Muslimedianews.com ~ Islam mengajarkan damai, dan mencipatkan ke-amanan dan kenyamanan sebagaimana namanya “Islam’’. Menghormati dan memulyakan sesama, ciri khas agama Islam. Jika orang sudah memeluk islam, harus mampu memberikan kedamaian pada dirinya sendiri dan juga kepada orang lain. Orang islam baru dikatakan sempurna ke-imannya jika telah memulyakan tetangganya dan memulyakakan tamu-tamunya, serta berkata-kata yang baik kepada orang lain.
Sebuah pesan menarik Rosulullah SAW kepada Abu Hurairah ra, tatkala beliau SAW ditanya seputar amalam apa yang bisa menjadikan masuk surga. Rosulullah SAW menjawab:”berikah makan (berbagi materi), tebarkan salam (ciptakan kedamaian), menyambung tali silaturahmi, dan bangun malam ketika manusia terlelap’’.
Menebarkan salam bukan hanya sekedar menyapa dengan mengucapkan “Assalamuaikaum” kepada sesame muslim. Jika hanya seperti itu, maka orang Yahudi-pun yang bangga membunuh anak-anak tak berdosa juga pintar mengucapkan salam. Syetan dan Iblis-pun juga lebih fasih di dalam melafadkan ucapan ‘’Assalamualaikum”.
Pesan Rosulullah SAW agar menebarkan salam sangat mendalam, bukan hanya sekedar kata-kata, tetapi juga pada realita. Biasakan lisan menyapa dengan ucapan salam, sekaligus sikap dan budi pekerti sesuai dengan makna salam itu sendiri. Tulisan-tulisan, baik dalam bentuk artikel, buku ilmiyah, atau khutbah dan ceramah hendaknya mencerminkan Al-Salam (menebarkan salam).
Orang yang bisa menebarkan salam dengan baik dan tulisan itu, biasanya hatinya bersih dari berbagai penyakit hati, seperti; iri, dengki, hasud, riya’, takabbur dll. Orang yang memiliki penyakit hati (orang-orang munafik), biasanya lisan terkunci untuk sekedar menyapa saudaranya se-agama se-iman dengan mengucapkan salam. Apalagi beda agama dan keyakinan, juga beda pendapat dan pendapatan akan sulit menebarkan Al-Salam.
Indonesia (Nusantara) sebagian besar memeluk Islam, bukan dengan perang dan pedang, tetapi melalui pendekatan budaya, ekonomi, dan pernikahan. Tentu saja, semua itu di kemas dengan ahlak dan budi pekerti islami, sebagaiaman di ajarkan Rosulullah SAW ketika meng-islamkan kota suci Madinah. Wali songo itu ber-teologi Al-Asyaariyah (Abu Hasan Al-Asyaary), dan penganut Sufi (tasawuf), begitu cerdas, berkualitas ilmunya, dan begitu dalam spritualnya. Selalu mengedapankan al-Salam (menebarkan perdamaian dan silaturahmi). Karena itu kunci untuk mengenalkan diri dan teologinya.
Sepanjang sejarah, Nabi SAW dan sahabatnya tidak pernah menggunakan pedang dan perang untuk mengenalkan ajaran Al-Quran. Nabi SAW baru melawan jika di sakiti, dan tidak pernah balas dendam. Dengan modal akhakul karimah (uswatun hasanah), Nabi SAW mendapatkan kepercayaan dari masyarakat Makkah, Madinah, Thaif, bahkan sampai jazirah Al-Arabiyah. Wali Songo melakukannya, sebagaimana Nabi Muhammad SAW melakukan.
Berbeda dengan kaum Radikalisme yang menebarkan Islam dengan perang dan pedang (senjata). Siapa-pun yang tidak se-iman dan sejalan di anggap sebagai musuhnya. Hampir semua kelompok garis keras radikalisme, seperti; ISIS, JAT (Jamiyah Ansoru Al-Tauhid), Salafi Wahabi, mengikuti teologi Ibn Taimiyah dengan dasar utamanya Kitab Usulu Al-Tsalasah (Tiga Pondasi Dasar).
