulukan sunnah-sunnah beliau di atas nalar pemikiran. Jangan sampai mempertentangkan dengan Allah SWT sebab tidak mungkin beliau menyimpang dari pada ajaran syariat Allah SWT. Selain itu beliau adalah Nabi terakhir sebagai utusan Allah kepada ummat manusia sepanjang masa.
Jika pada zaman ini ada yang mempertentangkan Sunnah insan kamil ini dengan Allah SWT atau dengan al Qur’an maka sudah barang tentu orang tersebut telah terseret dalam kesesatan aqidah. Sebab tidak mungkin dan mustahil seorang utusan seperti beliau berpertentangkan dengan Allah dan tidak mungkin pula syariat yang dibawanya menyimpang dari tuntunan Illahy.
Setiap kata yang terucap dari lisannya, perbuatan dan perangainya berada dalam bingkai syari’at dan tentunya itu semua datang dari Allah SWT yang telah mengutus beliau sebagai Nabi. Hal ini senada dengan penjelasan Allah dalam Al Qur’an, ”Dan tidakla Dia (Nabi Muhammad SAW) berbicara dengan hawa nafsu (keinginan dirinya semata), ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diturunkan (kepadanya).” (QS An-Najm; 3-14).
Maka semua akhlaq Rasulullah adalah yang terbaik, perkataannya adalah paling utama. Dengan mengikuti jejak Sang Insan Kamil ini dapat dipastikan kita akan mendapat kebahagiaan dunia akherat.
Ayat Al Qu’ran paling sarat memuji Nabi Muhammad SAW adalah ayat berbunyi wa innaka la’ala khuluqin ‘azhim, yang artinya sesungguhnya engkau (hai Muhammad ) memiliki akhlak yang sangat agung. Kata khuluq berarti akhlak secara linguistik mempunyai akar kata yang sama dengan khalq yang berarti cipataan. Bedanya kalau kalau khalq lebih bermakna cipataan Allah yang bersifat lahiriah dan fisikal, maka khuluq adalah ciptaan Allah yang bersifat batiniah.
Seorang sahabat pernah mengenang Nabi Muhammad SAW yang mulia dengan kalimat kana rasulullah ahsanan nasi khalqan wa khuluqan, bahwa Rasulullah SAW adalah manusia yang terbaik secara khalq dan khuluq. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW adalah manusia sempurna dalam segala aspek, baik lahiriah maupun batiniah.
Kesempurnaan lahiriah beliau sering kita dengar dari riwayat para sahabat yang melaporkan tentang sifat-sifat beliau. Hindun bin Abi Halah misalnya mendeskripsikan sifat-sifat lahiriah beliau bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang manusia yang sangat anggun, yang wajahnya bercahaya bagaikan bulan purnama di saat sempurnanya. Badannya tinggi sedang.
Postur tubuh Nabi tegap. Rambutnya ikal dan panjang tidak melebihi daun telinganya. Warna kulitnya terang. Dahinya luas. Alisnya memanjang halus, bersambung dan indah. Sepotong urat halus membelah kedua alisnya yang akan timbul saat marahnya. Hidungnya mancung sedikit membengkok, yang bagian atasnya berkilau cahaya. Janggutnya lebat, pipinya halus. Matanya hitam. Mulutnya sedang. Giginya putih tersusun rapi. Dadanya bidang dan berbulu ringan. Lehernya putih, bersih dan kemerah-merahan. Perutnya rata dengan dadanya.
Bila berjalan, jalannya cepat laksana orang yang turun dari atas. Bila menoleh, seluruh tubuhnya menoleh. Pandangannya lebih banyak ke arah bumi ketimbang langit, sering merenung. Beliau mengiringi sahabat-sahabatnya di saat berjalan, dan beliau jugalah yang memulai salam.
Deskripsi para sahabat Nabi tentang sifat-sifat manuisa agung seperti ini sangat banyak. Namun ada yang fokus dari al-Qur’an tentang gambaran sifat Nabi Muhammad SAW. Lalu apa yang menjadi fokus pandangan al-Qur’an terhadap Nabi? Jawabnya adalah khuluq-nya alias akhlaqnya. Apa arti akhlak?
Kata Imam al-Ghazali, akhlak adalah wajah batiniah manusia. Ia bisa indah dan juga bisa buruk. Akhlak yang indah disebut al khuluq al hasan; sementara akhlak yang buruk disebut al khuluq as-sayyi. Akhlak yang baik adalah akhlak yang mampu meletakan secara proporsional fakultas-fakultas yang ada di dalam jiwa manusia. Ia mampu meletakkan dan menggunakan secara adil fakultas-fakultas yang ada dalam dirinya: ‘aqliyah (rasio), ghadabiyah (emosi), syahwaniyyah (syahwat) dan wahmiyah (imajinasi).
Manusia yang berakhlak baik adalah yang tidak melampui batas dalam menggunakan empat fakultas di atas dan tidak mengabaikannya secara total. Ia akan sangat adil dan proposional di dalam menggunakan fakultas yang ada dalam dirinya.
Orang yang menyandang khuluq al-hasan adalah orang yang mampu meletakan secara proposional dalam membagi secara adil mana hak dunia dan hak akhiratnya. Orang yang menyandang sifat ini akan memantulkan suatu bentuk sangat indah lahiriah di dalam segala aspek kehidupan sehari-hari. Akhlak seperti inilah yang ditunjukan Rasulullah SAW kepada umatnya.
Akhlak Nabi Muhammad SAW adalah cerminan al Qur’an. Bahkan beliau sendiri adalah Al Qur’an hidup yang hadir di tengah-tengah umat manusia. Membaca dan menghayati akhlak beliau berarti membaca dan menghayati isi kandungan Al Qur’an. Itulah kenapa Siti Aisyah berkata akhlaq Nabi adalah al-Qur’an.
Sebagai Rahmat.
“Selain sebagai kekasih Allah (habibullah), Rasulullah memiliki peran sebagai penyebar rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin). Kedudukan spesial Nabi dengan Allah banyak disebutkan dalam al-Qur’an.” KH Musthofa Aqil, Cirebon Jawa Barat.
Dalam kesempatan itu juga KH Musthofa Aqil mengajak untuk meneladani akhlak Nabi. “Nabi Muhammad SAW tidak saja sayang kepada manusia namun juga kepada hewan. Ini sebagai bukti, beliau sebagai rahmatan lil alamin, rahmat bagi alam semesta,” lanjut Kiai Musthofa.
Ia lalu mengisahkan seorang laki-laki lewat di sisi Nabi Muhammad SAW dengan membawa seekor kijang hasil tangkapannya. Lalu Allah SWT yang berkuasa atas semua makhluk-Nya, telah menjadikan kijang itu berbicara kepada Nabi Muhammad SAW. Selepas Kijang itu mengucapkan salam, lalu sang kijang melanjutkan percakapannya.
“Wahai Pesuruh Allah, sesungguhnya aku mempunyai beberapa anak yang masih menyusu, dan sekarang aku sudah ditangkap sedangkan anak-anakku kelaparan,” kata kijang itu meminta belas kasihan.
Rasulullah SAW yang mampu mengerti bahasa kijang itu lantas berdialog dengan si kijang. “Apakah yang engkau harapkan dariku?” tanya Rasulullah SAW.
“Tolong perintahkan orang ini melepaskan aku supaya aku dapat menyusui anak-anakku dan sesudah itu aku akan kembali kemari,” janji kijang itu dengan sangat memohon.
“Bagaimana kalau engkau tidak kembali lagi ke sini?” tutur Rasululah SAW.
“Kalau aku tidak kembali kemari, nanti Allah SWT akan melaknatku sebagaimana ia melaknat orang yang tidak mengucapkan shalawat bagi engkau apabila disebut nama engkau di sisinya,” janji kijang itu.
Lalu Nabi Muhammad SAW pun bersabda kepada orang itu untuk melepaskan kijang itu buat sementara waktu.
Tanpa banyak berpikir lagi si pemburu memenuhi permintaan Rasulullah Saw. Setelah dilepas oleh si pemburu, kijang itu lari kencang meloncat-loncat kegirangan di padang pasir sambil terus berkata,”Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Anda adalah utusan Allah.”
“Demikianlah betapa kasih sayang Rasulullah SAW kepada sang Kijang menunjukan bahwa beliau sayang kepada hewan, apalagi kepada manusia. Sungguh Rasulullah SAW memberikan rahmat kepada alam semesta dan isinya,” terang KH Musthofa ‘Aqil yang juga menantu KH Maemoen Zubair, Sarang Rembang mengungkap akhlaq Nabi SAW.
Hijrah
Hijrah adalah berasal dari kata Bahasa Arab darikata hajara, yang artinya memutuskan hubungan, pindah , meninggalkan sesuatu yang lalu pindah kepada tempat yang lain
Dalam arti umum, hijrah adalah meninggalkan tempat tinggal dan pindah ke tempat yang baru. Dalam Islam menjadi istilah yang populer , yakni berpindahnya kaum muslimin dari kota Mekkah ke tempat lain. Hijrah ini paling tidak tiga kali dilakukan oleh kaum muslimin. Tetapi Islam memberikan arti yang lebih luas mengenai hijrah ini, yaitu meninggalkan yang jelek dan berpindah ke hal yang baik demikian HAMKA bertamsil dalam Tasawuf Modern, (Gunung Agung;1976).
Seseorang yang meninggalkan suatu paham atau kepercayaan (katakanlah misalnya kepercayaan kebatinan). Kemudian ditinggalkannya dan lalu mengikuti faham lain (misalnya : agama Islam) dapat juga disebut sebagai orang ber-hijrah, yaitu hijrah dari suatu kesesatan menuju ke kebenaran. Seseorang yang biasanya berperilaku jelek, buruk, jahat tidak terpuji kemudian meninggalkan semua perilaku yang serba negatif tersebut dan menggantinya dengan perilaku yang baik , terpuji bermanfaat maka orang tersebut dapat jug adisebut sebagai orang yang berhijrah dari perilaku jelek dan berpindah menjadi berperilaku baik. Rasulullah SAW menjelaskan dalam lewat salah seorang sahabat yang bertanya kepada beliau, ”Hai Nabi Allah, hijrah yang manakah yang baik?” Rasulullah SAW menjawab, ”Apabila kamu meninggalkan sesuatu yang jelek.”
Hadist di atas memang hanya begitu. Ini dapat diartikan , bahwa hijrah yang paling baik itu setidaknya meninggalkan segala sesuatu yang buruk. Tentunya langkah berikutnya adalah,”berpindah kepada hal yang baik.” Namun bila hanya meninggalkan yang buruk saja lalu diam, cukup lah artinya walau kemudian tidak berpindah ke hal yang baik, bersikap diam tidak melakukan yang jelek itu pun sudah dinilai “baik” dalam arti minimal. Seperti kata pepatah: Dari pada berbuat jelek lebih baik diam.
Kata hijrah mempunyai ciri: berpindah. Sifat yang mendominasi adalah adanya peningkatan dari sifat negatif ke sifat yang positif. Jadi hijrah dilakukan untuk mengadakan perbaikan atau penyempurnaan bukan sebaliknya. Secara langsung maupun tidak Allah SWT menyarankan agar manusia jangan terpaku di suatu tempat saja karena bumi Allah ini sangat luas. Ini berarti kita disarankan memilih tempat yang menguntungkan bagi kita, kalau memang tempat yang kita huni tidak menyenangkan.
Firman Allah SWT tersebut disebut dalam QS Anissa ayat 97 dan 100. Serta dalam QS Az-Zummar ayat 10 yang artinya,”Sesungguhnyua orang-orang diwafatkan oleh Malaiakat dalam keadaan menganiaya dirinya sendiri (tidak mau hijrah) , maka Malaikat bertanya kepada mereka,”Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab ,”Kami adalah orang –orang yang tertindas di negeri ini.” Para malaikat berlata,’Bukankah bumi Allah itu luas, maka hijrahlah atau pindahlah ke mana pun di bumi ini.’ Orang –orang tersebut tempatnya adalah dalam jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An Nisa : 97).
Dalam agama Islam hijrah mempunyai pengertian tersendiri, karena kaum muslimin memang beberapa kali melakukan hijrah yaitu berpindah tempat tinggal atau tempat bermukim dalam rangka mencari kondisi yang lebih baik atau lebih menguntungkan dan menyenangkan. Khususnya pindah dari kota Mekkah ke tempat lain. Hijrah menurut ajaran Islam harus dilakukan karena mencari ridha Allah bukan untuk mencari sesuatu yang lain. Menurut Sabda Rasulullah SAW, barang siapa yang berhijrah dengan niat mencari wanita atau harta yang diinginkan tersebut.
Bunyi hadist ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab, dari Amirul Mukminin Abu Hafs Umar bin Khattab ra ia berkata,”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,’Bahwasannya smua amal perbuatan itu tergantung pada niatnya , dan bahwasaannya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya , dan barangsiapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya itu hanya memperoleh apa yang diniatkannya itu.”
Jadi jelas, bahwa perpindahannya dari suatu tempat ke tempat lain atau dengan kata lain berhijrah, diijinkan dalam Islam, dan insya Allah apa yang akan kita peroleh adalah apa yang diniatkan. Niat yang paling baik adalah mencari Ridha Allah SWT.
Hijrah Muslimin
Sejak masa permulaan Rasulullah SAW mengajarkan agama Islam, banyak mendapat tantangan dari kaum Quraisy penduduk Mekkah. Hanya belas orang saja yang mau menerima Islam. Karena itu penduduk Mekkah yang menolak ajaran dalam Islam mengadakan tekanan, ancaman, dan siksaan kepada orang-orang yang mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Sebab mereka dianggap telah melanggar atau merusak agama nenek moyang mereka.
Ancaman , tekanan dan siksaan penduduk Mekkah yang tidak menyukai agana Islam tersebut (kemudian kita sebut sebagai kaum kafir Quraisy) dirasakan sangat berat bagi belasan orang yang telah masuk Islam ke tempat lain. Karena itu mereka memohon ijin kepada Rasulullah SAW untuk hijrah ke tempat lain. Rasulullah SAW mengijinkan dan atas saran Abu Thalib lalu Rasulullah SAW menyuruh mereka pergi ke Habsyi (Abessinia, Ethiopia) di Afrika di mana rajanya adalah seorang Nasharani yang saleh bernama Negus (Najasyi).
Peristiwa ini terjadi pada masa permulaan Islam diajarkan Rasulullah SAW pada bulan Rajab tahun 12 sebelum Hijriah (615 M) atau pada tahun kelima setelah kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan yang berhijrah terdiri dari 12 orang pria dan 4 orang wanita. Mereka ini termasuk orang-orang yang mula-mula menerima ajaran Islam dan disebut sebagai muslim awal / pemula (assabiqunal awwalin)
Kebetulan saat itu di pelabuhan Syu’aibah di Teluk Syu’aibah sebelah selatan Jeddah berlabuh dua buah perahu dagang yang segera akan berangkat menuju ke pantai Afrika. Maka rombongan ikut menumpang perahu tersebut sampai ke Massawa, sebuah pelabuhan di pantai Afrika wilayah Habsyi (Ethiopia). Setelah mendarat di Massawa rombongan menuju ke kota Adulis (sekarang Zule) di negeri Habsyi (Abesinia atau Ethiopia), kira kira 50 km sebelah tenggara kota Massawa.
Negeri ini diperintah oleh seorang Raja Nashrani, Negus (Najasyi), tetapi karena mengetahui bahwa ajaran Muhammad (Islam) tidak jauh berbeda dengan ajaran Isa Al Masih , maka beliau memberikan perlindungan kepada kaum muslimin yang hijrah dari Mekkah tersebut. Kaum kafirt Quraisy mendengar keberangkatan rombongan 16 orang tersebut mengejar ke pelabuhan Syu’aibah , namun rombongan kaum muslimin telah berangkat, sehingga tidak bertemu.
Beberapa orang di antara mereka yang mengungsi ini , ada yang pulang kembali ke Mekkah setelah bermukim beberapa bulan tetapi ada yang setahun lebih. Sebagian dari mereka ini kelak juga ada yang kembali ikut mengungsi dalam peristiwa hijrah kedua. Tiga tahun kemudian, setelah rombongan kaum muhajirin tiba di Adulis (zule) di Habsyi dan ternyata mereka kerasan karena memperoleh perlindungan yang adil, menyusulah rombongan kedua pada tahun 617 M atau 9 tahun sebelum Hijriah atau tahun ke 8 sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan hijrah kedua ini jumlahnya terdiri 83 orang pria dan 18 orang wanita. Rombongan ini mencerminkan telah menyebarnya ajaran Islam di berbagai kalangan marga di lingkungan suku Quraisy.
Perpindahan hijrah kedua ini rupa-rupanya terdengar oleh kaum Quraisy, sehingga mereka khawatir kalau-kalau umat Islam di tempat barunya nanti akan menjadi lebih kuat dan ajaran islam akan semakin menyebar. Maka untuk mencegah jangan terjadi peningkatan kekuatan kaum muslimin dan penyebaran Islam, kaum kafir Qurais mengutus dua orang pejabatnya yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah dan dikawal Ammarah bin Walid untuk menghadap Raja Najasyi dengan berbagai macam hadiah yang sangat berharga.
Hijrah yang ketiga kaum muslimin adalah yang paling besar dan paling penting karena dikuti oleh seluruh kaum muslimin Mekkah beserta Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Hijrah ketiga ini membawa perubahan besar bagi kehidupan kaum muslimin dan Islam sendiri. Sebab setelah hijrah dari Mekkah ke Yatasrib, kaum muslimin dapat hidup bebas daari tekanan dan ancaman kaum kafir Quraisy dan dapat mempraktikan kehidupan yang Islami, damai dan tentram secara leluasa di Madinah. Di samping itu Rasulullah SAW bersama para sahabat mempunyai kesempatan untuk menyusun strategi dakwah yang lebih canggih rapi dan lengkap dan dakwah Islam memang memancar dari Madinah dan gencar ke seluruh penjuru dunia dari tepi Timur sampai Barat.
Hijrah ketiga ini kemudian dijadikan permulaan perhitungan tahun dalam kalender Islam karenya tahun itu dalam Islam disebut Tahun Hijriah. Sebab tidak serta merta penggunaan hijrah itu sebagai awal perhitungan kalender Islam, karena setelah 17 tahun hijrah terjadi kaum muslimin baru menggunakannya sebagai permulaan kalender Islam. Itu pun setelah melalui perdebatan yang panjang , sebab sebagian kaum muslimin menghendaki agar perhitungan tahun kalender Islam dimulai dari lahirnya Rasulullah SAW atau saat kenabian Nabi Muhammad SAW bahkan ada yang menginginkan agar dihitung sejak kewafatan Rasulullah SAW.
Periode Madinah ini mengedepankan “ukhuwwah wathaniyyah”, persaudaraan lintas agama, periode ini berlangsung sekitar 10 tahun lamanya dimulai sejak hijrah (perpindahan) Muhammad SAW beserta seluruh umat Islam dari Mekkah ke kota Yatsrib (Madinah). Periode Madinah ini memberikan kesempatan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun tatanan masyarakat sipil di bawah naungan Piagam Madinah. Dalam piagam yang memuat 47 pasal itu, sungguh pun dibuat oleh mayoritas umat Islam, sama sekali tidak menyebut asas Islam atau pun dasar al-Qur’an serta al-Hadist.
Substansi piagam Madinah merupakan refleksi atas rekonsiliasi antar etnis dan agama guna membangun pranata sosial-masyarakat yang damai, aman dan sentausa, bebas dari intimidasi, anti penindasan, anti sekterianisme, anti diskriminasi dan anti proteksianisme. Karena itu, wajah Islam semakin fungsional tidak sekedar normatif dan formalitas.
