![]()
Muslimedianews.com ~ Agama Islam tersebar di Asia Tenggara dan di Kepulauan Indonesia sejak abad ke-12 atau ke-13. Sekarang di daerah-daerah yang telah berabad-abad memeluknya, nama orang-orang yang dianggap berjasa dalam menyebarkan agama itu disebut dengan hormat dan khidmat. Masuk Islamnya berbagai suku bangsa di Kepulauan Indonesia ini tidak berlangsung dengan jalan yang sama. Begitulah anggapan umum; legenda mengenai orang suci dan cerita mengenai para penyebar agama Islam dan tanah asal usul mereka bermacam-macam sekali. Belum lama berselang Dr. Drewes minta perhatian terhadap soal-soal yang bertalian dengan sejarah agama Islam di Indonesia, dan hal itu masih menunggu tanggapan.[1]
Suatu kenyataan yang sudah pasti ialah, bahwa di Sumatera Utara -di Aceh yang sekarang ini - para penguasa di beberapa kota pelabuhan penting sejak paruh kedua abad ke-13 sudah menganut Islam. Pada zaman ini hegemoni politik di Jawa Timur masih di tangan raja-raja beragama Syiwa dan Budha di Kediri dan di Singasari, di daerah pedalaman. Ibu kota Majapahit, yang pada abad ke-14 sangat penting itu, pada waktu itu belum berdiri. Sebaliknya, besar sekali kemungkinan bahwa pada abad ke-13 di Jawa sudah ada orang-orang Islam yang menetap. Sebab, jalan perdagangan di laut, yang menyusuri pantai timur Sumatera melalui Laut Jawa ke Indonesia bagian timur, sudah ditempuh sejak zaman dahulu. Para pelaut itu, baik yang beragama Islam maupun yang tidak, dalam perjalanan mereka singgah di banyak ternpat. Pusat-pusat permukiman di pantai utara Jawa ternyata sangat cocok untuk itu.
Salah seorang yang paling terkenal dan tertua di antara para wali di Jawa - dicatat dalam semua hikayat orang saleh - ialah Raden Rahmat dari Ngampel Denta.[2] la diberi nama sesuai dengan nama kampung dalam Kota Surabaya tempat ia dimakamkan; mungkin ia pernah tinggal di sana. Menurut cerita Jawa, ia berasal dari Cempa; letak Cempa itu akan dibicarakan dalam bagian berikut.
Tokoh terpenting dalam cerita Jawa tentang Cempa ialah Putri Cempa. Ada dua kelompok cerita Cempa. Kelompok pertama meliputi cerita lisan, yang dihubung-hubungkan dengan makam Islam, yang sekarang masih dapat ditunjukkan di suatu daerah yang dahulu merupakan ibu kota Majapahit. Makam itu bertarikh Jawa 1370 (1448 M); mungkin sekali itulah makam Putri Cempa yang menjadi permaisuti raja terakhir (yang legendaris) Majapahit, yaitu Brawijaya. Menurut suatu cerita Jawa, Serat Kandha (diterbitkan oleh. Brandes), konon ia sudah kawin dengan Putri Cempa itu waktu ia masih menjadi putra mahkota. Nama putri itu sebagai ratu agaknya Darawati atau Andarawati. Babad Meinsma memberikan uraian panjang lebar tentang putri itu. Sebagai "emas kawin" konon ia telah membawa barang yang sangat berharga itu dari Cempa, yang kelak dijadikan barang-barang perhiasan kebesaran Keraton Mataram, atau pusaka yaitu gong yang diberi nama Kiai Sekar Delima; kereta kuda tertutup yang diberi nama Kiai Bale Lumur, dan pedati sapi yang diberi nama Kiai Jebat Betri. Barang-barang berharga ini diperoleh Keraton Mataram sebagai barang-barang rampasan perang, ketika Demak direbut (Meinsma, Babad, hal. 24).[3]
Kelompok kedua cerita tradisional Jawa yang mengisahkan Cempa berhubungan dengan orang-orang suci yang telah menyebarkan agama Islam di Surabaya dan Gresik. Konon mereka berasal dari Cempa. Putri Cempa tersebut meninggalkan saudara perempuan di tanah airnya, yang sudah kawin dengan seorang Arab. Ipar putri ini dalam satu cerita tradisional (Hikayat Hasanuddin dari Banten) hanya disebut sebagai Orang Suci dari Tulen, keturunan Syekh Parnen.[4] Menurut cerita babad lain ia diberi nama Raja Pandita; dulu namanya Sayid Kaji Mustakim. Dalam Babad Meinsma ia disebut Makdum Brahim Asmara, imam dari Asmara (?); dalam Sadjarah Dalem - silsilah raja-raja Mataram dan nenek moyang mereka - Maulana Ibrahim Asmara lahir di Tanah Arab, putra Syekh Jumadil Kubra.
Orang Arab itu, yang identitasnya ternyata belum jelas, konon mendapat dua putra dari istrinya, Putri Cempa itu. Yang tua namanya Raja Pandita (dalam Hikayat Hasanuddin) atau Raden Santri (dalam Babad Meimma); yang muda bernama Pangeran Ngampel Denta atau Raden Rahmat. Dalam Sadjarah Dalern nama-nama mereka ialah Sayid Ngali Murtala dan Sayid Ngali Rahmat. Menurut teks-teks lama, Raden 'Rahmat itu adalah adik; dan menurut teks-teks tua, yaitu babad, ia adalah kakak. Di samping kedua orang bersaudara ini, muncul pula saudara sepupu yang lebih tua dalam cerita Jawa. Ia seorang sarjana, Abu Hurerah namanya. Menurut cerita babad (di situ ia diberi nama Raden Burereh), konon ia adalah salah seorang putra raja di Cempa.