Kitab ini jika di fahami oleh para pemula akan melahirkan gerakan-gerakan kerras dan cenderung radikal, apalagi kitab "terjemahanya". Kelompok radikalisme melihat bahwa ajaran agama islam di Indonesia masih tercampur dengan budaya Hindu, Budha, bahkan sudah terkontaminasi dengan Yahudi dan Nasrani, sehingga perlu adanya purifikasi (pemurnian agama). Di tambah lagi dengan realitas umat islam di lapangan itu tersakiti (terdholimi), oleh Amerika dan seukutunya.
Semua itu hanya bisa dirubah dengan cara “jihad” bukan dengan sekedar dakwah. Jihad menurut mereka ialah sebuah perjuangan menegakkan agama Allah SWT melawan orang-orang kafir (musuh-musuh Allah SWT). Bahkan orang-orang muslim yang menghalangi terwujudnya negara Khilafah Islamiyah atau mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyah) juga dikategorikan musuhnya.
Orang muslim yang menjalankan sholat, puasa, mengeluarkan zakat, dan juga menunaikan ibadah haji ke kota suci Makkah tidak dipandang sebagai seorang muslim jika mereka tetap melakukan Bidah (tahlilan, istighosahan, dan maulidan, ziarah kubur). Radikalisme tetap tidak menerima akidahnya Al-Asyairoh, karena di anggab bukan bersumber dari kitab suci Al-Quran dan Nabi SAW. Itu juga menjadi penghalang cita-cita mereka mereka mewujudkan Negara Islam (Daulah Islamiyah).
Siapa-pun orangnya, dan apa-pun agamanya, tidak perduli itu Islam, jika berkerja sama dengan Amerika, maka halal darahnya untuk ditumpahkan. Mereka mengaku sudah berpegang teguh pada Al-Quran dan Hadits, walaupun mereka tidak faham bentul makna dan pesan Al-Quran dan pesan Rosulullah SAW.
Menurut mereka, selain Al-Quran dan hadits pasti salah. Biasanya, orang-orang garis keras (radikalisme) merujuk pada teologi Ibn Taimiyah yang selalu mengacu pada Al-Quran dan hadits. Tetapi, menariknya mereka justru selalu kontradiksi dengan Al-Quran dan sunnah.
Bagaimana mungkin seseorang telah mengamalkan Al-Quran dan sunnah, tetapi justru tidak rukun dengan tetangga, kerabat, serta masyarakat sekitarnya karena beda teologi (akidahnya dan agamanya. Sementara Al-Quran dan Nabi SAW mengajarkan agar tidak melakukan pemaksaan terhadap agama dan keyakinan.
Bagi kelompok radikalisme Teologi Ibn Taimiyah (Usulu Al-Tsalasah) seolah-oleh sudah menjadi pengganti dari kitab suci Al-Quran dan hadis Rosulullah SAW. Siapa yang teologinya berbeda, berarti telah tersesat dari jalan yang benar. Begitulah faham cekak kaum radikalisme, sehingga ahirnya selalu bersikap keras terhadap kelompoak lain, dan merasa sudah sejalan dengan Al-Quran.
Karena merasa paling benar, dan paling berhak masuk surga menjadi kunci kesesatan mereka. Mereka-pun enggan menebarkan salam serta membangun silaturahmi kepada sesama muslim yang berteologi Abu Hasan Al-Asyary (Al-Asya’ariyah). Padahal, sebagian besar umat islam Indonesia, seperti; Nahdhotul Ulama, Muhammadiyah, Tarbiyah Islamiyah, Al-Wasiliyah, berteologi Al-Asyaariyah dan bermadhab Syafiiyah, Maliki dan Hambali..
Mengkafirkan, menyesatkan (membidahkan), sesama muslim sudah menjadi makanan sehari-hari. Ziarah kubur, membaca Al-Barjanzi maulidan), tahlilan, istigosahan, di anggab sebagai pelanggaran agama terbesar dan wajib di lenyapkan dari bumi nusantara. Satu-satunya hadis yang dipergunakan untuk menghukumi orang-orang yang tidak sejalan dengan mereka ialah:”Barangsiapa yang mengada-ngada (melakukan bidah), dalam urusan agama kami ini yang tidak ada dasar daripadanya maka itu tertolak (HR. Bukhari dan Muslim).
Menariknya, Imam Bukhori-pun juga tidak diterima, padahal mereka mengetahui hadis itu dari kitab Shahih Al-Bukhori. Tidak diterimanya Imam Bukhori, gara-gara Imam Bukhori juga mengikuti pola Abu Hasan Al-Asyaari di dalam masalah teologi, yaitu mantakwil kitab suci Al-Quran.