Sosok Islam yang fungsional inilah yang dirindukan oleh masyarakat Yatsrib (golongan Ansor) yang dilanda konflik internal antar warga dan etnis. Kedatangan Muhammad SAW yang berkepribadian luhur dan humanis dan pengikutnya (Muhajirin) sudah barang tentu disambut baik oleh masyarakat Yatsrib (Madinah) yang saat itu masyarakatnya terbilang majemuk (golongan Islam, Yahudi, Nasrani, Paganis serta golongan kafir atau kaum musyrikin). Penghargaan masyarakat Yatsrib kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya sambutan hangat semata, namun juga kepercayaan masyarakat Yatsrib kepada Muhammad SAW untuk memimpin masyarakat yang pluralistik tersebut.
Peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah tersebar dengan cepat. Para sahabat yang telah terlebih dahulu di Madinah tak kuasa menahan rindu kepada pemimpin mereka yang tercinta, Nabi Muhammad SAW.Setiap hari mereka menanti kedatangan Nabi SAW di tapal batas kota Madinah. Akhirnya saat yang dinanti-nanti telah tiba. Rasulullah bersama Abu Bakar As-Shiddiq memasuki kota Madinah dengan selamat.
Seketika wajah kota Madinah berubah total, menjadi bermandikan cahaya lantaran hadirnya sosok yang mulia dan agung, sang pembawa budi pekerti yang luhur yakni Rasulullah SAW.
Kegembiraan warga Madinah tak dapat dilukiskan dengan kata-kata . Mereka menangis bahagia menyaksikan sang Kekasih yang selama ini dirindukan, telah nampak di depan mata. Gejolak rindu yang telah lama terpendam dalam dada tak kuasa lagi terbendung.Mata menangis bahagia, haru penuh rasa cinta menembus sukma.
Anak-anak dan para perempuan yang sudah menjadi penduduk Madinah (kaum Anshor) tampil menabuh rebana sembari melantunkan syair Shalawat Badar sebagai sambutan atas kehadiran sang pembawa risalah Islam pari purna yakni Nabi SAW:
“Thala’al badru ‘alaina
Min tsaniyatil wada’
Wajabsy syukru ‘alaina
Mada’a lillahi da’….
(Telah terbit purnama bersinar dari Bukit Wada’ . Wajiblah kita bersyukur tibanya penyeru ke jalan Allah….)
Banyak gubahan syair saat menyambut kedatangan Rasulullah SAW di hadapan para sahabat banyak dikarang oleh para ulama. Upacara ceremonial maulid Nabi SAW ini banyak dinyanyikan saat Mahalul Qiyam (Shalawat Berdiri) mulai dari Maulid Simthud Durar, Burdah, Barjanji, Ad Dibai, Azhabi, sampai Ad Dhiaul Lami’ semua mengugah dan mengundang kita untuk menghadirkan sosok sang manusia teragung dan mulia Habibuna murrobuna al Musthofa wal wafa Nabiyuna alhady Muhammad SAW.”Marhaban Ahlan wa sahlan….
Yaa Nabiy salaam ‘alaika
Yaa rosuul salaam ‘alaika
Wahai Nabi, salam sejahtera bagimu, wahai Rasul salam sejahtera bagimu
Yaa habiib salaam ‘alaika
Sholawaatullaah ‘alaika
Wahai kekasih salam sejahtera bagimu, Sholawat Allah bagi~mu.
Abrozallaahul musyaffa’
Shoohibul qodril muroffa’
Telah tiba dengan kehendak Allah Sang Pemberi Syafa’at, Pemilik derajat yang dimuliakan
Famalaan~nuurun~nawaahii
‘Amma kullal kauni ajma’
Maka limpahan cahaya memenuhi segala penjuru, meliputi seluruh alam semesta
Nukkisat ashnaamu syirkin
Wa binaas-syirki tashodda’
Maka berjatuhanlah patung patung berhala di ka’bah, dan bangunan kemusyrikan pun roboh
Wa danaa waqtul hidaayah
Wa himaal kufri taza’za’
Dan telah dekatlah waktu hidayah maka benteng kekufuran berguncang, saat saat petunjuk,
Marhaban ahlan wa sahlan
Bika yâ dzal qodril arfa’
Salam sjahteralah dan selamat datang padamu, wahai
Sang pemilik derajat yg mulia.
Ya imaamahlir risaalah
Man bihil aafaatu tudfa’
Wahai imam para rosul, yang dengannya (saw) bencana bencana tertolakkan,
MARHABAN YA MARHABAN YA NUURO ‘AINIY
MARHABAN JADDAL HUSAINI
MARHABAN MARHABAN
Anta fiil hasyri malaadzun
Laka kullul kholqi tafza’
Engkaulah satu satunya tmpat brlindung dihari Qiyamat,
padamulah sluruh ciptaan ketakutan (sangat merisaukan tak mencepatkan Syafa’at dari beliau saw)
Wa yunaaduuna taroo maa
Qod dahaa min hawlin afdho’
Kemudian mereka datang memanggil manggilmu, ketika menyaksikan dahsyatnya kesulitan dan rintangan,
THOLA’AL BADRU ‘ALAINAA
MIN TSANIYYATIL WADAA’
WAJABASY SYUKRU ‘ALAINAA
MAA DA’AA LILLAAHI DAA’
Falahaa anta Fatasjud
Wa tunaadasyfa’ tusyaffa’
Maka mereka itulah engkau (saw) bersujud,(kehadirat Tuhanmu), maka diserukan padamu (oleh tuhanmu) ”berilah Syafa’at, engkau telah diizinkan memberi Syafa’at”
Fa’alaikalloohu shollaa
Maa badaannuuru wa sya’sya’
Maka pada~mu limpahan sholawat dari Alloh, selama keabadian Yang Maha Bercahaya dan masih bersinar terang benderang…
Wa bika~rrohmaanu nas-al
Wa ilaahul ‘arsyi yasma’
Dan denganmu (menjadikanmu sebagai perantara) kami memohon pada Alloh Arrohman, maka pencipta Arsy mendengar do’a kami,
Ya ‘adhiimal manni yaa Robb
Syamlanaa bil musthofaa~jma’
Wahai Maha Pemberi Anugerah wahai Robb,
kumpulkanlah kepribadian kami dgn AlMusthofa (saw)
SHOLLALLAAHU ‘ALAA MUHAMMAD (MARHABAN)
SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM (MARHABAN)
Wa bihi Fandhur ilainaa
Wa’thinaa bih kulla mathma’
Dan dengan nya (saw) maka pandangilah kami dgn kasih sayang Mu, dan berilah kami dengannya (kami menjadikan perantara saw) segala yg kami inginkan,
wakfinaa kullal balaayaa
Wadfa’il aafaati warfa’
Dan hindarkanlah kami dari segala bencana, dan musnahkanlah segala kesulitan, dan angkatlah sejauh jauhnya…
Wasqinaa yaa Robb aghitsnaa (ya Alloh)
Bihayaan hatthooli yahma’ (ya Alloh)
dan siramilah kami (dengan Rahmat~Mu) wahai ROBB
tolonglah kami dgn kehidupan yg dicurahi Lebatnya Hujan Rahmat Mu…
ROBBI FAGHFIRLIY DZUNUUBIY (Ya Alloh)
BI BARKATIL HAADIY MUSYAFFA’ (Ya Alloh)
Wakhtimil ‘umro bihusnaa (Ya Alloh)
Wahsinil’uqbaa wa marja’ (Ya Alloh)
dan akhirilah usia kami dgn Husnul Khotimah, dan. perbaikilah keadaan yang akan datang dan saat kami kembali kepada Mu..
SHOLLALLAH ‘ALA MUHAMMAD
SHOLLALLAH ‘ALAIHI WASALLAM
Wa shollatullohi Taghsyaa
Man lahul husnu tajamma’
dan terlimpah sholawat Alloh bagi yg terkumpul Padanya (saw) segala kebaikan,
Ahmadat thohro wa Aalih
Wash shohaabah massanaasya’
Ahmad (saw) yg suci dan keluarganya, serta Para shohabatnya dengan Sholawat yang selalu bercahaya terang benderang.
Kehadiran Rasulullah SAW serasa ada di depan mata. Rasulullah SAW pun menyambutnya dengan penuh haru dan gembira sebagaimana wujud kegembiraan warga Anshor. Sepanjang hidupnya beliau tidak pernah melarang tetabuhan dan senandung syair yang dipersembahkan warga Madinah dalam menyambut beliau tersebut.
Bahkan beberapa waktu kemudian, ketika beliau tiba dari perang Tabuk, warga Madinah (kaum Anshor) kembali menyambut beliau dengan tetabuhan rebana dan syair shalawat Badr tersebut di atas.
Rasa senang dan gembira warga Madinah akhirnya menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh Madinah dalam menyambut kehadiran Rasulullah SAW, mereka wujudkan dengan senandung syair dan iringan tetabuhan rebana. Dan itu menjadi sunnah—lantaran Rasulullah SAW tidak melarangnya dengan cara mendiamkannya, artinya Rasulullah SAW menyetujui perbuatan yang dilakukan para sahabat dalam menyambutnya.
Dalam sebuah hadist riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad diceritakan , ketika Rasulullah SAW tiba dari sebuah peperangan, seorang budak wanita berkulit hitam legam datang menemui beliau membawa rebana sambil berkata,”Duhai Rasulullah SAW, aku telah bernazar, jika Allah mengembalikan dirimu dalam keadaan selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di hadapanmu.”
Rasulullah SAW kemudian menjawab,”Jika engkau telah bernazar, tunaikanlah nazarmu. Jika tidak, jangan.”
Wanita itupun kemudian menunaikan nazarnya. Ia kemudian menabuh rebana sambil bernyanyi gembira penuh kerinduan di hadapan Rasulullah SAW cukup lama.
Satu demi satu , sahabat utama Rasuullah SAW seperti Abu Bakar As-Shiddiq, Utsman bin Afan dan Ali bin Abu Thalib datang menemui Nabi Muhammad SAW. Tapi, perempuan Anshor itu tetap menabuh rebana dan bernyanyi, sementara sang Nabi SAW tetap mendengarkan dan menikmati lantunan senandung syair dan iringan rebana.
Ketika Umar bin Khattab tiba, perempuan tersebut berhenti dan menyembunyikan rebana dengan mendudukinya. Rupa-rupanya perempuan itu takut dengan sahabat Umar bin Khattab yang dikenal keras dan tegas.
Setelah keempat Khulafaur Rasyidin itu berkumpul di hadapan Rasulullah SAW lu, beliau pun berkata , ”Hai Umar, sesungguhnya setan saja takut kepadamu. Ketika aku duduk, perempuan itu menabuh rebana. Ketika Abu Bakar masuk, ia tetap menabuh rebana. Ketika Ali masuk, ia tetap bernyanyi dan menabuh rebana demikian pun ketika Ustman masuk. Akan tetapi, ketika engkau masuk, hai Umar, wanita itu segera menghentikan dan menyembunyikan rebananya.” (HR Tirmidzi).
Dengan demikian, peristiwa di atas menandakan bahwa Rasulullah SAW tidak melarang kesenian rebana tersebut.Melantunkan syair semasa Rasulullah SAW masih hidup juga pernah dilakukan oleh sayiddina Abbas bin Abdul Muthalib seusai perang Tabuk dan Rasulullah SAW mendiamkannya, artinya beliau tidak melarangnya.
Masyarakat baru tersebut (state) kemudian dideklarasikan dengan nama Madinah al Munawwarah (kota yang disinari/dicerahkan) dengan mengambil ibukota Madinah. Sungguhpun jumlah penduduk dan wilayah yang sedikit namun kokohnya bangunan masyrakat warga Madinah, akhirnya mampu mewarnai konstalasi politik global bangsa-bangsa dunia. Kekokohan masyarakat tersebut dikuatkan dengan kesadaran persaudaraan dan persatuan antar warga yang sangat tinggi sehingga terajut “ukhuwwah imaniyah” atau persaudaraan antar- iman yang meliputi lintas agama dan kepercayaan; di samping juga ukhuwwah wathaniyyah, persaudaraan antar etnis.
Kedamaian dan kemakmran masyarakat Madinah akhirnya menjadi daya tarik tersendiri bagai kawasan lain di Arab. Tidak berapa lama, masyarakat kota Mekkah yang dulu anti-Muhamad SAW dan pengikutnya takluk kepada Madinah tanpa pertumpahan darah. Setelah itu itu satu persatu semenanjung Arabia tertarik dan bergabung di bawah payung pemerintah Madinah. Sampai akhirnya , tatkala Nabi Muhammad SAW wafat, seluruh Semenanjung Arabia sudah menyatu dalam satu pemerintahan. Bahkan di akhir masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, beberapa kawasan di Syam (Syiria), Persia dan Mesir tertarik untuk bergabung bersama pemerintahan Madinah, karena ketiga negara tersebut sudah jenuh ditindas oleh Kaisar Romawi dan Kisro Persia.
Masyarakat mutamaddin sebagai konotasi masyarakat sipil (warga) term bentuk ta’rib (pengaraban) dari masyarakat warga (civil society) merupakan proses tansformasi sosial budaya, sosial politik dan sosial ekonomi pada masyarakat Madinah. Ini merupakan proses transformasi masyarakat sebagai mana yang terjadi di bangsa –bangsa Eropa modern (Civil Society).
Misi Islam, kemudian ditutup pada peistiwa Haji Wada’ satu-satunya ibadah haji yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tepatnya pada tahun 10 Hijriah, Rasulullah SAW niatnya untuk melaksanakan haji pada tahun itu. Begitu terdengar, berbondong-bondong ummat Islam datang ke Madinah hendak mengikuti beliau. Empat hari menjelang habisnya bulan Dzulqo’dah selepas shalat Dzuhur, beliau mulai berangkat dan mulai menunaikan ibadah haji sampai memasuki bulan Dzulhijjah (Haji Qiran).
Tanggal 8 Dzulhijjah, tepatnya hari tarwiyah Rasulullah SAW dalam perjalanan Haji Wada’ pergi ke Mina. Beliau shalat Dzuhur, Ashar , Magrib dan Isya di sana. Setelah beberapa saat hingga matahari terbit, beliau melaksanakan perjalanan hingga Arofah, dimana tenda-tenda sudah di sana. Setelah matahari tergelincir, beliau menunggang unta Al Qashwa hingga tiba di tengah Padang Arafah. Di sana telah berkumpul sekitar 140.000 jamaah haji , dan beliau menyampaikan pidato yang berisi wasiat penting kepada ummat.
“Wahai sekalian manusia, dengarlah perkataanku! Aku tidak tahu pasti, boleh jadi aku tidak akan ketemu kalian lagi setelah tahun ini dalam keadaan seperti ini. Sesungguhnya darah dan harta kalian suci atas kalian, seperti kesucian hari ini, bulan ini dan di negeri kalian ini. Bertaqwalah kepada Allah dan hati-hati terhadap masalah wanita, karena kalian memperistri mereka yang menjadikan mereka halal bagi kalian juga karena amanat dan dengan kalimah Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian , sebagaimana kalian memiliki hak atas mereka. Hak kalian adalah istri kalian tidak boleh mengizinkan orang yang tidak disenangi masuk ke rumah kalian kecuali seizin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai mereka. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin makanan dan pakaian mereka sebaik-baiknya.
Aku telah meninggalkan di tengah mereka sesuatu yang sesuatu yang sekali-kali kalian tidak akan tersesat sesudahnya selagi kalian tetap berpegang teguh kepadanya, yaitu kitab Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Sembahlah Allah, dirikanlah shalat lima waktu, laksanakan puasa Ramadhan, bayarlah zakat dengan sukarela, tunaikanlah haji dan taatilah ulil amri kalian, niscaya kalian masuk sorga.
Tentu kalian bertanya-tanya tentang diriku. Lalu apa yang kalian pertanyakan?
Mereka menjawab,”Kami bersaksi bahwa engkau telah bertabligh melaksanakan kewajiban dan nasehat.”
Lalu bersabda sambil mengacungkan telunjuknya ke langit dan mengarahkannya kepada hadirin,”Ya Allah, persaksikanlah!” (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, 2/265).Orang yang menirukan sabda beliau Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaaf.
Setelah Rasulullah SAW menyampaikan pidato, turunlah QS Al Maidah ayat 3, yang menyatakan bahwa pada hari itu telah sempurnalah nubuwwah (misi kenabian) Muhammad SAW yang merupakan satu rahmat kenikmatan yang tiada tara bagi kaum muslimin berupa agama Islam, yang nyata-nyata telah mendapat Ridha dari Allah SWT Yang Maha Pengasih.
Pidato khutbah selesai. Bilal kemudian mengumandangkan adzan, disusul dengan iqomah dan shalat Dzuhur qashar dan jama’ secara berjama’ah diimami Rasulullah SAW dan diikuti oleh para jama’ah. Begitu selesai shalat Dzuhur, Bilal iqamah lagi untuk melaksanakan jama’ah shalat Ashar. Selesai shalat, dengan menunggang Al Qashwa, beliau menuju tempat wukuf. Di situ beliau menghabiskan wukuf sampai matahari terbenam.
Keremangan senja lambat laun menghilang. Dengan mengendong Usamah, beliau melanjutkan perjalanan menuju Mina. Di sana shalat Maghrib dan Isya dengan satu adzan dan dua iqamah tanpa ada shalat apa pun di antara keduanya, kemudian beliau berbaring sampai fajar menyingsing.
Setelah adzan dan iqamah , beliau lalu menunaikan shralat Subuh dan kemudian beliau naik Al Qashwa menuju Masy’aril Haram. Dengan menghadap qiblat beliau berdoa, bertahlil dan bertakbir meng-Esa kan Allah SWT.
Dari Muzdalifah beliau pergi menuju Mina sebelum matahari terbit dengan membonceng Al Fadhl bin Abbas hingga tiba di Mahsyar. Kemudian jumrah Aqabah, dan beliau melempar jumlah jumrah tersebut dengan 7 butir kerikil, sambil bertakbir pada setiap kali melempar.
Selanjutnya, beliau menuju ke tempat penyembelihan Kurban dan menyembelih 63 ekor unta, selanjutnya memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk melanjutkan penyembelihan sebanyak 37 ekor unta sehingga genap 100 ekor.
Di situ beliau memerintahkan untuk mengambil sebagian daging masing-masing unta, kemudian dimasak dan beliau ikut menikmati masakan itu berikut kuahnya.
Pada waktu Dhuha, di atas punggung bighal, beliau menyampaikan pidato yang ditirukan Sayidinna Ali bin Abi Thalib dengan suara nyaring, yang isinya banyak mengulang isi pidato yang disampaikan sebelumnya. Namun demikian, banyak hal penting yang beliau tambahkan, antara lain:
“Kalian pada waktunya akan menghadap Allah SWT. Dia akan menanyakan amal kalian.Ingatlah jangan kalian kembali sesaat sepeninggalku hingga sebagian kalian memenggal leher sebagian lainnya. Ketahuilah, janganlah seseorang menganiaya diri sendiri (dengan berbuat dosa) , menganiaya anak dan anak menganiaya orang tuanya.Ketahuilah, sesungguhnya syetan sudah putus asa untuk dapat disembah di negeri kalian selamanya. Akan tetapi dia akan ditaati dengan amal-amal yang kaitannya dengan amal-amal kalian remehkan dan dia pun ridha kepadanya.”
Pada hari Tasyriq, beliau di Mina untuk melaksanakan ibadah haji lainnya sembari mengajarkan syariat perihal dzikir kepada Allah, menegakan sunnah-sunnah, mengenyahkan tanda-tanda syirik, amalan syirik dan pengaruhnya. Pada hari tasyriq, beliau menyampaikan pidato yang isinya sama dengan hari-hari sebelumnya.