Bertiga mereka dalam perjalanan dari Cempa ke Jawa untuk mengunjungi bibi mereka, Putri Cempa itu. Tetapi kunjungan itu bukan kunjungan singkat. Menurut Hikayat Hasanuddin, yang tua, Raja Pandita, diangkat menjadi imam di masjid yang terletak di tanah milik Tandes (seorang tua di Gresik). Di sana ia menjadi tokoh penting. Adiknya, Raden Rahmat, diangkat oleh pecat tandha di Terung[5], yang bernama Arya Sena, sebagai imam di Surabaya. la pun menjadi sangat terhormat di lingkungannya.
Dari cerita-cerita Jawa itu dapat diambil kesimpulan bahwa Gresik dan Surabaya dianggap sebagai pusat-pusat tertua agama Islam di Jawa Timur. Tradisi tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa di Gresik terdapat banyak makam Islam yang tua sekali. Pertama-tama terdapat makam seorang yang bernama Fatimah binti Maimun, yang meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H. (1082 M.); dan kedua, makam Malik Ibrahim, yang meninggal pada tanggal 12 Rabiulawal 822 H. (1419 M.). Tulisan-tulisan pada makam dalam bahasa (dan tulisan) Arab baru dapat dibaca dan diartikan oleh sarjana-sarjana Barat pada abad ke-20. Cerita tradisi lisan Jawa telah menghubung-hubungkan kedua orang itu. Padahal, kedua orang tersebut masa hidupnya berselisih beberapa abad. Wanitanya disebut Putri Leran atau Putri Dewi Swara.
Mungkin dapat diakui juga bahwa berdasarkan tuanya makam wanita yang disebut Putri Leran itu, Gresik lebih tua dari Surabaya sebagai pusat agama Islam. Ini sesuai juga dengan adat Jawa, yang telah menempatkan si kakek, Raja Pandita, di Gresik, dan adiknya, Raden Rahmat, di Surabaya.
Menurut tambo Jawa, Raden Rahmat yang berasal. dari Campa itu mempunyai banyak keturunan dan murid, yang berabad-abad lamanya telah menguasai perkembangan agama Islam di Jawa Timur (lihat bagian-bagian mengenai sejarah Surabaya, Giri, dan Gresik
Judul asli: "Legenda-legenda Jawa Timur tentang orang-orang suci dalam agama Islam pada abad ke-15: Raden Rahmat dari Ngampel Denta dan murid-muridnya." Bab : Permulaan Penyebaran Agama Islam di Jawa. Dikutip dari buku : "Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram" atau De Eerste Moslimse Vorstendommen, karya : Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th. G.Th. Pigeaud (sarjana asal Belanda). Buku mi secara khusus menyoroti abad ke-15 dan ke-16 yang merupakan permulaan periode Islam di Jawa. Keduanya memelopori penggunaan sumber-sumber pribumi. / Foto Ilustrasi: Google
Catatan Kaki:
[1] Lihat Drewes, "New Light".
[2] Cerita tutur yang mungkin berasal dari ujung timur Pulau Jawa diberitakan dalam naskah CB 145 (1) A di Perpustakaan Universitas Leiden (Pigeaud, Literature, jil. II, him. 783), menyebutkan Empat Orang Suci agama Islam pada zaman kuno: Jumadil Kubra di Mantingan (lihat cat. 18), Nyampo di Suku Dhomas, Dada Petak di Gunung Bromo, dan Maolana Iskak dari Blambangan; kiranya mereka berempat itu "bersaudara". Maolana Iskak (menurut cerita-cerita lain, Serat Kandha; Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 362) adalah ayah Sunan Giri yang pertama. Cerita-cerita ini, dan tanda tahun pada makam Malik Ibrahim dekat Gresik (1419), menunjukkan adanya kemungkinan besar bahwa pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-15 sudah ada jemaah-jemaah Islam penting di kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa. Sunan Ngampel, meskipun sekarang yang paling terkenal, kiranya bukan satu-satunya kepala suatu perkampungan Islam.
[3] Menurut sebuah buku cerita (Pigeaud, Literature, jil.11, hlm. 363), Sunan Bonang kemudian telah memindahkan makam maktuanya, Putri Darawati, dari Citra Wulan ke Karang Kemuning, Bonang. Tahun Jawa 1320 yang disebutkan dalam buku cerita itu (Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 362) untuk makam lama di Citra Wulan, agaknya keliru, mestinya tahun Jawa 1370. Dr. N. J. Krom (Krom, Kunst, jil. ke-2, him. 185) dalam pembicaraannya mengenai Candi Pari, sebuah candi di Jawa Timur yang bertanda tahun Jawa 1293= 1371 M. telah menunjukkan adanya hubungan-hubungan lama di bidang kebudayaan antara Jawa dan Campa. Sebenarnya Krom juga telah memberitakan makam Putri yang lama itu yang bertahun Jawa 1370.
[4] Shaikh Paruen boleh jadi ucapan telur dari (Dhu'I) Karnain, yaitu Iskandar; dalam mitos menjadi moyang banyak keturunan raja-raja di Asia Tenggara. Asal usul berdasarkan mitos ini tentu telah mengangkat derajat keturunan para orang suci di Gresik dan Surabaya.
[5] Pecat tandha, semula panca tandha, ialah suatu jabatan dalam tata negara Kerajaan Majapahit. Jabatan itu ada hubungannya dengan pekerjaan menguasai tempat-tempat jual-beli dan pusat-pusat hubungan lalu lintas, seperti tempat tambangan sungai (Pigeaud, Java, jil. V, hlm. 217 dan juga Bab XII-2 dan cat. 27 dan 212 berikut ini).