Sementara kaum pengikut Ibn Taimiyah tidak menerima takwil Al-Quran. Begitu ekslusiffnya mereka, sampai-sampai semua yang tak sefaham dengan teologi mereka di anggab tersesat dan masuk neraka.
Ketika memahami makna “jihad”.Hanya satu kata “melawan musuh Allah SWT” dimana-pun berada sampai kapanpun. Siapa-pun orangnya, jika teologinya tidak sesuai denga teologi mereka, dikategorikan “kufur”. Pancasila di anggab “Thogut”, demokrasi juga di anggab “Thogut”, karena bukan dari Al-Quran dan Rosulullah SAW”.
Siapa yang “berjihad” kemudian mati, maka mereka berhak masuk surga tanpa hisab. Mereka-pun yakin, bahwa “jihad” itu sebagai bentuk pengabdian diri, serta cinta suci kepada Allah SWT dan Rosulullah SAW. Siapa yang meninggal (sahid), maka kelak akan mendapatkan ke-indahan dan kenikmatan surgawi yang tiada taranya. Dimana di dalam surga itubidadari-bidadari cantik dan mempesona telah menantinya. Setiap saat dan waktu bidadari itu akan melayani hasrat dan keinginanya selama-lamanya.
Mahasiswa-Mahasiswa baru di berbagai perguruan negeri dan swasta menjadi bidikan utama kelompok radikalisme ini. Dari pintu kepintu, dari kelas ke kelas, dari masjid ke masjid, mereka selalu mengajak dan mengajak untuk bergabung. Tidak kenal lelah dan putus asa bagi mereka. Sampai mereka mampu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Itulah yang dikemukan beberapa mahasiwa yang pernah saya ajar.
Mahasiswa baru yang cekak pemahaman agamanya, dengan terpkasa bergabung dan menjadi bagian dari kelompok radikalisme. Lambat tapi pasti, ahirnya mahasiswa itu memahami teologi dan ideology radikalisme. Mahasiswa itu juga percaya bahwa “jihad” itu hukumnya wajib dan masuk surga bagi yang melakukanya. Mereka-pun meyakini dalam hati, dan iucapkan dengan lisan, dan diaplikasikan dalam kehidupan mereka, bahwa umat islam yang tidak sejalan dengan mereka dilabeli dengan “tersesat”.
Penulis Ustadz Abdul Adzim Irsyad
Source Nahdlatul Ulama Lebanon Official Site
Sebuah pesan menarik Rosulullah SAW kepada Abu Hurairah ra, tatkala beliau SAW ditanya seputar amalam apa yang bisa menjadikan masuk surga. Rosulullah SAW menjawab:”berikah makan (berbagi materi), tebarkan salam (ciptakan kedamaian), menyambung tali silaturahmi, dan bangun malam ketika manusia terlelap’’.
Menebarkan salam bukan hanya sekedar menyapa dengan mengucapkan “Assalamuaikaum” kepada sesame muslim. Jika hanya seperti itu, maka orang Yahudi-pun yang bangga membunuh anak-anak tak berdosa juga pintar mengucapkan salam. Syetan dan Iblis-pun juga lebih fasih di dalam melafadkan ucapan ‘’Assalamualaikum”.
Pesan Rosulullah SAW agar menebarkan salam sangat mendalam, bukan hanya sekedar kata-kata, tetapi juga pada realita. Biasakan lisan menyapa dengan ucapan salam, sekaligus sikap dan budi pekerti sesuai dengan makna salam itu sendiri. Tulisan-tulisan, baik dalam bentuk artikel, buku ilmiyah, atau khutbah dan ceramah hendaknya mencerminkan Al-Salam (menebarkan salam).
Orang yang bisa menebarkan salam dengan baik dan tulisan itu, biasanya hatinya bersih dari berbagai penyakit hati, seperti; iri, dengki, hasud, riya’, takabbur dll. Orang yang memiliki penyakit hati (orang-orang munafik), biasanya lisan terkunci untuk sekedar menyapa saudaranya se-agama se-iman dengan mengucapkan salam. Apalagi beda agama dan keyakinan, juga beda pendapat dan pendapatan akan sulit menebarkan Al-Salam.