Anas bin Malik meriwayatkan, pada Hari Senin, ketika kaum muslimin sedang melaksanakan shalat Subuh –sementara sahabat Abu Bakar RA sedang mengimami mereka—Nabi SAW tidak menemui mereka, tetapi hanya menyingkap tabir kamar Aisyah dan memperhatikan mereka yang berada di shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum.
Abu Bakar mundur hendak berdiri di shaf, karena dia mengira Rasululah SAW hendak keluar untuk shalat. Selanjutnya Anas menuturkan bahwa kaum muslimin hampir terganggu di dalam shalat mereka, karena bergembira dengan keadaan Rasulullah SAW.
Namun, beliau memberikan isyarat dengan tangan beliau agar mereka menyelesaikan shalat. Kemudian, beliau masuk kamar dan menurunkan tabir. Setelah itu, Rasulullah SAW tidak mendapatkan waktu shalat lagi.Ketika waktu Dhuha hampir habis, Nabi SAW memanggil Fatimah, lalu membisikan sesuatu kepadanya, dan Fatimah pun menangis. Kemudian memanggilnya lagi dan membisikan sesuatu, lalu Fatimah tersenyum.
Aisyah berkata, setelah itu, kami bertanya kepada Fatimah tentang hal tersebut.
Fatmah Ra menjawab, ”Nabi SAW membisikiku bahwa beliau akan wafat, lalu aku menangis. Kemudian, beliau membisiku lagi dan mengabarkan aku adalah orang pertama di antara keluarga beliau yang akan menyusul beliau.” (Shahihul Bukhari, II: 638).
Nabi SAW juga mengabarkan kepada Fatimah bahwa dia adalah kaum wanita semesta alam.Fatimah melihat penderitaan berat yang dirasakan oleh Rasulullah SAW sehingga dia berkata,”Alangkah berat penderitaan ayah!” tetapi beliau menjawab,”Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita lagi.”
Beliau memanggil Hasan dan Husain, lalu mencium keduanya, dan berpesan agar bersikap baik kepada keduanya. Beliau juga memanggil istri-istri beliau, lalu beliau memberi nasehat dan peringatan kepada mereka.
Sakit beliau semakin parah, dan pengaruh racun yang pernah beliau makan (dari daging yang disuguhkan oleh wanita Yahudi) ketika di Khaibar muncul, sampai-sampai beliau berkata,”Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit karena makanan yang kumakan ketika di Khaibar. Sekarang saatnya aku merasakan terputusnya urat nadiku karena racun tersebut.”
Beliau juga memberi nasehat kepada orang-orang ,”(perhatikanlah) shalat; dan budak-budak yang kalian miliki!” Beliau menyampaikan wasiat ini hingga beberapa kali.
Tanda-tanda datangnya ajal mulai tampak. Aisyah menyandarkan tubuh Rasulullah ke pangkuannya.Aisyah lalu berkata,” Sesunguhnya di antara nikmat Allah yang dikaruniakan kepadaku adalah bahwa Rasulullah SAW wafat di rumahku, pada hari giliranku, dan di pangkuanku, serta Allah menyatukan antara ludahku dan ludah beliau saat beliau wafat. Ketika aku sedang memangku Rasulullah SAW, Abdurahman dan Abu Bakar masuk dan di tangannya ada siwak. Aku melihat Rasulullah SAW memandanginya, sehingga aku mengerti bahwa beliau menginginkan siwak. Aku bertanya ,’Kuambilkan siwak itu untukmu?’
Beliau memberi isyarat “ya” dengan kepala, lalu kuambilkan siwak itu untuk beliau. Rupanya siwak itu terasa keras bagi beliau, lalu kukatakan,’kulunakkan siwak itu untukmu?’ Beliau memberi isyarat”ya” lalu kulunakkan siwak itu. Setelah itu aku menyikat gigi beliau dengan sebaik-baiknya siwak itu. Sementara itu, di hadapan beliau ada bejana berisi air. Beliau memasukan kedua tangannya ke dalam air itu, lalu mengusapkannya ke wajah seraya berkata,’La ilaha illallah, sesungguhnya kematian itu ada sekarat nya.” (Shahih Bukhari II, 640).
Seusai bersiwak, beliau mengangkat kedua tangan beliau yang mulia, atau jari-jarinya mengarahkan pandangannya ke langit-langit, dan kedua bibirnya bergerak-gerak. Aisyah mendengarkan apa yang beliau katakan itu, beliau berkata,”Ya Allah ampunilah aku; Rahmatillah aku; dan pertemukan aku dengan Kekasih yang Maha Tinggi. Ya Allah, Kekasih Yang Maha Tinggi.” (Ad Darimi, Misykatul Mashabih, II: 547)
Beliau mengulang kalimat terakhir tersebut sampai tiga kali, lalu tangan beliau lunglai dan beliau kembali kepada Kekasih Yang Maha Tinggi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Peristiwa ini terjadi ketika waktu Dhuha sedang memanas, yaitu pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H. Ketika itu beliau berusia 63 lebih empat hari.
Apa makna yang paling mendalam dari peristiwa Haji Wada’ tersebut? Prof. Dr. Said Agil Siradj, Ketua PBNU Pusat Jakarta menyatakan dalam peristiwa akbar tersebut, Nabi menyampaikan Khutbah Wada’ (perpisahan) pada puncak ibadah haji, saat wukuf di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 10 H (16 Februari 631 M). Sementara beliau wafat dan dimakamkan di Madinah 3 hari setelah khutbah haji Wada’. Diantara isi khutbah itu adalah “Ayyuhan-naas, inna dimaakum wa amwalakum wa a’radlakum haramun alaikum, ka-hurmati yaumikum hadza, fi syahrikum hadza, fi badikum hadza,” wahai manusia, sungguh darah, harta dan kehormatan kalian sangat dimuliakan, sebagaimana mulianya hari ini (Arafah), bulan ini (Dzulhijjah) dan negeri ini (Mekkah).
Dari teks khutbah haji wada’ di atas, mengindikasikan bahwa kesempurnaan keislaman seseorang haruslah disertai upaya penghormatan atas jiwa dan menghindarkan segala bentuk kekerasan dan intimidasi, penghormatan atas hak milik (property) serta profesi seseorang. Ringkasnya dalam konteks saat ini adalah penghormatan atas nilai-nilai hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dalam ajaran Islam, dimana nilai-nilai pluralisme dan HAM tersebut menjadi pilar sangat penting bagi masyarakat sipil dalam konteks mengisi kehidupan bangsa dan negara.
Dengan demikian, pekerjaan menuju dan sekaligus membangun masyarakat mutamaddin bukanlah sesuatu yang mudah, sebab sekitar 14 abad yang lampau Nabi Muhammad SAW juga mengalami masa tantangan dan hambatan. Bahkan prosesi abad pencerahan di benua Eropa sebagai proses pemberdayaan masyarakat sipil (warga) atau civil society juga mengalami jalan panjang yang berliku. Dalam konteks di Indonesia sejak sekitar 70 tahun kemerdekaan RI, proses transformasi sosial budaya mengalami tiga masa kemandekan sistem pendidikan politik, sosial dan budaya yang berlarut-larut.
Bangunan kosmotalisme masyarakat mutamaddin akan terwujud bila pertama, proses transformasi budaya, masyarakatnya harus sudah memiliki komitmen yang tinggi atas pembersatuan yang hakiki. Langkah kedua, untuk menuju transformasi sosial politik haruslah semakin diberdayakan pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat.Ketiga harus disadarinya bahwa kemajemukan adalah keharusan sejarah, 4 pilar demokrasi Indonesia mulai dari Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika adalah sesuatu yang final meningkat seluruh komponen Bangsa Indonesia
Ini sesuai dengan firman Tuhan, ”fa-bima rahmatin minallahi linta la-hum, walau kunta fadh-dhan ghalidlal qalbi lan fadl-dluu min-haulik, fa’fu ‘an-hum wastaghfir la-hum wa syaawir-hum fil amri, fa-idza ‘azamta fa-tawakal ‘alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin” (QS Ali Imran 159), artinya “maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya, kamu bersikap arogan lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Cinta Nabi SAW
Salah satu hadits yang terkenal mengungkapkan betapa penting kecintaan kaum muslimin pada Rasulullah SAW. Sabda beliau, “Tidak sempurna iman seorang di antara kamu sebelum ia lebih mencintai aku daripada mencintai ibu-bapaknya, anaknya, dan semua manusia” (HR Bukhari).
Memang, mencintai Rasulullah SAW merupakan salah satu bukti keimanan seorang muslim. Sebaliknya, iman pulalah yang membuat para sahabat sangat setia mendampingi beliau, baik dalam susah maupun senang, dalam damai maupun perang. Kecintaan itu bukan hanya di lidah, melainkan terwujud dengan perbuatan nyata.
Betapa cinta sahabat kepada Rasulullah SAW, tergambar ketika Rasulullah SAW bersama Abu Bakar ash-Shiddiq beristirahat di Gua Tsur dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi. Kala itu Rasulullah SAW tertidur berbantalkan paha Abu Bakar. Tiba-tiba Abu Bakar merasa kesakitan karena kakinya digigit kalajengking. Tapi, dia berusaha sekiat tenaga menahan sakit, hingga mencucurkan air mata, jangan sampai pahanya bergerak—khawatir Rasulullah SAW terbangun.
Salah seorang sahabat, Zaid bin Datsima, tak gentar menghadapi ancaman kaum kafir karena begitu luar biasa kecintaannya kepada Rasulullah SAW. Ketika itu, ia sempat disandera oleh kaum musyrik Makkah dan akan dibunuh. ”Hari ini, tidakkah engkau berharap Muhammad akan bersama dengan kita sehingga kami dapat memotong kepalanya, dan engkau dapat kembali kepada keluargamu?” kata Abu Sufyan kepadanya.
“Demi Allah, aku tidak berharap sekarang ini Muhammad berada di sini, di mana satu duri pun dapat menyakitinya – jika hal itu menjadi syarat agar aku dapat kembali ke keluargaku,” jawab Zaid tegas. “Wah, aku belum pernah melihat seorang pun yang begitu sayang kepada orang lain seperti para sahabat Muhammad menyayangi Muhammad,” sahut Abu Sofyan.
Kisah kecintaan sahabat kepada Rasulullah SAW banyak diungkapkan dalam sejarah. Salah satunya ditunjukan oleh Umar bin Khatthab. ”Ya, Rasulullah. Aku mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali jiwaku,” kata Umar. Mendengar itu, Rasulullah SAW menjawab, ”Tak seorang pun di antara kalian beriman, sampai aku lebih mereka cintai daripada jiwamu.”
”Demi Dzat yang menurunkan kitab suci Al-Quran kepadamu, aku mencintaimu melebihi kecintaanku kepada jiwaku sendiri,” sahut Umar spontan. Maka Rasulullah SAW pun menukas, ”Wahai Umar, kini kamu telah mendapatkan iman itu” (HR Bukhari).
Hari Kiamat
Penghormatan dan pemuliaan terhadap Rasulullah SAW memang merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah, “Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan-Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang (QS Al Fath : 8-9).
Sebuah ayat menekankan pentingnya kecintaan terhadap Allah SWT dan Rasulullah SAW, ”Katakanlah (wahai Muhammad), jika ayah-ayahmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta kekayaanmu, perdagangan yang kamu kekhawatirkan kerugiannya, dan rumah yang kamu senangi, lebih kalian cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang-orang fasik” (QS At-Taubah: 24).
Kecintaan kaum muslimin kepada Rasulullah SAW juga merupakan faktor penting bagi keselamatannya di hari kiamat kelak. Hal itu terungkap ketika suatu hari seorang sahabat bertanya kepada rasulullah SAW, ”Kapankah datangnya hari kiamat?” Maka jawab Rasulullah SAW, ”Apa yang sudah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Jawab sahabat itu, “Saya tidak mempersiapkannya dengan banyak shalat, puasa, dan sedekah, tapi dengan mencintaimu dalam hati.” Lalu, sabda Rasulullah SAW, ”Insya Allah, engkau akan bersama orang yang engkau cintai itu.”
Menurut Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Shafwan, dan Abu Dzar, Rasulullah SAW telah bersabda mengenai seseorang yang dengan tulus mencintainya, ”Seseorang akan berada di Yaumil Mahsyar bersama orang yang dicintainya.” Mendengar itu, para sahabat sangat berbahagia karena mereka sangat mencintai beliau.
Suatu hari seorang sahabat hadir dalam suatu majelis bersama Rasulullah SAW, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku saya mencintaimu lebih dari mencintai nyawa, harta dan keluargaku. Jika berada di rumah, aku selalu memikirkanmu. Aku selalu tak bersabar untuk dapat berjumpa denganmu. Bagaimana jadinya jika aku tidak menjumpaimu lagi, karena engkau pasti akan wafat, demikian juga aku. Kemudian engkau akan mencapai derajat Anbiya, sedangkan aku tidak?”
Mendengar itu Rasulullah terdiam. Tak lama kemudian datanglah Malaikat Jibril menyampaikan wahyu, ”Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Mereka adalah sebaik-baik sahabat, dan itulah karunia Allah Yang Maha Mengetahui” (QS An-Nisa : 69-70).
Kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW inilah pula yang menggerakkan mereka menyebarkan berdakwah ke seluruh penjuru dunia.
Kecintaan luar biasa kepada Rasulullah SAW itu tergambar pada diri seorang perempuan—beberapa saat usai Perang Uhud. Dia baru saja kehilangan ayah, kakak laki-laki dan suaminya yang gugur sebagai syuhada. Ia bukannya meratapi mereka, tapi menanyakan nasib rasulullah SAW, ”Apa yang terjadi pada diri Rasulullah, semoga Allah memberkati dan melimpahkan kedamaian kepadanya.”
”Nabi baik-baik saja sebagaimana engkau mengharapkannya,” jawab para sahabat. Lalu kata perempuan itu lagi, “Tunjukanlah dia kepadaku hingga aku dapat memandangnya.” Kemudian para sahabat menunjukan posisi Rasulullah SAW. “Sungguh, kini semua deritaku tak ada artinya. Sebab, engkau selamat,” kata perempuan itu kepada Rasulullah SAW.
”Mereka yang mencintaiku dengan sangat mendalam adalah orang-orang yang menjemputku. Sebagian dari mereka bersedia mengorbankan keluarga dan kekayaannya untuk berjumpa denganku,” sabda Rasulullah SAW sebagaimana diceritakan oleh Abu Hurairah (HR Muslim, Bukhari, Abu Dzar).
Betapa kecintaan sahabat Bilal kepada Rasulullah SAW, terungkap menjelang ia meninggal. Bilal melarang isterinya bersedih hati, sebab, katanya, “Justru ini adalah kesempatan yang menyenangkan, karena besok aku akan berjumpa dengan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.” Wafatnya Rasulullah SAW merupakan kesedihan luar biasa bagi para sahabat dan pencintanya. Dikisahkan, ada seorang perempuan yang menangis di makam Rasulullah SAW sampai ia meninggal.
Demikianlah gambaran betapa luar biasa kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW. Untuk mengungkapkan rasa cinta itu, sewajarnyalah jika kaum muslimin meneladani akhlaq beliau, menerapkan sunnahnya, mengikuti kata-kata dan seluruh perbuatannya, menaati perintah dan menjauhi larangannya.
Itulah cinta sejati, sebagaimana perintah Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 31: “Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (*****)
Penulis : Aji Setiawan / Purbalingga
↧
Empat Bulan Yang Dimulyakan Allah SWT
Muslimedianews.com ~
Oleh : Dwi Agus Wahyudi*
Tahukah sahabat, diantara 12 bulan dalam setahun ada empat bulan yang dimuliakan Allah SWT. ketetapan Allah SWT ini dapat kita peroleh keterangnnya di dalam Al Quran. Perhatikan ayat berikut ini :
Oleh : Dwi Agus Wahyudi*
Tahukah sahabat, diantara 12 bulan dalam setahun ada empat bulan yang dimuliakan Allah SWT. ketetapan Allah SWT ini dapat kita peroleh keterangnnya di dalam Al Quran. Perhatikan ayat berikut ini :
Artinya : Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS. At Taubah : 36)
Berdasarkan ayat di atas, kita diberikan petunjuk oleh Allah SWT bahwa diantara 12 bulan ada empat bulan yang dimuliakan (haram). Empat bulan yang dimaksud oleh ayat tersebut dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw melalui sebuah Hadits yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari berikut ini :
181/4294. Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin 'Abdul Wahhab Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Muhammad dari Ibnu Abu Bakrah dari Abu Bakrah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya waktu telah berputar sebagaimana mestinya, hal itu ditetapkan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun ada dua belas bulan, diantaranya ada empat bulan yang mulia. Tiga darinya berturut-turut, yaitu Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab yang biasa diagungkan Bani Mudlar yaitu antara Jumadil tsani dan Sya'ban.' (HR. Bukhari)
Dari keterangan Hadits tersebut, dapat kita ketahui bahwa keempat bulan yang dimuliakan Allah SWT yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah sebagai berikut :
- Dzuk Qa’dah
- Dzul Hijjah
- Muharram
- Rajab
Dari keempat bulan tersebut kita diminta untuk lebih bersungguh-sungguh untuk tidak menganiaya diri sendiri, dan juga bersungguh-sungguh untuk meningkatkan amal sholeh kita. Tentu saja nilainya akan lebih disisi Allah SWT jika dilakukan di dalam empat bulan haram tersebut.
Mungkin sahabat sudah mengerti dengan bagaimana caranya meningkatkan amal sholeh, tapi mungkin ada yang masih bingung, tentang apa yang dimaksud dengan “menganiaya diri sendiri”?
Menganiaya diri sendiri yang dimaksud Allah SWT adalah BERBUAT DOSA. Segala dosa yang kita peroleh dari kesalahan-kesalahan kita sedikit pun tidak merugikan Allah SWT tapi merugikan diri kita sendiri.
Sebagai contoh, Allah SWT mewajibkan kita untuk sholat lima waktu. Jika kita meninggalkan baik sebagian atau keseluruhan dari lima waktu tersebut maka DOSA-lah kita. Akibat dari kelalaian kita ini tidak merugikan Allah SWT sedikit pun, dampaknya tidak lain adalah pada diri kita sendiri.
Singkatnya di dalam empat bulan tersebut, marilah kita lebih berhati-hati dan menjaga diri dari perbuatan dosa. Dosa itu sendiri sumbernya hanya ada dua, yaitu :
- Melakukan yang DILARANG Allah SWT
- Tidak melakukan yang DIWAJIBKAN Allah SWT
Itulah dua sumber yang menyebabkan seseorang berdosa. Ya, hanya ada dua itu sahabat. Sederhana kan!
Mensekutukan Allah SWT, membunuh tanpa alasan yang benar, meminum minuman keras, berjudi, berzina adalah sebagian dari LARANGAN Allah SWT. Maka, jika sahabat ada yang melakukan yang dilarang Allah SWT tersebut maka konsekuensinya adalah DOSA.
Sumber kedua yang menyebabkan manusia berdosa adalah TIDAK MELAKUKAN (mengabaikan) yang diwajibkan Allah SWT. Sholat lima waktu adalah ibadah yang diwajibkan, maka jika ditinggalkan konsekuensinya adalah DOSA. Begitu juga dengan puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, itu semua adalah kewajiban yang jika ditinggalkan maka berdosalah manusia tersebut.
Apa sih pentingnya manusia menjaga diri dari DOSA?
Banyak manusia yang lalai dan belum mengetahui pentingnya menjaga diri dari dosa. Arti pentingnya adalah : DOSA adalah satu-satunya sebab Allah SWT menurunkan azab kepada seseorang.
Allah SWT yang berkuasa menimpakan azab kepada siapapun yang dikehendakiNya, dan tidak ada yang berkuasa selain Allah, ya, hanya Allah SWT. Dan hanya Allah SWT pula yang dapat menolong seseorang dari bencana dan musibah, ya, sekali lagi hanya Allah, Allah SWT. hal ini dijelaskan Allah SWT dalam ayat berikut ini :
Artinya : Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam : 17-18)
Pertanyaan berikutnya, apakah Allah SWT menganiaya diri kita tanpa sebab?
Allah Maha Penyayang, sehingga mustahil bagi Allah SWT menganiaya hamba-hambaNya.
Bencana serta musibah yang kita alami sehingga hidup terasa sulit, hati sering gelisah, hidup terasa berat dan tersiksa adalah karena Allah SWT mengijinkan azab turun menimpa kita. Tidak ada yang lain selain Allah SWT. Dan satu-satunya alasan Allah SWT mengijinkan azab itu turun adalah karena kita memiliki DOSA. Hal ini juga sudah dijelaskan Allah SWT di dalam Al Quran, perhatikan ayat berikut ini :
Artinya : Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS. An Nisaa’ : 79)
Dari ayat di atas, Allah SWT memberitahukan kepada kita, bahwa Allah SWT hanya memberikan kenikmatan, sedangkan bencana yang menimpa kita adalah karena dosa kita sendiri. Dengan demikian, jika seseorang tidak memiliki dosa, maka tidak ada alasan lagi bagi Allah SWT untuk menurunkan azab. Maka, bahagialah kehidupan dunia dan akhirat orang tersebut. Inilah arti pentingnya menghindari DOSA.
Marilah sahabat kita bersama-sama menjaga diri dari dosa. Lakukan dengan lebih bersungguh-sungguh terutama dalam empat bulan yang dimuliakan Allah SWT tersebut. Mohon ampunlah kepada Allah sebanyak mungkin dan mintalah Rahmat dan Karunia dariNya, lalu sambutlah hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bish-showab
*Dwi Agus Budi, asal Jepara
↧
Hal Konyol Yang Tidak Disadari Kebanyakan Manusia
Muslimedianews.com ~ Ada berbagai aktivitas yang dilakukan manusia setiap harinya. Waktu demi waktu telah dilalui manusia dengan diisi berbagai aktivitas baik aktivitas positif maupun aktivitas negatif. Dari segala aktivitas manusia sehari-hari dapat kita perhatikan bahwa disekitar kita banyak manusia yang terus menerus melakukan hal konyol dan bodoh dan mereka seperti sama sekali tidak menyadarinya, bahkan bisa jadi anda saat ini termasuk mereka yang melakukan hal-hal konyol tersebut. Hal konyol yang banyak mausia terperangkap adalah:
"BANYAK MANUSIA LEBIH TAKUT MISKIN DARI PADA TAKUT NERAKA"
Hal ini konyol, seharusnya tidak ada yang lebih menakutkan dari pada neraka. Jika ditanya kepada manusia yang mengaku beriman, mereka berkata ‘tentu saja kami labih takut neraka dari pada miskin’ namun kenyataannya di antara mereka benar-benar lebih takut miskin dari pada neraka. Mereka berbuat konyol tapi tidak menyadarinya.
Perhatikan lingkungan sekitar anda, bukankah banyak manusia yang rela melakukan hal haram demi mendapatkan uang. Banyak manusia yang menjadi pengedar narkoba, penjual minuman keras, pezina (pelacur), dan pekerjaan haram lainnya. Mereka rela berjalan menuju neraka demi mendapatkan uang. Bukankah ini artinya mereka lebih takut miskin dari pada takut neraka.
Selain golongan manusia dengan pekerjaan haram, ada juga segolongan manusia yang lalai dan mengabaikan kewajibannya kepada Allah SWT karena uang. Ada yang sholatnya “bolong-bolong” dengan alasan pekerjaan, bahkan ada yang tidak sholat sama sekali kecuali sholat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha dengan alasan yang sama yaitu pekerjaan. Ada juga yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena alasan pekerjaan, pada hal mereka mampu berpuasa. Mengabaikan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT adalah dosa. Enggan melakukan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT dapat mengantarkan seseorang masuk ke dalam neraka. Ini artinya, demi uang manusia tersebut mengabaikan ancaman neraka, manusia tersebut juga termasuk manusia yang lebih takut miskin dari pada neraka.
Perhatikan ayat berikut ini :
Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. (QS. Al Israa’ : 18)
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka. (QS. Al Qamar : 47)
Kedua ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa bagi manusia yang lebih menghendaki kenikmatan duniawi saja dan melakukan banyak dosa maka Allah SWT mengancamnya dengan neraka dan kesesatan di dunia.
Hal ini dijelaskan juga dalam sebuah Hadits Qudsi berikut ini :
Hadits riwayat imam Al-Hakim dari Ma’qal bin Yasar Radhiallaahu anhu ia berkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:“Tuhan kalian berkata, ‘Wahai anak Adam, beribadah-lah kepadaKu sepenuhnya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rizki. Wahai anak Adam!, jangan jauhi Aku, sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tangamu dengan kesibukan.
Dalam Hadits Qudsi tersebut, dijelaskan bahwa jika kita sepenuhnya beribadah kepada Allah SWT maka Allah SWT akan memenuhi kebutuhan kita dan melapangkan rezki kita, sebaliknya jika kita menyibukkan diri dengan mengejar duniawi maka SWT Allah akan membuat hati kita selalu merasa kurang dan dibuat semakin sibuk dengan kesibukan duniawi. Coba anda perhatikan para koruptor, mereka yang melakukan korupsi justru mereka yang memiliki jabatan tinggi dan gaji yang besar. Ternyata mereka masih saja merasa kurang.
Sebagai pelengkap, perhatikan ayat berikut ini :
Artinya : Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS. Al Baqarah : 212)
Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan dunia itu terlihat indah, sehingga banyak diantara manusia yang mengukur kesuksesan manusia dari hartanya. Semakin kaya maka semakin dihormati, sebaliknya, banyak manusia yang memandang hina kepada orang miskin. Padahal, derajat manusia di sisi Allah SWT diukur dari ketaqwaannya bukan harta bendanya.
Adakah orang yang kaya dilaknat Allah SWT?
Ada.
Fir’aun, Qarun, Namrud, dll mereka adalah orang-orang kaya namun dilaknat oleh Allah SWT dunia dan akhirat. Sebagai tambahan perhatikan ayat berikut :|
Artinya : Berapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka[907], sedang mereka adalah lebih bagus alat rumah tangganya dan lebih sedap di pandang mata. (QS. Maryam : 74)
Keterangan angka :
[907]. Maksudnya: umat-umat yang mengingkari Allah seperti kaum 'Aad dan Tsamud.
Banyak manusia yang memiliki harta berlebih tapi di azab oleh Allah SWT. Kelimpahan harta sama sekali tidak menjamin kebahagiaan baik di dunia dan akhirat. Kembalikan akan sehat anda, janganlah terus menerus berbuat konyol, janganlah lebih takut miskin dari pada neraka. Jangan mengira bahwa neraka adalah dongeng belaka, neraka adalah janji Allah SWT untuk mereka yang pantas memasukinya, dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah SWT.
Janganlah silau dengan kenikmatan duniawi. Mari sibukkan diri kita untuk senantiasa beribadah kepada Allah SWT. Bekerjalah dalam pekerjaan yang halal. Kerjakanlah perintah-perintah Allah SWT, dan jangan lakukan apa saja yang dilarang Allah SWT.
Takutlah dengan neraka, karena neraka bukanlah DONGENG, dan jangalah takut miskin, karena tidak takut miskin bukan berarti anda akan miskin.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis : Dwi Agus Wahyudi, asal Jepara
"BANYAK MANUSIA LEBIH TAKUT MISKIN DARI PADA TAKUT NERAKA"
Hal ini konyol, seharusnya tidak ada yang lebih menakutkan dari pada neraka. Jika ditanya kepada manusia yang mengaku beriman, mereka berkata ‘tentu saja kami labih takut neraka dari pada miskin’ namun kenyataannya di antara mereka benar-benar lebih takut miskin dari pada neraka. Mereka berbuat konyol tapi tidak menyadarinya.
Perhatikan lingkungan sekitar anda, bukankah banyak manusia yang rela melakukan hal haram demi mendapatkan uang. Banyak manusia yang menjadi pengedar narkoba, penjual minuman keras, pezina (pelacur), dan pekerjaan haram lainnya. Mereka rela berjalan menuju neraka demi mendapatkan uang. Bukankah ini artinya mereka lebih takut miskin dari pada takut neraka.
Selain golongan manusia dengan pekerjaan haram, ada juga segolongan manusia yang lalai dan mengabaikan kewajibannya kepada Allah SWT karena uang. Ada yang sholatnya “bolong-bolong” dengan alasan pekerjaan, bahkan ada yang tidak sholat sama sekali kecuali sholat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha dengan alasan yang sama yaitu pekerjaan. Ada juga yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena alasan pekerjaan, pada hal mereka mampu berpuasa. Mengabaikan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT adalah dosa. Enggan melakukan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT dapat mengantarkan seseorang masuk ke dalam neraka. Ini artinya, demi uang manusia tersebut mengabaikan ancaman neraka, manusia tersebut juga termasuk manusia yang lebih takut miskin dari pada neraka.
Perhatikan ayat berikut ini :
Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. (QS. Al Israa’ : 18)
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka. (QS. Al Qamar : 47)
Kedua ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa bagi manusia yang lebih menghendaki kenikmatan duniawi saja dan melakukan banyak dosa maka Allah SWT mengancamnya dengan neraka dan kesesatan di dunia.
Hal ini dijelaskan juga dalam sebuah Hadits Qudsi berikut ini :
Hadits riwayat imam Al-Hakim dari Ma’qal bin Yasar Radhiallaahu anhu ia berkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:“Tuhan kalian berkata, ‘Wahai anak Adam, beribadah-lah kepadaKu sepenuhnya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rizki. Wahai anak Adam!, jangan jauhi Aku, sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tangamu dengan kesibukan.
Dalam Hadits Qudsi tersebut, dijelaskan bahwa jika kita sepenuhnya beribadah kepada Allah SWT maka Allah SWT akan memenuhi kebutuhan kita dan melapangkan rezki kita, sebaliknya jika kita menyibukkan diri dengan mengejar duniawi maka SWT Allah akan membuat hati kita selalu merasa kurang dan dibuat semakin sibuk dengan kesibukan duniawi. Coba anda perhatikan para koruptor, mereka yang melakukan korupsi justru mereka yang memiliki jabatan tinggi dan gaji yang besar. Ternyata mereka masih saja merasa kurang.
Sebagai pelengkap, perhatikan ayat berikut ini :
Artinya : Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS. Al Baqarah : 212)
Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan dunia itu terlihat indah, sehingga banyak diantara manusia yang mengukur kesuksesan manusia dari hartanya. Semakin kaya maka semakin dihormati, sebaliknya, banyak manusia yang memandang hina kepada orang miskin. Padahal, derajat manusia di sisi Allah SWT diukur dari ketaqwaannya bukan harta bendanya.
Adakah orang yang kaya dilaknat Allah SWT?
Ada.
Fir’aun, Qarun, Namrud, dll mereka adalah orang-orang kaya namun dilaknat oleh Allah SWT dunia dan akhirat. Sebagai tambahan perhatikan ayat berikut :|
Artinya : Berapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka[907], sedang mereka adalah lebih bagus alat rumah tangganya dan lebih sedap di pandang mata. (QS. Maryam : 74)
Keterangan angka :
[907]. Maksudnya: umat-umat yang mengingkari Allah seperti kaum 'Aad dan Tsamud.
Banyak manusia yang memiliki harta berlebih tapi di azab oleh Allah SWT. Kelimpahan harta sama sekali tidak menjamin kebahagiaan baik di dunia dan akhirat. Kembalikan akan sehat anda, janganlah terus menerus berbuat konyol, janganlah lebih takut miskin dari pada neraka. Jangan mengira bahwa neraka adalah dongeng belaka, neraka adalah janji Allah SWT untuk mereka yang pantas memasukinya, dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah SWT.
Janganlah silau dengan kenikmatan duniawi. Mari sibukkan diri kita untuk senantiasa beribadah kepada Allah SWT. Bekerjalah dalam pekerjaan yang halal. Kerjakanlah perintah-perintah Allah SWT, dan jangan lakukan apa saja yang dilarang Allah SWT.
Takutlah dengan neraka, karena neraka bukanlah DONGENG, dan jangalah takut miskin, karena tidak takut miskin bukan berarti anda akan miskin.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis : Dwi Agus Wahyudi, asal Jepara
↧
↧
Apa makna nama Hajar هاجر ?
Muslimedianews.com ~ Sebagaimana diketahui, nama Hajar dikenal didalam Islam, yang disebut dengan Sayyidah Hajar atau Siti Hajar. Hajar merupakan ibunda dari Nabi Ismail sekaligus istri Nabi Ibrahim as.
Nama Hajar adalah nama yang indah, isim 'alam bagi wanita. Ada yang menduga bahwa Hajar berasal dari fi'il هاجَرَ. Hal itu tidak benar, sebab Hajar merupakan nama non-Arab. Hajar berasal dari nama هيروغليفى Heiroglif. Dan berdasarkan Heiroglif, nama Hajar memiliki makna: ها bermakan Zahratul Lawtus atau Bunga Lotus, biasa juga disebut bunga Seroja. جر bermakna tanah Jab diwilayah Mesir. Sehingga nama Hajar merupakan nama bunga Lotus yang ada dikawasan Mesir.
Heiroglif sendiri merupaka sistem tulisan formal yang digunakan oleh masyarakat Mesir kuno. Tulisan hieroglif ini mula-mula sekali direka oleh orang Mesir sekitar tahun 3200 SM. Terdapat lebih 700 aksara hieroglif yang sudah diketahui. Tidak semua aksara ini melambangkan huruf, bahkan ada yang melambangkan perkataan secara penuh.
Nama Hajar adalah nama yang indah, isim 'alam bagi wanita. Ada yang menduga bahwa Hajar berasal dari fi'il هاجَرَ. Hal itu tidak benar, sebab Hajar merupakan nama non-Arab. Hajar berasal dari nama هيروغليفى Heiroglif. Dan berdasarkan Heiroglif, nama Hajar memiliki makna: ها bermakan Zahratul Lawtus atau Bunga Lotus, biasa juga disebut bunga Seroja. جر bermakna tanah Jab diwilayah Mesir. Sehingga nama Hajar merupakan nama bunga Lotus yang ada dikawasan Mesir.
Heiroglif sendiri merupaka sistem tulisan formal yang digunakan oleh masyarakat Mesir kuno. Tulisan hieroglif ini mula-mula sekali direka oleh orang Mesir sekitar tahun 3200 SM. Terdapat lebih 700 aksara hieroglif yang sudah diketahui. Tidak semua aksara ini melambangkan huruf, bahkan ada yang melambangkan perkataan secara penuh.
Ibnu L' Rabassa/Berbagai Sumber.
↧
Cincin Nabi Yang Hilang dan Awal Ujian Umat Islam
Muslimedianews.com ~ Diantara peninggalan Rasulullah adalah sebuah cincin terbuat dari perak yang bertuliskan tiga baris Muhammad Rasul Allah.
Setelah Rasulullah wafat, cincin ini dilanjutkan oleh para penerus Rasulullah, Sayidina Abu Bakar, Sayidina Umar dan terakhir Sayidina Utsman, kemudian cincin terjatuh di sumur Aris dekat Quba'. Setelah dicari selama tiga hari dalam sumur, cincin tidak kunjung ditemukan, hingga kini.
Bukan klenik, setelah cincin ini hilang menjadi pertanda awal terjadinya ujian diantara umat Islam dalam beberapa peristiwa diantara mereka. Pernyataan ulama ini dikutip oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, pensyarah Sahih al-Bukhari.
Sebagian ulama berkata : "Cincin Nabi memiliki rahasia seperti cincin Nabi Sulaiman, ketika hilang maka kerajaannya pun hilang. Ketika Utsman kehilangan cincin Nabi maka jadi awal ujian umat Islam yang jadi sebab beliau wafat dan berlanjut ke akhir zaman" (Fathul bari)
Setelah Rasulullah wafat, cincin ini dilanjutkan oleh para penerus Rasulullah, Sayidina Abu Bakar, Sayidina Umar dan terakhir Sayidina Utsman, kemudian cincin terjatuh di sumur Aris dekat Quba'. Setelah dicari selama tiga hari dalam sumur, cincin tidak kunjung ditemukan, hingga kini.
Bukan klenik, setelah cincin ini hilang menjadi pertanda awal terjadinya ujian diantara umat Islam dalam beberapa peristiwa diantara mereka. Pernyataan ulama ini dikutip oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, pensyarah Sahih al-Bukhari.
Sebagian ulama berkata : "Cincin Nabi memiliki rahasia seperti cincin Nabi Sulaiman, ketika hilang maka kerajaannya pun hilang. Ketika Utsman kehilangan cincin Nabi maka jadi awal ujian umat Islam yang jadi sebab beliau wafat dan berlanjut ke akhir zaman" (Fathul bari)
Ust. Muhammad Ma'ruf Khozin
↧
Mengapa Pengajian Umum Diawali Pembacaan Ayat Suci al-Quran?
Muslimedianews.com ~ Hampir menjadi tradisi yang tak terlupakan, majlis pengajian dan acara keilmuan maupun dzikir selalu diawali dengan pembacaan al-Quran oleh seorang Qari' yang bersuara indah. Sunahkah atau bidahkah hal semacam ini?
Ulama ahli hadis bermadzhab Syafii, Imam Syarafuddin bin Yahya yang dikenal nama besarnya al-Nawawi menyebutkan bahwa hal ini adalah tradisi para ulama yang saleh untuk meminta seorang pembaca al-Quran dalam pembukaan majlis (al-Majmu')
Diantara dalil yang beliau kemukakan adalah hadis sahih bahwa Abdullah bin Masud diminta membacakan al-Quran oleh Rasulullah. Ibnu Masud berkata: "Apakah aku membacakan al-Quran, padahal al-Quran diturunkan kepadamu? Nabi menjawab: "Aku senang mendengar bacaan dari orang lain". Ibnu Masud lalu membacakan Surat al-Nisa hingga sampai ayat ke 41 Nabi meminta untuk dihentikan, yang ternyata Rasulullah menangis. (HR al-Bukhari)
Berkenaan dengan Surat al-Nisa 41 ini juga pernah terjadi saat Kiai Mujib Ridhwan pulang dari Makkah selepas Muktamar NU Situbondo, beliau membacakan ayat ini dihadapan Kiai Asad Syamsul Arifin, dan beliau pun menangis (Diriwayatkan oleh Gus Sholahuddin Mujib)
Ulama ahli hadis bermadzhab Syafii, Imam Syarafuddin bin Yahya yang dikenal nama besarnya al-Nawawi menyebutkan bahwa hal ini adalah tradisi para ulama yang saleh untuk meminta seorang pembaca al-Quran dalam pembukaan majlis (al-Majmu')
Diantara dalil yang beliau kemukakan adalah hadis sahih bahwa Abdullah bin Masud diminta membacakan al-Quran oleh Rasulullah. Ibnu Masud berkata: "Apakah aku membacakan al-Quran, padahal al-Quran diturunkan kepadamu? Nabi menjawab: "Aku senang mendengar bacaan dari orang lain". Ibnu Masud lalu membacakan Surat al-Nisa hingga sampai ayat ke 41 Nabi meminta untuk dihentikan, yang ternyata Rasulullah menangis. (HR al-Bukhari)
Berkenaan dengan Surat al-Nisa 41 ini juga pernah terjadi saat Kiai Mujib Ridhwan pulang dari Makkah selepas Muktamar NU Situbondo, beliau membacakan ayat ini dihadapan Kiai Asad Syamsul Arifin, dan beliau pun menangis (Diriwayatkan oleh Gus Sholahuddin Mujib)
Ust. M. Ma'ruf Khozin
↧
Santri dan Pesantren
Muslimedianews.com ~ Santri dan ulama menjalankan jalur dakwah tidak harus selalu berada di atas panggung podium dengan pidato (bil lisan), tetapi dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga dan ibadah ( ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul fiqry, sampai ijtihad, orang yang sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat sulit) namun para ulama juga berjihad dengan berdakwah (bil kalam) dengan tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan., namun jihad yang besar sesungguhnya adalah berperang melawan hawa nafsu (jihadun nafsy).