Indonesia (Nusantara) sebagian besar memeluk Islam, bukan dengan perang dan pedang, tetapi melalui pendekatan budaya, ekonomi, dan pernikahan. Tentu saja, semua itu di kemas dengan ahlak dan budi pekerti islami, sebagaiaman di ajarkan Rosulullah SAW ketika meng-islamkan kota suci Madinah. Wali songo itu ber-teologi Al-Asyaariyah (Abu Hasan Al-Asyaary), dan penganut Sufi (tasawuf), begitu cerdas, berkualitas ilmunya, dan begitu dalam spritualnya. Selalu mengedapankan al-Salam (menebarkan perdamaian dan silaturahmi). Karena itu kunci untuk mengenalkan diri dan teologinya.
Sepanjang sejarah, Nabi SAW dan sahabatnya tidak pernah menggunakan pedang dan perang untuk mengenalkan ajaran Al-Quran. Nabi SAW baru melawan jika di sakiti, dan tidak pernah balas dendam. Dengan modal akhakul karimah (uswatun hasanah), Nabi SAW mendapatkan kepercayaan dari masyarakat Makkah, Madinah, Thaif, bahkan sampai jazirah Al-Arabiyah. Wali Songo melakukannya, sebagaimana Nabi Muhammad SAW melakukan.
Berbeda dengan kaum Radikalisme yang menebarkan Islam dengan perang dan pedang (senjata). Siapa-pun yang tidak se-iman dan sejalan di anggap sebagai musuhnya. Hampir semua kelompok garis keras radikalisme, seperti; ISIS, JAT (Jamiyah Ansoru Al-Tauhid), Salafi Wahabi, mengikuti teologi Ibn Taimiyah dengan dasar utamanya Kitab Usulu Al-Tsalasah (Tiga Pondasi Dasar).
Kitab ini jika di fahami oleh para pemula akan melahirkan gerakan-gerakan kerras dan cenderung radikal, apalagi kitab "terjemahanya". Kelompok radikalisme melihat bahwa ajaran agama islam di Indonesia masih tercampur dengan budaya Hindu, Budha, bahkan sudah terkontaminasi dengan Yahudi dan Nasrani, sehingga perlu adanya purifikasi (pemurnian agama). Di tambah lagi dengan realitas umat islam di lapangan itu tersakiti (terdholimi), oleh Amerika dan seukutunya.
Semua itu hanya bisa dirubah dengan cara “jihad” bukan dengan sekedar dakwah. Jihad menurut mereka ialah sebuah perjuangan menegakkan agama Allah SWT melawan orang-orang kafir (musuh-musuh Allah SWT). Bahkan orang-orang muslim yang menghalangi terwujudnya negara Khilafah Islamiyah atau mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyah) juga dikategorikan musuhnya.
Orang muslim yang menjalankan sholat, puasa, mengeluarkan zakat, dan juga menunaikan ibadah haji ke kota suci Makkah tidak dipandang sebagai seorang muslim jika mereka tetap melakukan Bidah (tahlilan, istighosahan, dan maulidan, ziarah kubur). Radikalisme tetap tidak menerima akidahnya Al-Asyairoh, karena di anggab bukan bersumber dari kitab suci Al-Quran dan Nabi SAW. Itu juga menjadi penghalang cita-cita mereka mereka mewujudkan Negara Islam (Daulah Islamiyah).
Siapa-pun orangnya, dan apa-pun agamanya, tidak perduli itu Islam, jika berkerja sama dengan Amerika, maka halal darahnya untuk ditumpahkan. Mereka mengaku sudah berpegang teguh pada Al-Quran dan Hadits, walaupun mereka tidak faham bentul makna dan pesan Al-Quran dan pesan Rosulullah SAW.
Menurut mereka, selain Al-Quran dan hadits pasti salah. Biasanya, orang-orang garis keras (radikalisme) merujuk pada teologi Ibn Taimiyah yang selalu mengacu pada Al-Quran dan hadits. Tetapi, menariknya mereka justru selalu kontradiksi dengan Al-Quran dan sunnah.
Bagaimana mungkin seseorang telah mengamalkan Al-Quran dan sunnah, tetapi justru tidak rukun dengan tetangga, kerabat, serta masyarakat sekitarnya karena beda teologi (akidahnya dan agamanya. Sementara Al-Quran dan Nabi SAW mengajarkan agar tidak melakukan pemaksaan terhadap agama dan keyakinan.