Ada tujuh pakar keislaman dari Indonesia di tanah suci pada abad 19-an yang menjadi maha guru bagi pelajar dari Indonesia termasuk AlHadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari bahkan ulama dari berbagai penjuru nusantara dan dunia pada saat itu. Ketujuh tokoh tersebut adalah Syaikh Soleh Darat, Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Al Sambasi, Kiai Mahfuzh At-Tarmasi (Tremas Pacitan), Syaikh Junaid Al Betawi, Syaikh Nahrowi al Banyumasi dan Syaikh Kholil Al Bangkalan. Mata rantai keilmuan keislaman pada akhir abad 18 dan awal abad 19 tidak lepas dari ketujuh tokoh dari ketujuh tokoh dari Indunisie.
Ketujuh ulama ini sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama. Mereka amat berjasa dalam membentuk dunia santri di tanah Jawa mulai dari menulis ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa, atau Arab Pegon. Menurut sebagian cerita kenapa harus huruf Arab Pegon, Syaikh Saleh Darat, Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Cholil Bangkalan yang ingin melakukan komunikasi antar sesama suku bangsa asal pulau Jawa yang sedang belajar di Arab Saudi. Sementara Syaikh Juned al Betawi menulisnya kitab kuningnya dengan Arab Melayu.
Arab pegon atau arab jenggotan atau arab gandulan (karena ada pemaknaan yang menggantung di bawahnya) dirancang sebagai bahasa sandi antar guru dan murid yang sedang belajar di Saudi dalam bahasa Jawa. Karena pada waktu itu, Kolonial Belanda sedang menancapkan penjajahan di bumi Hindia Belanda. Sementara para ulama di atas mendapat lindungan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan mufti Mekkah saat itu. Sementara untuk editor percetakannya adalah Syaikh Habib an Nahrowi al Muhtaram al Banyumasi.
Kembali kesoal dunia santri, santri bila dilihat secara harfiyah terdiri dari lima huruf; Sin, Nun, Ta’, Ro dan Ya’. Kelima huruf itu mempunyai arti tersendiri. Pertama huruf Sin, berasal dari kata salikul fil’ibadah (melaksanakan ibadah). Nun, berasal dari kata naibun ‘anissyuukhi (bersedia datang kepada gurunya baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal). Huruf ketiga Ta’ berasal dari kata taibun artinya santri senantiasa bertaubat dari melakukan dosa dan menjauhi maksiat. Huruf keempat Ro’ berasal dari kata roghibu artinya senang mendatangi tiap-tiap kebajikan atau bila diajak melaksanakan perkara yang bajik (baik, bagus), santri selalu senang. Sedangkan huruf terakhir huruf kelima Ya, berasal dari kata yaqin. Satri harus yakin dengan pembagian nikmat dari Allah Subhannallah Wata’ala Jalajalluhu Warohmatuhu (Abi Ahmad Syihabuddin M, Pondok Pesantren “Al Kautsar” Babadan Kediri; 2002).
Ada juga istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa pesantren (tempat/pondok santri mencari ilmu) yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa.
Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7).
Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M.
Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama Islam.
Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25)
Apabila masih ada Pondok Pesantren atau santri-santri masih dalam masa belajar tidak berfikir yang penting sebaqgai santri mencari kepintaran dan masih perlu banyak mengaji kitab kuning kepada para Kyai dan Ulama di Pesantren, yakinilah bahwa Allah SWT akan selalu memberi jalan rizqi. Demikianlah uraian seputar dunia santri, Manghayubagya Hari Santri Nasional yang pertama semoga sinar agama Islam tetap berkibar ke seluruh penjuru Nusantara, sehingga cita-cita Negara dan Bangsa Kesatuan Republik Indonesia akan tetap aman, adil, makmur penuh ampunan ridho Allah SWT. Amin Amin Ya Mujibas Sailin. Wallohul muwwafiq illa Aqwamith Thorieq. (*****)
Ada tujuh pakar keislaman dari Indonesia di tanah suci pada abad 19-an yang menjadi maha guru bagi pelajar dari Indonesia termasuk AlHadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari bahkan ulama dari berbagai penjuru nusantara dan dunia pada saat itu. Ketujuh tokoh tersebut adalah Syaikh Soleh Darat, Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Al Sambasi, Kiai Mahfuzh At-Tarmasi (Tremas Pacitan), Syaikh Junaid Al Betawi, Syaikh Nahrowi al Banyumasi dan Syaikh Kholil Al Bangkalan. Mata rantai keilmuan keislaman pada akhir abad 18 dan awal abad 19 tidak lepas dari ketujuh tokoh dari ketujuh tokoh dari Indunisie.
Ketujuh ulama ini sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama. Mereka amat berjasa dalam membentuk dunia santri di tanah Jawa mulai dari menulis ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa, atau Arab Pegon. Menurut sebagian cerita kenapa harus huruf Arab Pegon, Syaikh Saleh Darat, Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Cholil Bangkalan yang ingin melakukan komunikasi antar sesama suku bangsa asal pulau Jawa yang sedang belajar di Arab Saudi. Sementara Syaikh Juned al Betawi menulisnya kitab kuningnya dengan Arab Melayu.
Arab pegon atau arab jenggotan atau arab gandulan (karena ada pemaknaan yang menggantung di bawahnya) dirancang sebagai bahasa sandi antar guru dan murid yang sedang belajar di Saudi dalam bahasa Jawa. Karena pada waktu itu, Kolonial Belanda sedang menancapkan penjajahan di bumi Hindia Belanda. Sementara para ulama di atas mendapat lindungan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan mufti Mekkah saat itu. Sementara untuk editor percetakannya adalah Syaikh Habib an Nahrowi al Muhtaram al Banyumasi.
Kembali kesoal dunia santri, santri bila dilihat secara harfiyah terdiri dari lima huruf; Sin, Nun, Ta’, Ro dan Ya’. Kelima huruf itu mempunyai arti tersendiri. Pertama huruf Sin, berasal dari kata salikul fil’ibadah (melaksanakan ibadah). Nun, berasal dari kata naibun ‘anissyuukhi (bersedia datang kepada gurunya baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal). Huruf ketiga Ta’ berasal dari kata taibun artinya santri senantiasa bertaubat dari melakukan dosa dan menjauhi maksiat. Huruf keempat Ro’ berasal dari kata roghibu artinya senang mendatangi tiap-tiap kebajikan atau bila diajak melaksanakan perkara yang bajik (baik, bagus), santri selalu senang. Sedangkan huruf terakhir huruf kelima Ya, berasal dari kata yaqin. Satri harus yakin dengan pembagian nikmat dari Allah Subhannallah Wata’ala Jalajalluhu Warohmatuhu (Abi Ahmad Syihabuddin M, Pondok Pesantren “Al Kautsar” Babadan Kediri; 2002).
Ada juga istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa pesantren (tempat/pondok santri mencari ilmu) yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa.
Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7).
Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M.
Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama Islam.
Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25)
Apabila masih ada Pondok Pesantren atau santri-santri masih dalam masa belajar tidak berfikir yang penting sebaqgai santri mencari kepintaran dan masih perlu banyak mengaji kitab kuning kepada para Kyai dan Ulama di Pesantren, yakinilah bahwa Allah SWT akan selalu memberi jalan rizqi. Demikianlah uraian seputar dunia santri, Manghayubagya Hari Santri Nasional yang pertama semoga sinar agama Islam tetap berkibar ke seluruh penjuru Nusantara, sehingga cita-cita Negara dan Bangsa Kesatuan Republik Indonesia akan tetap aman, adil, makmur penuh ampunan ridho Allah SWT. Amin Amin Ya Mujibas Sailin. Wallohul muwwafiq illa Aqwamith Thorieq. (*****)
Penulis : Aji Setiawan/ Purbalingga
↧
↧
Menag: PBM 2006 Acuan Pendirian Rumah Ibadah
Muslimedianews.com ~ Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat merupakan dasar dan acuan pengurusan izin pendirian rumah ibadah.
Menag menyampaikan hal itu saat bersilaturahim dengan para tokoh dari majelis-majelis agama di Kantor Bupati Aceh Singkil, Senin (26/10) sehubungan dengan adanya tuntutan dari sejumlah pihak agar PBM tersebut dicabut. Demikian siaran pers yang diterima NU Online, Selasa.
Menurut Menag, sepanjang tahun 2005 hingga 2006, para tokoh agama telah melakukan belasan kali diskusi untuk mencari titik temu bagi penyelesaian masalah dan sengketa rumah ibadah. Saat itu, masing-masing agama diwakili oleh dua tokohnya. Mewakili Islam: KH Makruf Amin dan KH Zaidan Jauhari (MUI), Protestan: Dr Lodewijk Gultom dan Martin Hutabarat (PGI), Katolik: Dr Maria Farida dan Vera Wenny, SH (KWI), Buddha: Suhadi Sendjaja dan Sudjito (Walubi), serta dari Hindu: I Nengah Dana dan Agusmantik (PHDI). Proses diskusi tersebut difasilitasi oleh Pemerintah melalui Balitbang Diklat Kemenag yang saat itu dipimpin Prof. Atho Mudhar dan Dirjen Kesbangpol Mendagri yang dipimpin Dr. Sudarsono.
Hasilnya, mereka menyepakati sebuah rumusan yang lantas dijadikan Pemerintah sebagai PBM Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2006. Jadi, kata Menag, PBM tahun 2006 itu bukanlah rumusan dari Pemerintah, melainkan rumusan yang datang sebagai hasil dari serial diskusi tokoh agama yang masing-masing diwakili dua orang.
"Itulah yang menjadi acuan kita bersama sampai saat ini dalam kita mendirikan rumah ibadah, apa pun agamanya,” tandas Menag yang pada kesempatan itu didampingi para pimpinan daerah Propinsi Aceh dan Kabupaten Aceh Singkil.
Menag memandang bahwa selama belum ada pengganti yang lebih baik, PBM tersebut tidak bisa dicabut. Sebab, kalau dicabut, maka tidak ada acuan yang bisa dijadikan sebagai dasar.
“Kementerian Agama saat ini sedang menyiapkan RUU tentang Perlindungan Umat Beragama, salah satunya mengatur terkait rumah ibadah ini. Tapi ini masih masih rancangan dan belum selesai. Selama belum ada penggantinya yang baru yang lebih baik, maka yang ada jangan dihilangkan dulu,” ujar Menag.
Keragaman Masyarakat Indonesia
Menag mengajak semua pihak untuk meningkatkan kesadaran bahwa masyarakat Indonesia hakikatnya beragam dan hidup di tengah keragaman. Karena itu, sudah semestinya masyarakat Indonesia saling menghargai dan menghormati perbedaan.
Keragaman adalah sesuatu yang given, sunnatullah, yang memang begitulah Tuhan menghendakinya. "Kalau Tuhan mau, maka mudah saja bagi-Nya untuk menyeragamkan manusia menjadi umat yang satu. Tapi Dia tidak melakukan itu karena dalam keragaman ada hikmah, berkah, dan anugerah sehubungan dengan keterbatasan setiap manusia. Anugerah Tuhan menciptakan keragaman agar yang berbeda-beda ini bisa saling melengkapi dan mengisi,” pesannya.
“Karenanya, jangan pernah berobsesi untuk menyeragamkan semua kita. Itu bisa dimaknai mengingkari sunnatullah,” tambahnya.
Bagi Menag Lukman, yang dituntut dari manusia adalah menebar kebajikan karena agama bertujuan menebarkan kebajikan dan memanusiakan manusia. Dalam menyikapi keragaman, yang dituntut bukanlah menyeragamkan tapi bagaimana menghargai dan menghormati perbedaan yang ada.
"Bukan menuntut pihak lain yang berbeda untuk menghormati dan menghargai saya, tapi saya yang proaktif untuk menghargai dan menghormati pihak-pihak di luar sana yang berbeda,” tandasnya.
Senin (26/10), Menag Lukman bertemu para tokoh agama di Aceh Singkil untuk membantu pihak-pihak berkepentingan untuk menyelesaikan masalah pasca terjadi pembakaran gereja padaSelasa (13/10).
Menag berharap semua pihak dapat mengambil hikmah dari peristiwa tersebut sehingga hubungan antarumat beragama di Aceh Singkil khususnya dan Indonesia pada umumnya bisa lebih baik lagi. (Mahbib)
sumber nu.or.id
Menag menyampaikan hal itu saat bersilaturahim dengan para tokoh dari majelis-majelis agama di Kantor Bupati Aceh Singkil, Senin (26/10) sehubungan dengan adanya tuntutan dari sejumlah pihak agar PBM tersebut dicabut. Demikian siaran pers yang diterima NU Online, Selasa.
Menurut Menag, sepanjang tahun 2005 hingga 2006, para tokoh agama telah melakukan belasan kali diskusi untuk mencari titik temu bagi penyelesaian masalah dan sengketa rumah ibadah. Saat itu, masing-masing agama diwakili oleh dua tokohnya. Mewakili Islam: KH Makruf Amin dan KH Zaidan Jauhari (MUI), Protestan: Dr Lodewijk Gultom dan Martin Hutabarat (PGI), Katolik: Dr Maria Farida dan Vera Wenny, SH (KWI), Buddha: Suhadi Sendjaja dan Sudjito (Walubi), serta dari Hindu: I Nengah Dana dan Agusmantik (PHDI). Proses diskusi tersebut difasilitasi oleh Pemerintah melalui Balitbang Diklat Kemenag yang saat itu dipimpin Prof. Atho Mudhar dan Dirjen Kesbangpol Mendagri yang dipimpin Dr. Sudarsono.
Hasilnya, mereka menyepakati sebuah rumusan yang lantas dijadikan Pemerintah sebagai PBM Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2006. Jadi, kata Menag, PBM tahun 2006 itu bukanlah rumusan dari Pemerintah, melainkan rumusan yang datang sebagai hasil dari serial diskusi tokoh agama yang masing-masing diwakili dua orang.
"Itulah yang menjadi acuan kita bersama sampai saat ini dalam kita mendirikan rumah ibadah, apa pun agamanya,” tandas Menag yang pada kesempatan itu didampingi para pimpinan daerah Propinsi Aceh dan Kabupaten Aceh Singkil.
Menag memandang bahwa selama belum ada pengganti yang lebih baik, PBM tersebut tidak bisa dicabut. Sebab, kalau dicabut, maka tidak ada acuan yang bisa dijadikan sebagai dasar.
“Kementerian Agama saat ini sedang menyiapkan RUU tentang Perlindungan Umat Beragama, salah satunya mengatur terkait rumah ibadah ini. Tapi ini masih masih rancangan dan belum selesai. Selama belum ada penggantinya yang baru yang lebih baik, maka yang ada jangan dihilangkan dulu,” ujar Menag.
Keragaman Masyarakat Indonesia
Menag mengajak semua pihak untuk meningkatkan kesadaran bahwa masyarakat Indonesia hakikatnya beragam dan hidup di tengah keragaman. Karena itu, sudah semestinya masyarakat Indonesia saling menghargai dan menghormati perbedaan.
Keragaman adalah sesuatu yang given, sunnatullah, yang memang begitulah Tuhan menghendakinya. "Kalau Tuhan mau, maka mudah saja bagi-Nya untuk menyeragamkan manusia menjadi umat yang satu. Tapi Dia tidak melakukan itu karena dalam keragaman ada hikmah, berkah, dan anugerah sehubungan dengan keterbatasan setiap manusia. Anugerah Tuhan menciptakan keragaman agar yang berbeda-beda ini bisa saling melengkapi dan mengisi,” pesannya.
“Karenanya, jangan pernah berobsesi untuk menyeragamkan semua kita. Itu bisa dimaknai mengingkari sunnatullah,” tambahnya.
Bagi Menag Lukman, yang dituntut dari manusia adalah menebar kebajikan karena agama bertujuan menebarkan kebajikan dan memanusiakan manusia. Dalam menyikapi keragaman, yang dituntut bukanlah menyeragamkan tapi bagaimana menghargai dan menghormati perbedaan yang ada.
"Bukan menuntut pihak lain yang berbeda untuk menghormati dan menghargai saya, tapi saya yang proaktif untuk menghargai dan menghormati pihak-pihak di luar sana yang berbeda,” tandasnya.
Senin (26/10), Menag Lukman bertemu para tokoh agama di Aceh Singkil untuk membantu pihak-pihak berkepentingan untuk menyelesaikan masalah pasca terjadi pembakaran gereja padaSelasa (13/10).
Menag berharap semua pihak dapat mengambil hikmah dari peristiwa tersebut sehingga hubungan antarumat beragama di Aceh Singkil khususnya dan Indonesia pada umumnya bisa lebih baik lagi. (Mahbib)
sumber nu.or.id
↧
Keprihatinan Pembesar Hanbali terhadap Madzhabnya
Muslimedianews.com ~ Berkaitan dengan madzhab Hanbali, Al-Imâm al-Hâfizh al-‘Allâmah Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as-Shiddiqi al-Bakri atau populer dengan sebutan Imam Ibnul Jauzi pernah berkata:
“Ketahuilah --semoga petunjuk Allah selalu tercurah bagi anda--, bahwa aku telah meneliti madzhab Hanbali yang telah dirintis oleh Imam Ahmad bin Hanbal, aku mendapati bahwa beliau adalah sosok yang sangat kompeten dalam berbagai disiplin ilmu agama, beliau telah mencapai puncak keilmuan dalam bidang fiqih dan dalam pendapat madzhab-madzhab terdahulu, hingga tidak ada suatu permasalahan sekecil apapun kecuali beliau telah menuliskan penjelasan atau catatan untuk itu, hanya saja metodologi yang dipakainya murni seperti para ulama Salaf sebelumnya; yang karenanya beliau tidak menulis kecuali hanya teks-teks yang benar-benar telah turun-temurun hingga ke generasinya (al Manqûlât).
Karena itu aku melihat madzhab Hanbali ini tidak memiliki karya-karya yang padahal jenis karya-karya semacam itu sangat banyak ditulis oleh musuh-musuh mereka. Lalu untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka aku menulis beberapa kitab tafsir yang cukup besar, di antaranya; al-Mughnî dalam beberapa jilid, Zâd al-Masîr, Tadzkirah al-Arîb, dan lainnya. Dalam bidang hadits aku menuliskan beberapa kitab, di antaranya; Jâmi al-Masânîd, al-Hadâ-iq, Naqiy an-Naql, dan kitab yang cukup banyak dalam al-Jarh Wa at-Ta’dîl.