Bagi kelompok radikalisme Teologi Ibn Taimiyah (Usulu Al-Tsalasah) seolah-oleh sudah menjadi pengganti dari kitab suci Al-Quran dan hadis Rosulullah SAW. Siapa yang teologinya berbeda, berarti telah tersesat dari jalan yang benar. Begitulah faham cekak kaum radikalisme, sehingga ahirnya selalu bersikap keras terhadap kelompoak lain, dan merasa sudah sejalan dengan Al-Quran.
Karena merasa paling benar, dan paling berhak masuk surga menjadi kunci kesesatan mereka. Mereka-pun enggan menebarkan salam serta membangun silaturahmi kepada sesama muslim yang berteologi Abu Hasan Al-Asyary (Al-Asya’ariyah). Padahal, sebagian besar umat islam Indonesia, seperti; Nahdhotul Ulama, Muhammadiyah, Tarbiyah Islamiyah, Al-Wasiliyah, berteologi Al-Asyaariyah dan bermadhab Syafiiyah, Maliki dan Hambali..
Mengkafirkan, menyesatkan (membidahkan), sesama muslim sudah menjadi makanan sehari-hari. Ziarah kubur, membaca Al-Barjanzi maulidan), tahlilan, istigosahan, di anggab sebagai pelanggaran agama terbesar dan wajib di lenyapkan dari bumi nusantara. Satu-satunya hadis yang dipergunakan untuk menghukumi orang-orang yang tidak sejalan dengan mereka ialah:”Barangsiapa yang mengada-ngada (melakukan bidah), dalam urusan agama kami ini yang tidak ada dasar daripadanya maka itu tertolak (HR. Bukhari dan Muslim).
Menariknya, Imam Bukhori-pun juga tidak diterima, padahal mereka mengetahui hadis itu dari kitab Shahih Al-Bukhori. Tidak diterimanya Imam Bukhori, gara-gara Imam Bukhori juga mengikuti pola Abu Hasan Al-Asyaari di dalam masalah teologi, yaitu mantakwil kitab suci Al-Quran.
Sementara kaum pengikut Ibn Taimiyah tidak menerima takwil Al-Quran. Begitu ekslusiffnya mereka, sampai-sampai semua yang tak sefaham dengan teologi mereka di anggab tersesat dan masuk neraka.
Ketika memahami makna “jihad”.Hanya satu kata “melawan musuh Allah SWT” dimana-pun berada sampai kapanpun. Siapa-pun orangnya, jika teologinya tidak sesuai denga teologi mereka, dikategorikan “kufur”. Pancasila di anggab “Thogut”, demokrasi juga di anggab “Thogut”, karena bukan dari Al-Quran dan Rosulullah SAW”.
Siapa yang “berjihad” kemudian mati, maka mereka berhak masuk surga tanpa hisab. Mereka-pun yakin, bahwa “jihad” itu sebagai bentuk pengabdian diri, serta cinta suci kepada Allah SWT dan Rosulullah SAW. Siapa yang meninggal (sahid), maka kelak akan mendapatkan ke-indahan dan kenikmatan surgawi yang tiada taranya. Dimana di dalam surga itubidadari-bidadari cantik dan mempesona telah menantinya. Setiap saat dan waktu bidadari itu akan melayani hasrat dan keinginanya selama-lamanya.
Mahasiswa-Mahasiswa baru di berbagai perguruan negeri dan swasta menjadi bidikan utama kelompok radikalisme ini. Dari pintu kepintu, dari kelas ke kelas, dari masjid ke masjid, mereka selalu mengajak dan mengajak untuk bergabung. Tidak kenal lelah dan putus asa bagi mereka. Sampai mereka mampu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Itulah yang dikemukan beberapa mahasiwa yang pernah saya ajar.
Mahasiswa baru yang cekak pemahaman agamanya, dengan terpkasa bergabung dan menjadi bagian dari kelompok radikalisme. Lambat tapi pasti, ahirnya mahasiswa itu memahami teologi dan ideology radikalisme. Mahasiswa itu juga percaya bahwa “jihad” itu hukumnya wajib dan masuk surga bagi yang melakukanya. Mereka-pun meyakini dalam hati, dan iucapkan dengan lisan, dan diaplikasikan dalam kehidupan mereka, bahwa umat islam yang tidak sejalan dengan mereka dilabeli dengan “tersesat”.
Penulis Ustadz Abdul Adzim Irsyad
Source Nahdlatul Ulama Lebanon Official Site