Aku juga mendapati madzhab Hanbali ini tidak memiliki catatan-catatan tambahan (ta’lîqât) terhadap karya-karya terdahulu dalam masalah-masalah khilâfiyyah, kecuali ada satu orang saja, yaitu al-Qâdlî Abu Ya’la yang dalam hal ini ia berkata: “Aku selalu mengutip berbagai pendapat dari orang-orang luar madzhab Hanbali yang biasa menyebutkan berbagai pendapat dalam madzhab mereka masing-masing ketika mereka berdebat dengan lawan-lawan mereka, namun sedikitpun mereka tidak pernah menyinggung pendapat dalam madzhab Hanbali. Aku akui di hadapan mereka, memang benar kami dalam madzhab Hanbali tidak memiliki ta’lîq dalam masalah-masalah Fiqih. Oleh karena itu maka aku menuliskan beberapa ta’lîq”.
Begitulah ungkapan keprihatinan Imam Ibnul Jauzi terhadap perjalanan Madzhab Hanbali yang beliau tuliskan didalam muqaddimah kitab Da'fu Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih (دفع شبه التشبيه بأكف التنزيه) yakni salah satu karya monumental beliau dalam bidang aqidah. Kitab tersebut memaparkan kesesatan-kesesatan aqidah tasybih (menyerupakan Allah SWT dengan makhluk). Kitab tersebut sangat penting untuk dibaca dan disebarkan guna menghalau kelompok-kelompok yang mempropagandakan aqidah tasybih seperti sekte Wahhabiyah dan semisalnya mereka. (Ibnu L' Rabassa)
Karena itu aku melihat madzhab Hanbali ini tidak memiliki karya-karya yang padahal jenis karya-karya semacam itu sangat banyak ditulis oleh musuh-musuh mereka. Lalu untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka aku menulis beberapa kitab tafsir yang cukup besar, di antaranya; al-Mughnî dalam beberapa jilid, Zâd al-Masîr, Tadzkirah al-Arîb, dan lainnya. Dalam bidang hadits aku menuliskan beberapa kitab, di antaranya; Jâmi al-Masânîd, al-Hadâ-iq, Naqiy an-Naql, dan kitab yang cukup banyak dalam al-Jarh Wa at-Ta’dîl.
Aku juga mendapati madzhab Hanbali ini tidak memiliki catatan-catatan tambahan (ta’lîqât) terhadap karya-karya terdahulu dalam masalah-masalah khilâfiyyah, kecuali ada satu orang saja, yaitu al-Qâdlî Abu Ya’la yang dalam hal ini ia berkata: “Aku selalu mengutip berbagai pendapat dari orang-orang luar madzhab Hanbali yang biasa menyebutkan berbagai pendapat dalam madzhab mereka masing-masing ketika mereka berdebat dengan lawan-lawan mereka, namun sedikitpun mereka tidak pernah menyinggung pendapat dalam madzhab Hanbali. Aku akui di hadapan mereka, memang benar kami dalam madzhab Hanbali tidak memiliki ta’lîq dalam masalah-masalah Fiqih. Oleh karena itu maka aku menuliskan beberapa ta’lîq”.
Begitulah ungkapan keprihatinan Imam Ibnul Jauzi terhadap perjalanan Madzhab Hanbali yang beliau tuliskan didalam muqaddimah kitab Da'fu Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih (دفع شبه التشبيه بأكف التنزيه) yakni salah satu karya monumental beliau dalam bidang aqidah. Kitab tersebut memaparkan kesesatan-kesesatan aqidah tasybih (menyerupakan Allah SWT dengan makhluk). Kitab tersebut sangat penting untuk dibaca dan disebarkan guna menghalau kelompok-kelompok yang mempropagandakan aqidah tasybih seperti sekte Wahhabiyah dan semisalnya mereka. (Ibnu L' Rabassa)
↧
Tebuireng dan NU adalah Kunci Indonesia
Muslimedianews.com ~ Adalah KH. Shobari yang merupakan salah satu guru kesayangan Gus Dur di Pesantren Tebu Ireng. Perawakannya tinggi kurus dan murah senyum. Kalo ke Tebu Ireng dari rumahnya di Bogem, selalu naik sepeda onthel.
Melalui putranya, KH. Nasir Shobari, beliau pernah berpesan bahwa, "Kalau mau melihat Indonesia, lihatlah Tebu Ireng dan lebih luasnya lihatlah Nahdlatul Ulama, dan itulah Indonesia. Maka, bila kalian mau merusak Indonesia, rusaklah Tebu Ireng, karenanya akan rusak pula Nahdlatul Ulama. Maka, otomatis Indonesia akan hancur."
Saya mendengar ucapan KH. Shobari ini diucapkan kembali di ruang kamar pribadi Gus Dur menjelang Gus Dur diangkat menjadi Presiden RI ke 4, pada tahun 1999 silam. Saya mengingat betul peristiwa itu, karena setelah mendengar itu, Gus Dur duduk terdiam sambil mengusap pipinya yang basah karena air mata. Agak lama Gus Dur merenungi kata-kata yang disampaikan Gus Nasir tersebut. "Nggeh leres, Gus. Tebu Ireng itu miniatur Indonesia. Warna Tebu Ireng itu ya warna NU dan NU itu ya warna Indonesia," ujar Gus Dur yang mengatakan itu dengan semangat.
Pembicaraan antara Gus Dur dan Gus Nasir akhirnya dilanjutkan bagaimana Gus Dur sangat berhutang budi sama Mbah Yai Shobari. Pengalaman selama Gus Dur diasuh dan dididik oleh KH. Shobari diceritakan kembali oleh Gus Dur kepada kami bertiga, kala itu.
Tebu Ireng Miniatur Indonesia
Suasana hari ini, saya kembali teringat suasana di kamar pribadi Gus Dur 16 tahun silam, ucapan KH. Shobari yang disampaikan kembali oleh putranya ternyata begitu relevan dengan kondisi saat ini. Tulisan ini, sekedar berkaca pada realita Tebu Ireng, NU dan Indonesia, bukan untuk membuka malu pihak lain. Gambaran tentang keadaan Tebu Ireng secara politik dari tahun ke tahun akhirnya mendorong saya untuk mengkompilasikan dalam cerita yang pagi 25/10/15 ini, saya tulis di Bogor.
Sejak lama, memang susah menyatukan keluarga Tebu Ireng untuk bersatu di dalam garis politik yang sama. Gambaran itu terlihat ketika KH. A. Wahid Hasyim dan KH. Yusuf Hasyim (Pak Ud) aktif di Masyumi dan NU, itu tidak sejalan dengan KH. Kholik Hasyim (akrab dipanggil Pak Kholik). Pak Kholik kala itu tidak mau bergabung dengan Masyumi dan NU, beliau membangun partai sendiri bernama AKUI dan cukup diperhitungkan, khusunya di kawasan tapal kuda Jawa Timur dan Madura.
Tebu Ireng Jaman Orde Baru
Pada jaman Orde Baru, perbedaan politik dzuriyah Tebu Ireng tetap tidak segaris secara politik. Pak Ud dan Pak Karim (KH. Karim Hasyim) berbeda tajam, tidak pernah pula bisa menyatu. Pak Ud aktif di PPP dan Pak Karim di Golkar.
Catatan sejarah beda politik di Tebu Ireng tidak pernah berakhir, selalu berevolusi. Setelah beda pendapat dengan Pak Karim, Pak Ud selanjutnya berbeda paham politik dengan Gus Dur. Perbedaan itu tidak hanya cukup di Tebu Ireng saja, dua tokoh ini tetap berbeda hingga ke jantung organisasi Nahdlatul Ulama.
Peristiwa Muktamar Jogya tahun 1989 contohnya, ketika itu Gus Dur dihalangi oleh pemerintah Orde Baru untuk kembali memimpin NU. Hingga menjelang pemilihan ketua, sekitar ba'da shalat Shubuh ibunda Gus Dur mendatangi kamar Pak Ud di Hotel Borobudur Jogya. Di dalam kamar itu ada Pak Ud, Bu Ud dan Mbak Yati (putri Pak Ud). Dari balik jendela saya mendengar ibunda Gus Dur bicara yang intinya, "Lhah yo, kamu kok tega sama keponakanmu sendiri," ucap Bu Nyai kepada Pak Ud.
Suasana di kamar itu terasa hening, sejenak kemudian terlihat Pak Ud membuka pintu kamar, " Riyadi mana, suruh siapin mobil, " ucap Pak Ud meminta tolong sopirnya. Dan saya bergegas mencari Riyadi.
Ketika saya dan Riyadi sudah menyiapkan mobil Toyota Corona 2000 warna biru pas di depan kamar, Pak Ud berjalan menuju mobil dan meminta saya untuk ikut mengantar beliau ke Hotel Garuda. Sepanjang perjalanan, Pak Ud terlihat santai tanpa beban, tidak terlihat raut muka kecewa. "Kondisi ini harus aku sampaikan kepada Pak Rudini, Pak Susilo Sudarman dan Pak Beny, mereka sudah menunggu di Hotel Garuda," ucap Pak Ud di tengah perjalanan menuju Hotel Garuda, jalan Malioboro Jogya.
Dan setelah Pak Ud menggelar rapat dengan para petinggi Orde Baru, akhirnya Gus Dur direstui kembali memimpin NU. Padahal sebelumnya, pemerintah Orde Baru menginginkan Pak Ud memimpin NU. Setelah urusan selesai, Pak Ud legowo dan tidak melakukan manuver. Padahal kalau saat itu beliau mau, pasti segalanya akan mudah. Hubungan politik antara paman dan keponakan ini, tetap panas dingin.
Tebu Ireng Jaman Reformasi
Dilanjut ketika jaman reformasi, kembali pemandangan beda politik keluarga Tebu Ireng semakin mencolok keluar, itu karena peran media yang sudah begitu bebas. Gus Dur yang digawangi tim 5 dan tim 9 dari PBNU akhirnya melahirkan partai yang bernama PKB dengan ketuanya Matori Abdul Jalil, sekjend Muhaimin Iskandar. Beda jalan politik kembali terjadi antara Gus Dur, Pak Ud dan Gus Solah. Setelah Gus Dur mendeklarasikan PKB, sejurus kemudian Pak Ud dan Gus Solah mendeklarasikan PKNU.
PKB dan PKNU ini seperti air dan minyak, tidak pernah bisa disatukan meski sama-sama lahir dari NU. "NU itu ibarat ayam. Dari (maaf) dubur ayam itu keluarnya 2. Satu telor, dan satunya tai. Nah kalo PKB itu telor dan PKNU itu tainya," kata Gus Dur kala itu. Sontak ucapan Gus Dur itu memancing reaksi kubu PKNU bahkan hingga dilaporkan pencemaran nama baik.
Secara politik antara Gus Dur dan Gus Solah ini tidak pernah sejalan, meskipun mereka lahir dari rahim yang sama. Termasuk adik Gus Dur lainya, yaitu Bu Aisyah juga lebih memilih Golkar sebagai kendaraan politiknya. Namun secara persaudaraan dan keluarga tetap baik.
Tebu Ireng 2015
Jadi jangan heran kalau hari ini terjadi gonjang-ganjing yang magnetnya berasal dari keluarga Tebu Ireng. Saat ini Gus Solah terlihat tidak sejalan dengan keluarga yang lain di dalam menyikapi hasil Muktamar 33 di Jombang.
Gus Solah yang merasa ada "kesalahan" di dalam penyelenggaraan Muktamar NU tempo hari, terus bergerilya menghimpun kekuatan agar diadakan Muktamar NU ulang. Berbeda dengan Gus Im (Hasyim Wahid) dan Gus Aiz (Aizudin), keluarga dari Bani Wahid dan Bani Khotijah ini lebih mendukung Kyai Said daripada bergabung dengan Gus Solah. Feeling politik saya, perseteruan ini semakin tidak mudah diselesaikan, dan bisa jadi butuh waktu lama untuk menyatukan para dzuriyah Tebu Ireng ini.
Bagi saya pribadi pengalaman hidup di Tebu Ireng, telah begitu banyak memberi pelajaran hidup. Bahkan boleh dibilang, saya mendapat pendidikan politik gratis dari guru-guru yang dinobatkan sebagai politisi hebat di Indonesia. Saya bersyukur lahir, besar dan bekerja di Tebu Ireng. Semoga terus bisa melihat dan menjaga warna pelangi garis politik Keluarga Tebu Ireng yang selalu berbeda.
Hari-hari ini terasa lebih seru dan mengkhawatirkan soal perbedaan di Tebu Ireng, Gus Solah yang pantang menyerah meski sendirian. Gus Solah terlihat akan terus berjuang bersama keyakinannya untuk meminta Muktamar NU diulang kembali.
Kenapa Gus Solah sendirian? Karena dzuriyah lain tidak ada yang secara terang-terangan mendukung langkah Gus Solah, ditambah lagi Ipang Wahid tidak mungkin berdiri bersama ayahandanya. Ipang yang sudah lama menjadi aktivis Partai Keadilan Sejahtera akan banyak dicurigai oleh pihak yang lain. Dan ini merugikan niat dan perjuangan Gus Solah. Blunder Ipang yang terjadi beberapa waktu lalu, semakin menambah beban dan mempertajam perbedaan politik di Tebu Ireng. Bisa jadi, keberadaan Ipang yang di PKS ini akan semakin sulit diterima oleh dzuriyah yang lain. Karena sudah rahasia umum, kalau di PKS itu sarangnya Wahabi. Akhirnya, dengan melihat kondisi ini saya hanya bisa berdoa semoga Gus Solah diberi hidayah dan panjang umur.
Secara pribadi, saya melihat beda politik di Tebu Ireng itu biasa. Seperti halnya Indonesia, Itu bagian dari dinamika demokrasi yang sehat. Namun bila beda pendapat itu kemudian diseret kepada pertentangan dan permusuhan, maka itu menjadi tidak sehat. Semoga pengalaman yang terjadi 2 hari belakangan ini tidak terulang lagi. Tidak ada caci maki, hujat menghujat yang melibatkan keluarga Tebu Ireng.
Nasehat KH. Shobari terbukti, bahwa gejolak di Tebu Ireng pada akhirnya membuat NU bergejolak, dan benar Indonesia juga ikut bergolak. Meski baru lewat sosmed, tetapi bahayanya ternyata lebih dasyat, maka waspadalah. Ini tidak bisa dipandang sebagai persoalan sepele. Mari jaga Tebu Ireng, mari jaga NU dan tentunya mari jaga Indonesia, agar tetap aman dan damai.
Ada pertanyaan dari Fauzan di Tebu Ireng, bagaimana cara menyatukan dan merukunkan dzuriyah Tebu Ireng? Saya bilang, "Gak usah dipikir Mas. Kecuali ada tokoh sekaliber Bu Nyai Sholihah (ibunda Gus Dur), pasti semuanya akan baik dan damai. Sekarang kita ikuti saja, seperti kita mengikuti air mengalir. Sebab ya begitulah wujud Tebu Ireng, seperti halnya NU dan Indonesia," ucapku kepada sahabatku itu. (Oleh: Masyamsul Huda).
↧
Lawan Orang Kafir dengan Akhlak Luhur
Muslimedianews.com ~ Hendaknya kita menunjukkan akhlak yang baik walaupun terhadap kafir harby yang sedang memerangi kita. Jika mereka merobek mayat saudara kita, kita tidak membalas merobek mayat saudara mereka. Jika mereka membunuh anak kecil kita, kita tidak membalas membunuh anak kecil mereka. Jika mereka membunuh wanita kita, kita tidak membalas membunuh wanita mereka. Mereka mengikuti gerakan hati dengan emosi dan geram serta dendam, kita mengikuti petunjuk cahaya dari Allah Swt. Kita bertindak dengan jalan yang diridhai Allah Swt.
Pernah dengan cahaya Allah Swt. ini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berperang dengan kaum musyrikin. Ketika Sayyidina Ali ingin menebas leher seorang kafir, maka sang kafir itu meludahi wajah Sayyidina Ali. Lalu Sayyidina Ali tidak jadi membunuhnya, dan meninggalkannya. Sehingga bertanyalah sahabat kepadanya: "Wahai Ali, kenapa engkau tidak jadi membunuhnya?"
Jawab Sayyidina Ali: "Aku tidak ingin membunuhnya selain karena Allah Swt. Ketika aku ingin menebas batang lehernya, ia meludahi wajahku. Saat itu aku menjadi marah dan geram. Aku tidak ingin membunuhnya karena marah dan dendam. Karena itu aku meninggalkannya. Aku tidak ingin membunuhnya dengan pedangku ini selain karena Allah Swt. Aku menerima pedang ini dari tangan mulia Muhammad Rasulullah Saw. Pedang ini takkan kugunakan kecuali karena Allah Swt." (Oleh: al-Habib Umar bin Hafidz).
↧
↧
Dua Wali Quthb; Guru Sekumpul dan Habib Abdul Qadir
Muslimedianews.com ~ Pernah suatu waktu Habib Anis bin Alwi al-Habsyi Solo berkunjung ke tempat al-Quthb al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf di Jeddah. Al-Habib Abdul Qadir Assegaf berkata: "Setiap wali di seluruh dunia berada di bawah telapak kakiku (di dalam kerajaanku, sebagaimana pernah juga diucapkan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani)."
Kemudian Habib Anis bertanya: "Kalau Guru Sekumpul (TGKH. Zaini Abdul Ghani)?"
"Tidak ada dalam kerajaanku," jawab al-Habib Abdul Qadir.
Lalu Habib Anis berkata: "Saya pernah berkunjung ke tempat Guru Sekumpul. Di sana dihadiri banyak jamaah dan membacakan kitab-kitab yang banyak dibaca para habaib juga."Dua kali Habib Anis menanyakan sosok Guru Sekumpul, tapi tetap dijawab "Tidak ada" oleh al-Habib Abdul Qadir.
Dan untuk ketiga kalinya Habib Anis menanyakan hal yang sama kepada al-Habib Abdul Qadir. Sejenak kemudian al-Habib Abdul Qadir terdiam, lalu berkata: "Ada, tapi beliau mempunyai kerajaan tersendiri dan lengkap dengan bawahan semuanya. Dan langsung Rasulullah Saw. yang memberikan kerajaan tersebut."
Suatu ketika ada seseorang yang bertanya kepada Guru Sekumpul tentang sosok al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah. Dan Tuan Guru Ijai (Guru Sekumpul) menjawab: "Al-Habib Abdul Qadir itu wali Quthbnya dunia." (Sumber: Habib Ali, keponakan Habib Anis al-Habsyi).
↧
Mencium Tangan Orang Tua
Muslimedianews.com ~ Perdebatan masalah ini terjadi pada dua ulama yang selalu berseberangan, yang dari kalangan kita adalah Syaikh Abdullah al-Ghummari dan dari seberang diwakili Syaikh Nasiruddin al-Albani.
Syaikh al-Ghummari termasuk ulama yang memperbolehkan mencium tangan orang tua dengan berargumen hadis di bawah ini. Sementara Syaikh Albani membantahnya:
وقد آثر ذكرها دون رواية أبي داود أو الجماعة الشيخ عبد الله الغماري- وقد عزاه إليهم"أبو داود والترمذي والنسائي- في رسالته "إعلام النبيل بجواز التقبيل"لهوى في نفسه وهو تأييد ما عليه العامة من تقبيل أيادي الآباء والأمهات ولا أصل لذلك في الشرع
Kesimpulan Syaikh Albani: "Mencium tangan bapak-ibu tidak ada dasarnya dalam agama" (Sahih Adab al-Mufrad)
Kita tetap mengamalkan hadis mencium tangan kedua orang tua, meski hadisnya dinilai dhaif, sebab ulama-ulama ahli hadis memperbolehkan mengamalkan hadis dhaif dalam bab keutamaan amal.
Ust. M. Ma'ruf Khozin
Syaikh al-Ghummari termasuk ulama yang memperbolehkan mencium tangan orang tua dengan berargumen hadis di bawah ini. Sementara Syaikh Albani membantahnya:
وقد آثر ذكرها دون رواية أبي داود أو الجماعة الشيخ عبد الله الغماري- وقد عزاه إليهم"أبو داود والترمذي والنسائي- في رسالته "إعلام النبيل بجواز التقبيل"لهوى في نفسه وهو تأييد ما عليه العامة من تقبيل أيادي الآباء والأمهات ولا أصل لذلك في الشرع
Kesimpulan Syaikh Albani: "Mencium tangan bapak-ibu tidak ada dasarnya dalam agama" (Sahih Adab al-Mufrad)
Kita tetap mengamalkan hadis mencium tangan kedua orang tua, meski hadisnya dinilai dhaif, sebab ulama-ulama ahli hadis memperbolehkan mengamalkan hadis dhaif dalam bab keutamaan amal.
↧
Ilmu Tanpa Dibarengi Kecintaan Kepadanya
Muslimedianews.com ~ Ilmu sejatinya adalah obor penerang hati, dengan Ilmu hati orang menjadi semakin yakin, semakin cinta kepada Allah Swt. Yang menjadi musibah adalah jika ilmu tidak bisa menerangkan hati, tidak bisa menyatu dengan hati, entah karena banyak bergelimpangan maksiat yang dilakukannya sehingga berdampak mengotori hatinya atau karena faktor-faktor lain seperti kurang adab dengan guru, merendahkan orang lain, ada rasa ujub atau riya di hatinya, dan lain-lain yang imbasnya bisa mengotori hati.
Ambillah kisah dari Ibnu Saqa, seorang pakar fiqih, teolog (aqidah) dan gramatika di abad ke 5 H salah satu dari tiga temannya yaitu Ibnu Ashrun dan Syaikh Abdul Qadir Jailani yang sedang perjalanan berkunjung menuju seorang yang Alim Syaikh Yusuf Al-Hamdani. Akan tetapi tujuan dia bukan untuk mencari berkah, meminta do'a, silaturrahim seperti halnya kedua temannya melainkan hanya ingin mengetahui (ngetes) seberapa dalam ilmu beliau.
Dalam perjalan menuju rumah Syaikh Yususf dia berkata kepada kedua temannya, "Tujuanku mengunjungi Syaikh adalah ingin menguji seberapa alam ilmu syari'atnya," lalu Ibnu Ashrun berkata, "Kalau saya ingin meminta doa kepada beliau agar saya menjadi orang kaya." Dan Syaikh Abdul Qadir berkata, "Karena beliau masyhur dengan kesalehannya, saya mengunjungi beliau untuk meminta do'a dan berkahnya."
Ketika ketiganya masuk ke rumah Syikh, beliau langsung mengetahui tujuan mereka masing-masing tanpa pernu menanyakan terlebih dahulu (kasyaf), lalu menatap Ibnu Saqa seraya berkata: "Saya melihat perdebatan dan kekufuran di kedua matamu, barang kali kamu datang untuk menanyakan ini dan itu," tanpa diminta, beliau menjawab semua pertanyaan yang hendak disampaikan Ibnu Saqa kepadanya. Kemudian beliau melihat ke arah Ibnu Ashrun seraya berkata, "Akan datang harta kemari" sambil memberi isyarat ke atas dadanya. Kemudian beliau melihat ke arah Abdul Qadir Jailani seraya berkata: "Telapak kakimu berada diatas leher para wali dizammu"
Akhirnya Ibnu Saqa dan Ibnu Ashrun mendapatkan keinginan mereka, Ibnu Ashrum diberi rizki yang melimpah ruah sehingga ia menjadi orang terkaya pada zamannya. Ia dikubur di Damaskus di sebuah kota yang dinisbatkan kepada dirinya bernama Ashruniyah.
Adapun Ibnu Saqa, khalifah mengutusnya ke salah seorang raja guna berdebat dengan seorang Nasrani tentang maslah agama, sebab ia hafal Al-Qur'an dan juga menguasai ilmu-ilmu agama seperti aqidah, fikih dll. Setelah ia sampai ke tujuan, ia pun menjadi tamu kehormatan sang raja, kemudian sang raja menyuruh putrinya untuk berdandan dan melayani Ibnu Saqa sehingga dia tergila-gila kepadanya putri raja tersebut dan ingin menikahinya. Namun raja menolak sebelum ia pindah e agama Kristen. Begitu dia menyatakan pindah agama, raja tidak lagi menjamunya, bahkan tidak jadi menikahkan putrinya kepada Ibnu Saqa. Naudzubillah..
Semoga para pembaca bisa mengambil kisah hikmah ini, sehingga bisa atau berusaha semampunya mengamalkan ilmu yang telah didapatkan sekaligus adab dengan siapa saja, sehingga hati bisa bersinar dengan sinar-Nya. Amiin..
Ambillah kisah dari Ibnu Saqa, seorang pakar fiqih, teolog (aqidah) dan gramatika di abad ke 5 H salah satu dari tiga temannya yaitu Ibnu Ashrun dan Syaikh Abdul Qadir Jailani yang sedang perjalanan berkunjung menuju seorang yang Alim Syaikh Yusuf Al-Hamdani. Akan tetapi tujuan dia bukan untuk mencari berkah, meminta do'a, silaturrahim seperti halnya kedua temannya melainkan hanya ingin mengetahui (ngetes) seberapa dalam ilmu beliau.
Dalam perjalan menuju rumah Syaikh Yususf dia berkata kepada kedua temannya, "Tujuanku mengunjungi Syaikh adalah ingin menguji seberapa alam ilmu syari'atnya," lalu Ibnu Ashrun berkata, "Kalau saya ingin meminta doa kepada beliau agar saya menjadi orang kaya." Dan Syaikh Abdul Qadir berkata, "Karena beliau masyhur dengan kesalehannya, saya mengunjungi beliau untuk meminta do'a dan berkahnya."
Ketika ketiganya masuk ke rumah Syikh, beliau langsung mengetahui tujuan mereka masing-masing tanpa pernu menanyakan terlebih dahulu (kasyaf), lalu menatap Ibnu Saqa seraya berkata: "Saya melihat perdebatan dan kekufuran di kedua matamu, barang kali kamu datang untuk menanyakan ini dan itu," tanpa diminta, beliau menjawab semua pertanyaan yang hendak disampaikan Ibnu Saqa kepadanya. Kemudian beliau melihat ke arah Ibnu Ashrun seraya berkata, "Akan datang harta kemari" sambil memberi isyarat ke atas dadanya. Kemudian beliau melihat ke arah Abdul Qadir Jailani seraya berkata: "Telapak kakimu berada diatas leher para wali dizammu"
Akhirnya Ibnu Saqa dan Ibnu Ashrun mendapatkan keinginan mereka, Ibnu Ashrum diberi rizki yang melimpah ruah sehingga ia menjadi orang terkaya pada zamannya. Ia dikubur di Damaskus di sebuah kota yang dinisbatkan kepada dirinya bernama Ashruniyah.
Adapun Ibnu Saqa, khalifah mengutusnya ke salah seorang raja guna berdebat dengan seorang Nasrani tentang maslah agama, sebab ia hafal Al-Qur'an dan juga menguasai ilmu-ilmu agama seperti aqidah, fikih dll. Setelah ia sampai ke tujuan, ia pun menjadi tamu kehormatan sang raja, kemudian sang raja menyuruh putrinya untuk berdandan dan melayani Ibnu Saqa sehingga dia tergila-gila kepadanya putri raja tersebut dan ingin menikahinya. Namun raja menolak sebelum ia pindah e agama Kristen. Begitu dia menyatakan pindah agama, raja tidak lagi menjamunya, bahkan tidak jadi menikahkan putrinya kepada Ibnu Saqa. Naudzubillah..
Semoga para pembaca bisa mengambil kisah hikmah ini, sehingga bisa atau berusaha semampunya mengamalkan ilmu yang telah didapatkan sekaligus adab dengan siapa saja, sehingga hati bisa bersinar dengan sinar-Nya. Amiin..
Moeslich El Malibary
↧
Soal UTS Aswaja dan Ke-NU-an Kelas X Semester Ganjil
Muslimedianews.com ~ Berikut soal Ulangan Tengah Semester (UTS) mata pelajaran Aswaja dan Ke-NU-an untuk kelas X tingkat SMA/MA/SMK/SLTA yang pernah diberikan pada tahun pelajaran 2014/2015 lalu.
A. Soal Pilihan Ganda
1. Kata pondok berasal dari bahasa arab funduq yang berarti, kecuali …
a. Asrama
b. Ruang tidur
c. Wisma
d. Tempat ilmu
e. Hotel sederhana
2. Kata santri berasal dari bahasa Sansekerta shastri, yang berarti..
a. Orang yang bijak
b. Orang yang tahu isi kitab suci
c. Orang yang pintar
d. Orang yang mondok
e. Orang yang suka bertapa
3. Dalam pondok pesantren setidaknya ada tiga system pengajaran, yaitu …
a. Taklim, bandungan, madrasy
b. Madrasy, sorogan, kilatan
c. Sorogan, bandungan, madrasy,
d. Kilatan, taklim, sorogan
e. Kataman, taklim, kilatan
4. Menurut Imam Bawani M, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama islam umumnya dengan cara non klasikal. Maksud dari kata nonklasikal adalah …
a. Berbentuk kelas
b. Tidak berbentuk kelas
c. Kuno
d. Tidak kuno
e. Tidak teratur
5. Pendiri pertama pondok pesantren yang mendapat julukan spiritual father adalah …
a. Syekh Maulana Malik Ibrahim
b. Syekh Subakir
c. Syekh Cholil Bangkalan
d. Syekh Hasyim Asy’ari
e. Sunan Kalijaga
6. Maksud dari istilah tafaqqohhu fiddin adalah…
a. Belajar sungguh-sungguh
b. Memahami masalah agama
c. Mencari ilmu fiqih
d. Melestarikan agama
e. Melestarikan aswaja
7. Dasar adanya pondok pesantren juga disinggung dalam alquran, yaitu surat …
a. QS. An Nahl 94
b. QS. Al Baqarah 45
c. QS. At Taubah 122
d. QS. An Nisa’ 75
e. QS. Ali Imran 25
8. Lima elemen pondok pesantren yang dapat membedakan dengan lembaga pendidikan yang lainnya adalah …
a. Kiai, kurikulumm masjid, kitab kuning
b. Santri, asrama, kiai, kurikulumm ustad
c. Kurikulum, santri, asrama, majalah, pengurus
d. Ustad, asrama, masjid, kitab kuning, dana
e. Kiai, masjid, asrama, kitab kuning, santri
9. Diantara pola hidup yang ditanamkan dalam jiwa santri adalah, kecuali …
a. Sederhana
b. Ikhlas
c. Mandiri
d. Apel tiap pagi
e. Berjiwa bebas
10. Pondok pesantren dibedakan rinci menjadi tiga, yaitu …
a. Alquran, hadits, dan fikih
b. Alquran, hadits, dan alat
c. Alquran, alat, dan kitab
d. Kitab, hadits, dan fikih
e. Alquran, kitab, klasikal
11. Di bawah ini adalah peran-peran pondok pesantren, kecuali …
a. Sebagai lembaga dakwah
b. Sebagai cikal bakal NU
c. Sebagai lembaga mencari ilmu kanuragan
d. Sebagai lembaga pendidikan
e. Sebagai pelayan masyarakat
12. Sebelum NU lahir, para santri-santri pondok pesantren dan ulama telah membentuk suatu kelompok diskusi di Ampel Suci Surabaya pada tahun 1918 M yang disebut …
a. Tashwirul afkar
b. Serikat Islam
c. Nahdlotul wathon
d. Nahdlotul syubban
e. Nahdlotul ulama
13. Nahdlotul Tujjar adalah organisasi yang dibentuk oleh para ulama sebelum NU lahir. Organisasi itu mempunyai tujuan …
a. Memperbaiki masalah agama
b. Memperbaiki kemaksiatan
c. Memperbaiki sikap para ulama
d. Memperbaiki ekonomi umat
e. Memperbaiki para pemuda
14. Dari kelompok diskusi Tashwirul Afkar ternyata adalah seorang tokoh pelopornya yang malah masuk Muhammadiyah. Orang itu adalah …
a. K. H. Hasyim Asy’ari
b. K. H. Wahab Hasbullah
c. K. H. Asnari Kudus
d. K. H. Mas Mansyur
e. K. H. Ahmad Dahlan
15. Disebutkan bahwa pondok pesantren menjadi Jam’iah Diniah Ijtimaiyah, yang berarti …
a. Oraganisasi keagamaan dan kemasyarakatan
b. Organisasi social dan pendidikan
c. Organisasi umat dan agama
d. Organisasi ulama dan santri
e. Organisasi keagamaan dan pendidikan
16. Komite Hijaz adalah utusan dari perkumpulan para ulama guna menemui Raja Su’ud untuk memperbolehkan pengamalan empat madzhab aswaja di Arab Saudi. Setelah mereka kembali ke Indonesia dengan hasil gemilang, Komite Hijaz tidak langsung dibubarkan namun para ulama membentuk suatu organisasi yang bernama NU yang lahir tepat pada tanggal …
a. 1 januari 1926
b. 1 januari 1928
c. 31 januari 1926
d. 31 januari 1928
e. 28 oktober 1928
17. Arti dari kata “Nahdlatul Ulama” adalah
a. Persatuan para ulama
b. Kebangkitan para ulama
c. Perkumpulan para ulama
d. Pondok para ulama
e. Semangat para ulama
18. Dalam organisasi NU secara garis besar mempunyai tiga jabatan, yaitu …
a. Syuriah, Presiden, dan Katib ‘Aam
b. Syuriah, Tanfidziyah, Musytasyar
c. Syuriah, Katib ‘Aam, Rois Akbar
d. Syuriah, Tanfidziyah, Katib ‘aam
e. Tanfidziyah, Syuriah, Rois Akbar
19. Tokoh di bawah ini adalah orang yang telah berjasa dalam lahirnya organisasi NU, kecuali …
a. K. H. Hasyim Asy’ari
b. K. H. Wahab Hasbullah
c. K. H. Asnawi Kudus
d. K. H. Dahlan Abdul Qohar
e. K. H. Mas mansyur
20. Salah satu lembaga pelajar yang berada di bawah naungan NU adalah …
a. Nahdlatul syubban
b. IPNU/IPPNU
c. Ma’arif NU
d. GP anshor
e. Banser
B. Soal Uraian
1. Dalam pondok pesantren ada tiga system pengajaran, yaitu bandungan, sorogan, dan madrasy. Jelaskan ketiga system pengajaran tersebut!
2. Sebelum NU lahir, para ulama telah beberapa kali membuat perkumpulan seperti Tashwirul Afkar, Nahdlatul Tujjar, Nahdlatul Wathon, dan Nahdlatul Syubban. Jelaskan apa maksud dari keempat organisasi itu!
A. Soal Pilihan Ganda
1. Kata pondok berasal dari bahasa arab funduq yang berarti, kecuali …
a. Asrama
b. Ruang tidur
c. Wisma
d. Tempat ilmu
e. Hotel sederhana
2. Kata santri berasal dari bahasa Sansekerta shastri, yang berarti..
a. Orang yang bijak
b. Orang yang tahu isi kitab suci
c. Orang yang pintar
d. Orang yang mondok
e. Orang yang suka bertapa
3. Dalam pondok pesantren setidaknya ada tiga system pengajaran, yaitu …
a. Taklim, bandungan, madrasy
b. Madrasy, sorogan, kilatan
c. Sorogan, bandungan, madrasy,
d. Kilatan, taklim, sorogan
e. Kataman, taklim, kilatan
4. Menurut Imam Bawani M, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama islam umumnya dengan cara non klasikal. Maksud dari kata nonklasikal adalah …
a. Berbentuk kelas
b. Tidak berbentuk kelas
c. Kuno
d. Tidak kuno
e. Tidak teratur
5. Pendiri pertama pondok pesantren yang mendapat julukan spiritual father adalah …
a. Syekh Maulana Malik Ibrahim
b. Syekh Subakir
c. Syekh Cholil Bangkalan
d. Syekh Hasyim Asy’ari
e. Sunan Kalijaga
6. Maksud dari istilah tafaqqohhu fiddin adalah…
a. Belajar sungguh-sungguh
b. Memahami masalah agama
c. Mencari ilmu fiqih
d. Melestarikan agama
e. Melestarikan aswaja
7. Dasar adanya pondok pesantren juga disinggung dalam alquran, yaitu surat …
a. QS. An Nahl 94
b. QS. Al Baqarah 45
c. QS. At Taubah 122
d. QS. An Nisa’ 75
e. QS. Ali Imran 25
8. Lima elemen pondok pesantren yang dapat membedakan dengan lembaga pendidikan yang lainnya adalah …
a. Kiai, kurikulumm masjid, kitab kuning
b. Santri, asrama, kiai, kurikulumm ustad
c. Kurikulum, santri, asrama, majalah, pengurus
d. Ustad, asrama, masjid, kitab kuning, dana
e. Kiai, masjid, asrama, kitab kuning, santri
9. Diantara pola hidup yang ditanamkan dalam jiwa santri adalah, kecuali …
a. Sederhana
b. Ikhlas
c. Mandiri
d. Apel tiap pagi
e. Berjiwa bebas
10. Pondok pesantren dibedakan rinci menjadi tiga, yaitu …
a. Alquran, hadits, dan fikih
b. Alquran, hadits, dan alat
c. Alquran, alat, dan kitab
d. Kitab, hadits, dan fikih
e. Alquran, kitab, klasikal
11. Di bawah ini adalah peran-peran pondok pesantren, kecuali …
a. Sebagai lembaga dakwah
b. Sebagai cikal bakal NU
c. Sebagai lembaga mencari ilmu kanuragan
d. Sebagai lembaga pendidikan
e. Sebagai pelayan masyarakat
a. Tashwirul afkar
b. Serikat Islam
c. Nahdlotul wathon
d. Nahdlotul syubban
e. Nahdlotul ulama
13. Nahdlotul Tujjar adalah organisasi yang dibentuk oleh para ulama sebelum NU lahir. Organisasi itu mempunyai tujuan …
a. Memperbaiki masalah agama
b. Memperbaiki kemaksiatan
c. Memperbaiki sikap para ulama
d. Memperbaiki ekonomi umat
e. Memperbaiki para pemuda
14. Dari kelompok diskusi Tashwirul Afkar ternyata adalah seorang tokoh pelopornya yang malah masuk Muhammadiyah. Orang itu adalah …
a. K. H. Hasyim Asy’ari
b. K. H. Wahab Hasbullah
c. K. H. Asnari Kudus
d. K. H. Mas Mansyur
e. K. H. Ahmad Dahlan
15. Disebutkan bahwa pondok pesantren menjadi Jam’iah Diniah Ijtimaiyah, yang berarti …
a. Oraganisasi keagamaan dan kemasyarakatan
b. Organisasi social dan pendidikan
c. Organisasi umat dan agama
d. Organisasi ulama dan santri
e. Organisasi keagamaan dan pendidikan
16. Komite Hijaz adalah utusan dari perkumpulan para ulama guna menemui Raja Su’ud untuk memperbolehkan pengamalan empat madzhab aswaja di Arab Saudi. Setelah mereka kembali ke Indonesia dengan hasil gemilang, Komite Hijaz tidak langsung dibubarkan namun para ulama membentuk suatu organisasi yang bernama NU yang lahir tepat pada tanggal …
a. 1 januari 1926
b. 1 januari 1928
c. 31 januari 1926
d. 31 januari 1928
e. 28 oktober 1928
17. Arti dari kata “Nahdlatul Ulama” adalah
a. Persatuan para ulama
b. Kebangkitan para ulama
c. Perkumpulan para ulama
d. Pondok para ulama
e. Semangat para ulama
18. Dalam organisasi NU secara garis besar mempunyai tiga jabatan, yaitu …
a. Syuriah, Presiden, dan Katib ‘Aam
b. Syuriah, Tanfidziyah, Musytasyar
c. Syuriah, Katib ‘Aam, Rois Akbar
d. Syuriah, Tanfidziyah, Katib ‘aam
e. Tanfidziyah, Syuriah, Rois Akbar
19. Tokoh di bawah ini adalah orang yang telah berjasa dalam lahirnya organisasi NU, kecuali …
a. K. H. Hasyim Asy’ari
b. K. H. Wahab Hasbullah
c. K. H. Asnawi Kudus
d. K. H. Dahlan Abdul Qohar
e. K. H. Mas mansyur
20. Salah satu lembaga pelajar yang berada di bawah naungan NU adalah …
a. Nahdlatul syubban
b. IPNU/IPPNU
c. Ma’arif NU
d. GP anshor
e. Banser
B. Soal Uraian
1. Dalam pondok pesantren ada tiga system pengajaran, yaitu bandungan, sorogan, dan madrasy. Jelaskan ketiga system pengajaran tersebut!
2. Sebelum NU lahir, para ulama telah beberapa kali membuat perkumpulan seperti Tashwirul Afkar, Nahdlatul Tujjar, Nahdlatul Wathon, dan Nahdlatul Syubban. Jelaskan apa maksud dari keempat organisasi itu!
sumber via Situs kenuanmaalirsyad (Bahrul Jalil)
↧
↧
Wahabi adalah Pengikut Hawa Nafsu dan Pengkhianat Ilmiah
Muslimedianews.com ~ Seorang ulama besar pensyarah Musnad imam Ahmad bin Hanbal yaitu syaikh Hamzah Ahmad az-Zain mensifati wahabi dengan pengikut madzhab hawa nafsu, pengkhianat ilmiyyah dan madzhab mereka seperti ular.
Ketika beliau mensyarah hadits nomer 23476 dalam kitab Musnad imam Ahmad, beliau berkomentar sebagai berikut :
إسناده صحيح ، كثير بن زيد وثقه أحمد ورضيه ابن معين ووثقه ابن عمار الموصلي وابن سعد ، وابن حبان ، وصلحه أبو حاتم ورضيه ابن عدي ولكن ضعفه النسائي ولينه أبو زرعة . وتمسك قوم بتضعيف النسائي وكلام أبي زرعة وتركوا كل هؤلاء لا لشيء إلا ليضعفوا هذا الحديث . وخطأ الحاكم والذهبي لأنهما صححاه في المستدرك 4 / 515 علماً بأنهم يوثقون كثير بن زيد في أماكن غير هذا ، ومعنى ذلك أن التوثيق والاتهام يخضع للأهواء والمذاهب وهذه خيانة علمية بحد ذاتها أما لماذا يضعفوه هنا ؟ فهذه سقطة علمية محسوبة عليهم يقولون إن في هذا دلي لم يجيز التمسح بالقبور . وهل كان أبو أيوب يتمسح بقبر النبي وهؤلاء عندهم عقدة من أي خبر فيه دنو من القبور وهذا أكبر دليل على بطلان مذهبهم ، فماذا يرجى من خونة للعلم ؟ ولا ندري مذهب هؤلاء . إنهم يدعون أنهم حنابلة تارة ولا مذهبية تارة أخرى . فلا تبعوا الحنابلة وقد خالفوا الذهبي وهو حنبلي ولا هم أثبتوا مذهباً واضحاً صريحاً يعرف لهم وإنما في مذهب كالحية
“Isnadnya shahih, Katisr bin Zaid telah ditautsiq (dinilai tsiqah) oleh imam Ahmad dan disetujui Ibnu Ma’in, juga dinilai tsiqah oleh Ibnu Ammar al-Mushili, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban. Disetujui oleh Abu Hatim dan Ibnu Adi akan tetapi an-Nasai mendhaifkannya dan melayinkannya Abu Zar’ah. Sekelompok orang berpegang dengan penilaian dhaif an-Nasai dan kalam Abu Zar’ah dan mereka tidak memperdulikan ulama-ulama yang telah menilai tsiqah tersebut, bukan untuk apa-apa kecuali hanya untuyk mendhaifkan hadits ini saja. Kelompok itu menyalahkan al-Hakim dan adz-Dzahabi yang telah menshahihkan hadits tersebut dalam kitab Mustadraknya 4/515, karena kedua imam ini mengetahui bahwa para ulama tersebut menilai tsiqah Katsir bin Zaid di bab-bab selain ini.
Makna dari ini semua bahwasanya penilaian tsiqah dan ittiham adalah hanyalah berdasarkan hawa nafsu dan pemikiran-pemikiran mereka. Ini adalah pengkhianatan terhdap keilmiahan,
Aku tidak mengetahui apa madzhab mereka? Mereka mengaku bermadzhab Hanbali terkadang mengaku tidak bermadzhab dan tidak mengikuti madzhab Hanbali, dan mereka pun telah menentang adz-Dzahabi padahal adz-Dzahabi bermadzhab Hanbali. Mereka tidak menetapkan satu madzhab yang jelas untuk dikenali, sesungguhnya mereka di dalam madzhab seperti ular“. (Musnad Ahmad : juz 14 halaman : 42 hadits nomer : 23476)
Ketika beliau mensyarah hadits nomer 23476 dalam kitab Musnad imam Ahmad, beliau berkomentar sebagai berikut :
إسناده صحيح ، كثير بن زيد وثقه أحمد ورضيه ابن معين ووثقه ابن عمار الموصلي وابن سعد ، وابن حبان ، وصلحه أبو حاتم ورضيه ابن عدي ولكن ضعفه النسائي ولينه أبو زرعة . وتمسك قوم بتضعيف النسائي وكلام أبي زرعة وتركوا كل هؤلاء لا لشيء إلا ليضعفوا هذا الحديث . وخطأ الحاكم والذهبي لأنهما صححاه في المستدرك 4 / 515 علماً بأنهم يوثقون كثير بن زيد في أماكن غير هذا ، ومعنى ذلك أن التوثيق والاتهام يخضع للأهواء والمذاهب وهذه خيانة علمية بحد ذاتها أما لماذا يضعفوه هنا ؟ فهذه سقطة علمية محسوبة عليهم يقولون إن في هذا دلي لم يجيز التمسح بالقبور . وهل كان أبو أيوب يتمسح بقبر النبي وهؤلاء عندهم عقدة من أي خبر فيه دنو من القبور وهذا أكبر دليل على بطلان مذهبهم ، فماذا يرجى من خونة للعلم ؟ ولا ندري مذهب هؤلاء . إنهم يدعون أنهم حنابلة تارة ولا مذهبية تارة أخرى . فلا تبعوا الحنابلة وقد خالفوا الذهبي وهو حنبلي ولا هم أثبتوا مذهباً واضحاً صريحاً يعرف لهم وإنما في مذهب كالحية
“Isnadnya shahih, Katisr bin Zaid telah ditautsiq (dinilai tsiqah) oleh imam Ahmad dan disetujui Ibnu Ma’in, juga dinilai tsiqah oleh Ibnu Ammar al-Mushili, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban. Disetujui oleh Abu Hatim dan Ibnu Adi akan tetapi an-Nasai mendhaifkannya dan melayinkannya Abu Zar’ah. Sekelompok orang berpegang dengan penilaian dhaif an-Nasai dan kalam Abu Zar’ah dan mereka tidak memperdulikan ulama-ulama yang telah menilai tsiqah tersebut, bukan untuk apa-apa kecuali hanya untuyk mendhaifkan hadits ini saja. Kelompok itu menyalahkan al-Hakim dan adz-Dzahabi yang telah menshahihkan hadits tersebut dalam kitab Mustadraknya 4/515, karena kedua imam ini mengetahui bahwa para ulama tersebut menilai tsiqah Katsir bin Zaid di bab-bab selain ini.
Makna dari ini semua bahwasanya penilaian tsiqah dan ittiham adalah hanyalah berdasarkan hawa nafsu dan pemikiran-pemikiran mereka. Ini adalah pengkhianatan terhdap keilmiahan,
Aku tidak mengetahui apa madzhab mereka? Mereka mengaku bermadzhab Hanbali terkadang mengaku tidak bermadzhab dan tidak mengikuti madzhab Hanbali, dan mereka pun telah menentang adz-Dzahabi padahal adz-Dzahabi bermadzhab Hanbali. Mereka tidak menetapkan satu madzhab yang jelas untuk dikenali, sesungguhnya mereka di dalam madzhab seperti ular“. (Musnad Ahmad : juz 14 halaman : 42 hadits nomer : 23476)
Oleh Ustadzah Shofiyyah An-Nuuriyyah, 2012
↧
Agenda Wahabi dan Tuduhan Syi'ah, Asma Nadia Dituduh Syi'ah
Muslimedianews.com ~ Belakang ini mulai kembali marak tuduhan-tuduhan Syi'ah yang dialamatkan kepada pihak tertentu baik perorangan maupun kelompok. Pelakunya biasanya orang-orang yang dalam terdoktrin oleh paham sesat Wahhabi. Mereka juga tergolong awam dalam Islam, tetapi doktrin penuh nafsu syaitan terlanjur merasuk dalam diri mereka sehingga tidak segan-segan melakukan hal-hal busuk seperti memfitnah, menuduh dan sebagainya.
Sebelumnya, jejaring sosial sempat heboh dengan tuduhan Syi'ah yang diarahkan kepada ustadz artis yang bernama Solmed. Pelakunya dijejaring sosial tidak lain adalah orang-orang yang jati dirinya sudah terkena virus Wahhabiyah. Dengan memperhatikan fenomena tersebut, maka perlu umat Islam waspada terhadap agenda-agenda yang ada dibalik fenomena tersebut dan kebodohan orang-orang yang ikut melakukan propaganda.
Baru-baru ini, seorang penulis bernama Asma Nadia juga tidak luput dari tuduhan tersebut. Berikut ini tulisan dari Asma Nadia terkait fitnah yang menimpa dirinya.
red. Ibnu Manshur
Sebelumnya, jejaring sosial sempat heboh dengan tuduhan Syi'ah yang diarahkan kepada ustadz artis yang bernama Solmed. Pelakunya dijejaring sosial tidak lain adalah orang-orang yang jati dirinya sudah terkena virus Wahhabiyah. Dengan memperhatikan fenomena tersebut, maka perlu umat Islam waspada terhadap agenda-agenda yang ada dibalik fenomena tersebut dan kebodohan orang-orang yang ikut melakukan propaganda.
Baru-baru ini, seorang penulis bernama Asma Nadia juga tidak luput dari tuduhan tersebut. Berikut ini tulisan dari Asma Nadia terkait fitnah yang menimpa dirinya.
Kabari teman2 yang telah memfitnah saya syiah, bhw kawan2 di Penerbit Asma Nadia sangat mempertimbangkan membawa ini ke jalur hukum. Teman2 di Penerbit AsmaNadia sdh mensave percakapan di facebook, twitter dll sbg bahan bukti jk fitnah saya syiah ini dibawa ke jalur hukum.Tidak hanya Asma Nadia, Prof. Quraish Shihab, Prof. Alwi Shihab, KH. Said Aqil Siraj dan Ust. Solmed juga dituduh Syi'ah oleh akun yang menggunakan nama "Azzam Asadullah" (orang wahhabi) https://www.facebook.com/azzam.asadulloh.
Saya masih mempertimbangkan karena tdk ingin merepotkan saudara, tetapi mungkin perlu dilakukan sbg edukasi agar fitnah tdk menjadi budaya. Memiliki kenalan seorg syiah tdk membuatmu menjadi syiah sama seperti memiliki kenalan, guru, dosen, keluarga yang non muslim tdk membuatmu menjadi bukan islam. Please yang menuduh saya syiah semoga punya bukti kuat dan bukan hanya menebar asumsi. Misal foto saya melakukan ritual syiah atau ajaran syiah dlm novel2 Asma Nadia misalnya, tunjukkan dr 50 buku saya mana yang mempromosikan syiah! Menghimbau Saudi melakukan ishlah dalam penyelenggaraan haji juga bukan alasan menuduh saya syiah. Apalagi saya merujuk berita ke republika dan saya ounya bukti link republika terkait ini.
Tidakkah seorg muslim harus melakukan ishlah perbaikan dr waktu ke waktu demi akhiratnya? Sebab hanya Rasulullah yang ma'sum. Berat sanksi dari Allah, pahala mengalir ke yang difitnah, jika pahala yang memfitnah habis maka dosa2 yang difitnah diberikan ke pundak yang memfitnah.
Inilah kebankrutan di akhirat. Tetapi mereka yang rajin menebar fitnah ini mungkin tidak percaya hadist. Barangkali hukum dunia perlu dberlakukan agar tidak semakin mudah seorang muslim memfitnah muslim lain, agar tdk banyak yang kelak bankrut di hari akhir karena sibuk memfitnah. Terima kasih, bantu share ya. (Dua dr bbrp percakapan di sosmed yang sdh kami simpan sbg barang bukti-> UU ITE memungkinkan percakapan di sosmed sbg bukti hukum) ps: mereka yang memfitnah dan yang menshare status pemfitnah saya anggap telah memfitnah dgn meneruskan fitnahan tsb ke khalayak banyak.
link facebook https://www.facebook.com/asmanadiarani/posts/1210632608963555
red. Ibnu Manshur
↧
Dasar-Dasar Fikih Bagi Pemula (Mabadiul Fiqhiyyah Juz 1)
Muslimedianews.com ~ Berikut ini merupakan diantara kandungan dari kitab Mabadiul Fiqhiyyah ala Madzhab al-Imam al-Syafi'i Juz 1 atau Dasar-Dasar Fiqh yang diperuntukkan bagi pemula.
Tanya : Apakah Islam ?
Jawab : Islam adalah agama yang telah diutuskan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk membahagiakan dan menguntungkan manusia.
Tanya : Berapakah Rukun Islam ?
Jawab : Rukun Islam ada lima :
1. Menyaksikan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan adalah Nabi Muhammad utusan Allah
,dengan membaca syahadatain ( dua kalimah syahadat ).
2. Mendirikan Shalat.
3. Membayar zakat.
4. Puasa Ramadlan.
5. Menunaikan Haji ke Baitullah bagi yang mampu.
Tanya : Apa makna “Asyhadu An Laa ilaaha Illallah” ?
Jawab : Maknanya adalah bahwa saya meyakini sesungguhnya Allah itu satu tidak ada sekutu bagi-Nya dalam beribadah kepada-Nya dan dalam kekuasaan-Nya
Tanya : Apa makna “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”?
Jawab : Maknanya adalah bahwa saya meyakini sesunguhnya Sayyidina Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh makhluk dan wajib mentaati apa yang diperintahnya dan membenarkan apa yang dikabarkannya dan menjauhi apa yang dilarangnya
Tanya : Apa makna Mendirikan shalat ?
Jawab : Maknanya yaitu melakukan shalat lima waktu
Tanya : Apa itu shalat lima waktu?
Jawab : shalat lima waktu yaitu Shubuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya
Tanya : Apa yang diwajibkan sebelum shalat?
Jawab : Wajib sebelum shalat mengambil air wudlu
Tanya : Berapa fardlu wudlu ?
Jawab : Fardlu2 nya wudlu ada enam :
1. Niat
2. Membasuh muka
3. Membasuh kedua tangan sampai siku
4. Membasuh sebagian kepala
5. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki
6. Tertib
Tanya : Bagaimana Niat Wudlu ?
Jawab : Nawaitu raf’il hadatsi ( Aku niat menghilangkan hadats kecil )
Tanya : Apa itu hadats kecil ?
Jawab : Hadats kecil Yaitu segala sesuatu yang membatalkan wudlu
Tanya : Apa saja yang membatalkan wudlu?
Jawab : Yang membatalkan wudlu ada lima :
1.Keluarnnya sesuatu dari salah satu dua jalan (qubul atau dubur).
2. Hilangnya akal.
3.Tidur.
4. Menyentuh wanita yang lain (bukan mahram).
5. Menyentuh qubul atau dubur dengan batin telapak tangan.
* keterangan : Batin telapak tangan adalah bagian yang tidak terlihat dari telapak tangan seandainya kita menyatukan kedua telapak tangan kita
Tanya : Apa itu wanita yang lain ?
jawab : Wanita yang lain yaitu wanita yang haram dinikahi karena sebab nasab (keturunan), persusuan(satu susu ibu) , atau perkawinan
Tanya : Apa yang wajib dari orang yang punya wudlu apabila ingin shalat?
Jawab : Wajib baginya suci pakaiannya dan tempatnya dari najis , menutupi auratnya, menghadap qiblat, dan mengetahui masuknya waktu shalat.
Tanya : Apakah Islam ?
Jawab : Islam adalah agama yang telah diutuskan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk membahagiakan dan menguntungkan manusia.
Tanya : Berapakah Rukun Islam ?
Jawab : Rukun Islam ada lima :
1. Menyaksikan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan adalah Nabi Muhammad utusan Allah
,dengan membaca syahadatain ( dua kalimah syahadat ).
2. Mendirikan Shalat.
3. Membayar zakat.
4. Puasa Ramadlan.
5. Menunaikan Haji ke Baitullah bagi yang mampu.
Tanya : Apa makna “Asyhadu An Laa ilaaha Illallah” ?
Jawab : Maknanya adalah bahwa saya meyakini sesungguhnya Allah itu satu tidak ada sekutu bagi-Nya dalam beribadah kepada-Nya dan dalam kekuasaan-Nya
Tanya : Apa makna “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”?
Jawab : Maknanya adalah bahwa saya meyakini sesunguhnya Sayyidina Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh makhluk dan wajib mentaati apa yang diperintahnya dan membenarkan apa yang dikabarkannya dan menjauhi apa yang dilarangnya
Tanya : Apa makna Mendirikan shalat ?
Jawab : Maknanya yaitu melakukan shalat lima waktu
Tanya : Apa itu shalat lima waktu?
Jawab : shalat lima waktu yaitu Shubuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya
Tanya : Apa yang diwajibkan sebelum shalat?
Jawab : Wajib sebelum shalat mengambil air wudlu
Tanya : Berapa fardlu wudlu ?
Jawab : Fardlu2 nya wudlu ada enam :
1. Niat
2. Membasuh muka
3. Membasuh kedua tangan sampai siku
4. Membasuh sebagian kepala
5. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki
6. Tertib
Tanya : Bagaimana Niat Wudlu ?
Jawab : Nawaitu raf’il hadatsi ( Aku niat menghilangkan hadats kecil )
Tanya : Apa itu hadats kecil ?
Jawab : Hadats kecil Yaitu segala sesuatu yang membatalkan wudlu
Tanya : Apa saja yang membatalkan wudlu?
Jawab : Yang membatalkan wudlu ada lima :
1.Keluarnnya sesuatu dari salah satu dua jalan (qubul atau dubur).
2. Hilangnya akal.
3.Tidur.
4. Menyentuh wanita yang lain (bukan mahram).
5. Menyentuh qubul atau dubur dengan batin telapak tangan.
* keterangan : Batin telapak tangan adalah bagian yang tidak terlihat dari telapak tangan seandainya kita menyatukan kedua telapak tangan kita
Tanya : Apa itu wanita yang lain ?
jawab : Wanita yang lain yaitu wanita yang haram dinikahi karena sebab nasab (keturunan), persusuan(satu susu ibu) , atau perkawinan
Tanya : Apa yang wajib dari orang yang punya wudlu apabila ingin shalat?
Jawab : Wajib baginya suci pakaiannya dan tempatnya dari najis , menutupi auratnya, menghadap qiblat, dan mengetahui masuknya waktu shalat.
Anang Ma'ruf
↧